Potret kaum tani di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang melintang di garis khatulistiwa. Dengan jumlah pulau 17.504 pulau, wilayah ini terbentang sepanjang 3.977 mil diantara samudra Hindia dan samudra Pasifik. Bila perairan diantara pulau-pulau digabungkan maka total luas wilayah Indonesia menjadi 1,9 juta mil persegi. Kepulauan ini juga kaya akan gunung-gunung, perbukitan dan rawa-rawa (daerah lahan bergambut). Dengan posisi wilayah di garis khatulistiwa memungkinkan Indonesia mendapatkan sinar matahari sepanjang masa dengan temperatur cukup tinggi yaitu antara 26° – 30° C dan curah hujan yang cukup. Situasi alam membuat petani bisa bercocok tanam sepanjang waktu selama satu tahun penuh tanpa perlu teknologi rumah kaca. Hal ini menunjukan bahwa dari sisi ekologis dan ekonomis Indonesia adalah wilayah yang kaya.
Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, 70% dari total penduduk di pedesaan yang berjumlah 21.141. 273 rumah tangga hidup dari pertanian. Sebagian besar adalah petani pangan berupa padi dan holtikultura. Sebagian lain di perkebunan, peternakan, hasil hutan dan perikanan. Setengah dari petani itu, 50% adalah petani yang memiliki lahan yang sempit, kurang dari 0,5 ha bahkan tuna kisma, sehingga sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan. Selain itu, akibat adanya perkembangan didalam wilayah pedesaan sebagian lainnya bekerja sebagai pedagang-tengkulak, lintah darat, pekerja tukang, pekerja dan pengusaha industri pedesaan, pekerja serabutan, pegawai perkebunan, petugas pengamanan perusahaan, supir, pegawai negeri, polisi/TNI, kaum terpelajar dan penangguran pedesaan.
Kaum tani mengalami perjalanan sejarah panjang dari jaman kerajaan, kolonialisme Belanda dan Jepang, masa Soekarno, rezim Soeharto dan sekarang ini. Perjalanan tersebutlah yang membentuk karakter kalangan kaum tani. Secara umum karakter masyarakat dipedesaan dapat dicirikan dengan, Patronase yang begitu kental akibat sistem sosial yang feodal, hubungan buruh-perusahaan, sistem primordial yang masih kental, serta tidak terorganisasi secara baik.
Walau begitu atas penghisapan dan penindasan yang begitu dalam, turun menurun dan terus menerus, melahirkan berbagai perlawanan oleh kaum tani. Terjadinya keresahan-keresahan atas beban ekonomi dan sosial juga memunculkan perlawanan yang khas kaum tani. Apakah dilatarbelakangi soal agraria, penetrasi budaya ataupun program pembangunan. Pola-pola perlawanan ada yang dilakukan secara terbuka, terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai contoh, sejarah mencatat perlawanan kaum tani di Banten tahun 1888 merupakan perlawanan yang besar. Pada tahun-tahun itu juga terjadi gejolak politik yang menandakan redupnya gerakan kaum tani. Setelah itu selama 32 tahun di jaman soeharto gerakan kaum tani mengalami tekanan yang kuat. Kalaupun ada yang sifatnya lokal dan kasuistik tentang tanah. Seperti di Cimacan, Jawa Barat; di Kedung Ombo Jawa Tengah; di Asahan, Sumatera Utara; Jawa Timur; Gili Trawangan-NTB, NTT serta daerah lainnya. Keadaan di zaman itu, kekuasaannya dijalankan atas prinsip-prinsip sentralistik, otoriterian militeristik, kapitalistik, dan statisme yang menyimpang. Dengan prinsip-prinsip tersebut, rezim orde baru bertindak menindas dan menghisap rakyat diantaranya melalui hal-hal berikut ini.
Pertama, pemaksaan kehendak atas nama pembangunan, rakyat dan negara. Rezim orde baru telah memaksa rakyat untuk tunduk atas nama pemerintah pusat dan negara. Meskipun sebenarnya pembangunan yang dilaksanakan bukan atas nama negara dan pemerintah, apalagi untuk rakyat. Tetapi melainkan untuk para pemilik modal, baik domestik, maupun asing. Tanah-tanah rakyat yang diambil pemerintah rezim orde baru, dijadikan pusat bisnis pihak swasta. Sehingga penggusuran tanah rakyat, penguasaan lahan-lahan untuk pertambangan dan kawasan hutan industri serta perkebunan makin menyulitkan posisi kaum tani dan masyarakat adat. Hal inilah yang menyebabkan konflik pertanahan semakin meningkat dan banyak memakan korban.
