JAKARTA. Pada Jumat, 19 Januari 2024, Serikat Petani Indonesia bersama Partai Buruh menggelar aksi di depan kantor Kementerian Pertanian RI. Aksi ini dilaksanakan sebagai respon terhadap rencana pemerintah untuk mengimpor 2 juta ton beras di tahun 2024 ini. Massa aksi ini berjumlah sekitar 500 orang yang terdiri dari buruh dan petani dari Jakarta, Banten dan Indramayu. Adapun siaran pers dan tuntutan aksi selengkapnya dapat dilihat di bawah ini.
Pemerintah kembali mengumumkan impor beras dengan kuota sebesar 3 juta ton sepanjang tahun 2024. Sebagian beras impor itu atau sebanyak 2 juta ton ditargetkan datang pada Januari-Maret 2024. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional, dan Perum Bulog mengklaim impor beras dilakukan di tahun politik ini untuk mencukupi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan keperluan Bantuan Sosial. Padahal bulan Maret, April, Mei, dan Juni 2024 merupakan musim panen raya petani padi.
Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Partai Buruh menilai Indonesia berada dalam situasi yang memilukan karena semakin mengalami ketergantungan pangan. Terkhusus beras, impor sebesar 3,3 juta ton pada tahun 2023 lalu merupakan impor beras terbesar yang dilakukan pemerintah, dalam 25 tahun terakhir sejak tahun 1998. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan impor beras di tahun 2023 meningkat sebesar 613,61% dibandingkan tahun 2022. Belum lagi jika dibandingkan dengan Impor Beras sepanjang tahun 2024.
Impor beras tahun 2024 yang diputuskan pemerintah sesungguhnya suatu yang janggal. Pemerintah berdalih bahwa situasi tidak normal akibat adanya fenomena el nino. Hal ini terus digaung-gaungkan oleh pemerintah, padahal menurut data iklim pada tahun 2024 akan normal kembali. Klaim pemerintah yang menyatakan produksi beras turun tidak berdasar dan tidak bisa dijadikan legitimasi impor begitu saja.
Demikian juga dengan penyediaan beras untuk bantuan sosial yang akan digulirkan sampai Juni 2024. Karena meskipun impor dilakukan seperti yang terjadi dalam dua tahun terakhir, harga beras ditingkat konsumen tetap tinggi bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Pada April 2023 lalu sesungguhnya SPI telah mengusulkan agar perbaikan HPP Gabah dan Beras harus mendekati harga di lapangan. Namun Badan Pangan Nasional hanya menaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat petani sebesar Rp. 800, dari sebelumnya Rp. 4.200 per kg menjadi Rp. 5.000 per kg.
Praktis kenaikan yang tidak signifikan ini membuat Perum Bulog tidak sanggup memenuhi target CBP. Petani juga lebih memilih menjual gabah ke pihak selain Perum Bulog dengan harga yang layak, untuk mengganti biaya produksi yang semakin tinggi. Akhirnya konsumen terpaksa membeli beras dengan harga diatas HET. Perum Bulog yang tidak sanggup memenuhi CBP menunjukan masalah yang terus berulang setiap tahun. Stok beras Perum Bulog terbatas karena tidak sanggup menyerap gabah dan beras petani. Akibatnya harga beras tidak mampu dikendalikan lewat operasi pasar.
Sesungguhnya arus deras impor pangan di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1998. Penandatanganan Letter of Intent dengan International Monetary Fund (IMF) mendorong Indonesia untuk membuka pasar pangan dari luar negeri, seperti beras, tepung gandum, gula, bawang putih, hingga daging sapi, dan tanaman pangan lainnya. Terkini, solusi palsu impor pangan justru dikuatkan dengan kelahiran Omnibus Law Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menganulir berbagai UU yang sebelumnya berpihak pada petani. Jika kondisi impor pangan terus terjadi, hal ini semakin membuat bangkrut kaum tani di Indonesia.
Sejak impor beras tahun ini bergulir akhir 2023 lalu, harga gabah ditingkat petani sudah mulai mengalami penurunan dari rentang harga Rp. 7.000-8.600 per kg, menjadi Rp.6.000-an per kg pada awal Januari 2024. Kondisi demikian menunjukan perspektif ketahanan pangan yang dipakai pemerintah Indonesia justru semakin membuat ketergantungan impor semakin tinggi. Belum lagi jika dikaitkan dengan Indonesia sebagai importir gandum terbesar di dunia. Dampak harga beras yang mahal, rakyat menengah ke bawah membeli alternatif pangan yang lebih murah seperti mie instan. Sedangkan rakyat kelas atas memakan roti. Kedua makanan ini terbuat dari gandum. Sangat membahayakan karena konsumsi beras yang turun, justru menaikan kebutuhan terhadap gandum.
SPI dan Partai Buruh dalam hal ini menilai bahwa solusi untuk masalah pangan adalah dengan Kedaulatan Pangan, yang salah satu prinsipnya yaitu pemenuhan hak, apakah itu hak atas tanah, benih, air, hingga faktor produksi lainnya. Sementara dalam ketahanan pangan, justru kita mempertanyakan keputusan impor yang didorong. Hal ini membuat sebuah negara yang bisa memproduksi pangan, menjadi tidak bisa menghasilkan pangan secara mandiri, karena hanya memperhitungkan aspek ekonomi saja.
Berdasarkan itu SPI dan Partai Buruh menyerukan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
1. Tolak Impor Beras Impor Beras akan berdampak terhadap harga gabah dan beras ditingkat petani yang akan memasuki masa panen raya di semester pertama tahun 2024. Pemerintah juga harus mencabut UU Cipta Kerja, dan mengembalikan pasal-pasal yang berpihak pada petani seperti UU Pangan; UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
2. Cadangan Beras Pemerintah (CBP) Harus Berasal dari Petani Target CBP dapat dicapai apabila HPP berada di taraf yang layak. Sehingga menarik minat petani untuk menjual ke Pemerintah/Perum Bulog ketimbang ke pihak lain (swasta maupun tengkulak).
3. Naikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras Petani Badan Pangan Nasional harus memperbarui HPP gabah dan beras petani dengan harga yang layak.
4. Revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaaan Kelembagaan Petani Kementerian Pertanian tidak mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XI/2013 yang memfasilitasi kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.
5. Reforma Agraria untuk Cetak Sawah Baru Tanah untuk petani bukan korporasi. Petani pangan harus diberikan dukungan pemerintah melalui Reforma Agraria dan program cetak sawah baru.
6. Subsidi untuk Petani, Tata Ulang Produksi Padi, dan Distribusi Perberasan Pemberian subsidi terhadap petani tidak boleh hanya dalam bentuk subsidi pupuk, tetapi juga dalam bentuk subsidi langsung. Karena itu organisasi petani harus dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan. Hal ini mengingat pemerintah acapkali mengabaikan aspirasi dari petani dan organisasi petani, sehingga kebijakan yang dihasilkan justru tidak berpihak terhadap petani, seperti keputusan beras impor beras ini.
Ketahanan Pangan Ekologis dimulai dari kesadaran batin individu Petani.
Penggunaan pupuk organik dengan konsorsium mikroba perlu dibantu dan dilaksanakan secara in situ, distribusi alat produksi bukan distribusi pupuk organik nya.
Pendampingan secara terus menerus untuk mencapai panen secara maksimal, perlu perhatian mulai dari bibit, pengelolaan dan proses penen.
Dan terpenting, dengan dasar teori yang kuat, menemukan pengganti pupuk KCL yang import dan harganya mahal.
Terima kasih.