Kedua, atas nama persatuan dan pembangunan nasional, pemerintah Soeharto menguras kekayaan seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, memaksakan prinsip stabilitas keamanan dan pertumbuhan dibanding prinsip lainnya yang merupakan kesatuan dari prinsip trilogi pembangunan, yakni prinsip pemerataan. Dalam menjalankan prinsip itu unsur polisi dan militer terlibat dalam proses pembangunan hingga ke pedesaan. Sebagai akibatnya, pendekatan militeristik lebih dikedepankan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Kestabilan yang tercipta akibat pendekatan militerlistik berfokus pada prinsip pertumbuhan dan bukan pada prinsip pemerataan. Sebagai akibat lebih lanjut, penerapan ekonomi yang kapitalistik untuk pertumbuhan ekonomi nasional mendapat pengamanan ekstra dari militer. Berawal dari cara pandang seperti itu, para pemilik modal dan rezim orde baru menikmati kue pembangunan sebanyak-banyaknya. Pembangunan demi kemajuan bangsa hanya demi segelintir orang, sementara rakyat berada pada posisi tertindas. Demikian prinsip statetisme yang menyimpang, sehingga pepatah jer basuki mawa beya diartikan yang basuki (makmur) adalah rezimnya dan yang mawa beya ( pengorbanan) adalah rakyatnya.
Keempat, depolitisasi gerakan rakyat dengan sistem politik massa mengambang (Floating mass). Kampanye yang digencarkan oleh rezim orde baru terhadap rakyat desa adalah bahwa rakyat desa itu bodoh, tidak berpendidikan dan terbelakang. Sehingga rakyat tidak boleh berpolitik dengan lembaga politik apapun. Sebagai akibatnya, rakyat tidak mendapatkan pegangan selain patuh kepada rezim orde baru. Rakyat desa dipaksa untuk masuk pada partai politik dari rezim orde baru, yakni GOLKAR yang sampai saat ini justru tegar di era pasca kejatuhan rezimnya.
Kelima, suramnya perjuangan kaum tani dalam mendesakkan program land reform, karena rezim saat itu mengembangkan label komunis bagi siapa saja yang memperjuangkan land reform. Pada perjalanannya, pemerintah hanya mengizinkan HKTI sebagai organisasi tani nasional yang kemudian disusul dengan berbagai program pertanian, salah satunya adalah revolusi hijau.
Perbedaan penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian tiap tahunnya semakin tampak. Konsentrasi kepemilikan lahan pun semakin tajam. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7 juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983 persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah.
Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63.41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan. Angka pengangguran telah meningkat dari 9.86 persen pada tahun 2004 menjadi 10.28 persen pada tahun 2006. Dari angka tersebut, pengangguran di pedesaan mencapai 5.4 persen—artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah pedesaan.
Sebaliknya, di pulau Jawa misalnya terdapat 10 persen penduduk yang pada awalnya memiliki 51,1 persen tanah (1995) meningkat menjadi 55,3 persen (1999). Demikian juga perusahaan-perusahaan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perusahaan pertambangan yang menguasai lahan dengan luas ratusan ribu hektar. Selain itu disektor perkebunan terdapat lahan seluas 2.920.102 hektar yang dikontrol hanya oleh sembilan perusahaan.
Dengan keadaan itu maka lahirlah stratifikasi sosial dalam masyarakat pedesaan. Terdapat perusahaan-perusahaan besar serta segelintir orang yang menguasai lahan yang luas. Di sisi lain jumlah petani-petani miskin dan gurem terus meningkat, ini berarti buruh tani dan buruh perkebunan makin banyak jumlahnya dibandingkan petani yang memiliki lahan. Ditengah keterpurukan itu, keadaan kaum tani semakin tersisih akibat kebijakan pertanian, agraria dan pedesaan yang menguntungkan golongan tertentu saja.
Ketahanan kaum tani untuk hidup terus diuji, sehingga sebagian besar mencari nafkah diluar produksi pertanian. Ada yang menjadi buruh bangunan, buruh industri, tukang ojek bahkan anak-anak perempuan petani bekerja di luar negeri menjadi buruh migran.
Sejarah Gerakan kaum tani
Perubahan politik di Indonesia sejak Mei 1998 menjadi titik tolak perubahan dalam sistem politik dan mekanisme pengambilan keputusan negara. Namun dirasakan perubahan tersebut tidak mendasar, karena hanya terlihat pada proses demokrasi prosedural. Seperti pemilihan langsung presiden maupun kepala daerah, adanya lembaga Dewan perwakilan daerah dan banyaknya partai politik yang tumbuh. Seiring dengan perubahan politik itu berbagai organisasi petani, buruh dan lembaga swadaya masyarakat juga gerakan mahasiswa yang diluar mainstream perlahan mulai tumbuh. Tak tertinggal juga pers yang lebih bebas.
Kejatuhan rezim soeharto membuka jalan bagi kaum tani untuk ber-organisasi dan melakukan perjuangan. Hal yang pokok adalah mendesak reforma agraria di Indonesia agar segera dilaksanakan. Konsolidasi gerakan tani pun semakin menguat dan mengarah kepada pembentukan suatu organisasi tani yang berskala nasional. Walau sebenarnya cikal bakal lahirnya organisasi kaum tani berskala nasional ini sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Berbagai pertemuan antar kelompok petani, aktivis mahasiswa dan pemuda digelar. Salah satu hasilnya adalah terbentuknya forum-forum diskusi untuk meng-analisis kasus-kasus pertanahan.
Tatkala soeharto tumbang, banyak aktivis dan penggerak pembangunan ormas tani mulai tak bergairah. Kebanyakan cenderung memilih jalan aktivitas politik maupun membentuk lembaga swadaya masyarakat. Ditengah situasi politik yang terbuka serta tuntutan ormas tani yang bersifat wilayah agar segera dibentuk ormas tani nasional, maka pada tanggal 8 Juli 1998, di deklarasikan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di desa Loburapa, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Dapat dikatakan bahwa cikal bakal lahirnya ormas tani nasional disatukan karena persoalan konflik agraria terutama perkebunan, kehutanan, pertambangan dan lahan pertanian.
Sejak tahun 1998, itulah terbentuk organisasi Federasi yang terus bertahan hingga kini. Pemilihan bentuk organisasi petani kita yang berupa Federasi. adalah karena melihat situasi politik dan suasana kebatinan serta karakter rakyat pedesaan yang tertindas dan dihisap, selain itu ada beberapa faktor lain yaitu.
Pertama, pada masa itu dikotomi pusat-daerah muncul sebagai wujud kegembiraan pasca keruntuhan Soeharto. Kekokohan dominasi pemerintahan pusat atas pemerintahan daerah menjadi rusak dan rapuh. Benih-benih ketidakpatuhan daerah kepada pusat atau anti-state mulai tumbuh. Wacana Otonomi daerah semakin menguat seiring dengan menguatnya rasa kedaerahan dan bahkan lebih jauh mengarah pada unsur SARA ( Suku, Ras dan Agama) pada sebagian masyarakat. Kecurigaan penduduk antar satu daerah dengan daerah lainnya juga tumbuh.
Kedua, antisipasi pembubaran organisasi dari pusat ke daerah bila bentuk organisasi berupa unitaris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa organisasi yang bermodelkan satu garis komando akan mudah dihabisi, terlebih pendekatan keamanan model rezim orde baru tidak serta merta ditinggalkan setelah kejatuhannya.
Ketiga, dampak dari pendekatan keamanan selama rezim orde baru berkuasa adalah kesulitan untuk melakukan konsolidasi gerakan, khususnya antar LSM sebagai salah satu wadah kaum pemikir dari kampus-kampus perguruan tinggi dan elemen masyarakat lainnya di tengah-tengah rakyat yang tertindas. Antara satu organisasi gerakan dengan organisasi gerakan lainnya belum sepenuhnya saling memahami garis perjuangannya. Yang muncul dipermukaan adalah gerakan anti-state, anti-militer dan anti-sentralistik, serta anti-otoritas diantara organisasi gerakan Namun pemotretan berbagai organisasi gerakan yang berdasarkan pada keempat hal tersebut belum tuntas. Lebih dari itu, arah perjuangan dari semua organisasi gerakan terlepas sehingga menjadi sel-sel gerakan yang tidak menyatu. Keadaan ini terlihat dalam gerakan petani yang berjumlah banyak, tetapi kecil-kecil. Juga dapat dilihat dalam kecenderungan organisasi buruh yang menjadi federatif, konfedaratif.
Keempat, dominasi LSM diantara dinamika semangat perlawanan rakyat kepada rezim orde baru. Pada satu sisi, kehadiran LSM memberikan hasil yang positif, misalnya keberanian untuk berkelompok dan bersuara, namun pada sisi lain muncul ketergantungan dan penguasaan baru berupa hubungan atas-bawah dan memimpin-dipimpin antara LSM dan rakyat. Ungkapan “ Saya lebih baik dari kamu” yang tidak tertulis dari LSM sebagai potensi dan bukti dari sisi buruknya menghasilkan keraguan dan kenyataan berupa sikap politik atas nama rakyat yang tentu saja menjadi bias kepentingan.
Belajarlah dari praktek kita
Setelah latar belakang sejarah dibentuknya FSPI, kita periksa situasi pada masa sekarang dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Situasi-situasi itulah yang nantinya sangat mempengaruhi gerakan perjuangan FSPI pada masa mendatang baik pada rentang jangka pendek, menengah maupun panjang.
Kini sudah sembilan tahun lamanya atau semenjak dideklarasikannya FSPI pada tanggal 8 Juli 1998, kita berjuang. Selama periode waktu itulah, kita bisa merasakan dan menilai bagaimana kerasnya perjuangan melaksanakan reforma agraria dan atas kebijakan pembaruan agraria pemerintah. Namun ternyata perjuangan kita belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Sebaliknya, kemudian muncul beberapa kebijakan pemerintah yang justru lebih membuat jalan FSPI semakin terjal dan mendaki. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya kasus konflik agraria di Indonesia yang belum tersentuh apalagi terselesaikan. Selain itu, beberapa hal yang harus kita hadapi sekarang ini adalah kebijakan tentang penanaman modal, pengembangan bahan bakar nabati, dan pembangunan infrastruktur untuk menyebut beberapa contoh kebijakan pemerintah. Setelah sebelumnya massa tani FSPI dihimpit dan ditindas oleh kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya air, tanah, perkebunan, kehutanan, kenaikan harga bahan bakar dan pasar bebas.
Dari analisa dan perkembangan kerja yang telah dilakukan oleh FSPI ada beberapa kesimpulan yang dapat diberikan. Dengan adanya faktor eksternal yang semakin penuh tantangan dan berbahaya, diiringi dengan berbagai ketidaksempurnaan internal/FSPI. Sekarang ini diperlukan suatu organisasi yang luwes, cepat dan tepat dalam bergerak dan mengambil keputusan, terpimpin. Pondasi dan irama kerja federasi ternyata tidak cukup kuat dalam melakukan gerakan perlawanan. Banyak berbagai kelemahan-kelemahan yang mendasar, misalnya:
Pandangan singkat atas Politik Nasional dan Internasional, Proyeksi ke depan
Pada saat ini kita telah merasakan betapa eforia reformasi yang menghasilkan gerakan anti-state, anti-sentralisme, anti-militeristik dan anti-otoritas justru menghasilkan kekacauan baik dari sisi penyelenggaraan administrasi negara maupun dari sisi politik, ekonomi dan sosial-budaya. Tetapi pada sisi lain, kerja kekuatan pro neo-liberalisme nasional dan internasional justru tumbuh subur, oleh karena gerakan tersebut dianggap mampu memayungi keempat gerakan anti-state, anti-sentralisme, anti-militeristik dan anti-otoritas. Paham neo liberalisme dianggap seiring dengan demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme, serta lebih jauh lagi adalah individualisme, konsumerisme dan hedonisme. Dengan demikian, keempat gerakan tersebut merupakan jalan tol bagi kendaraan neo-liberalisme yang dikemudikan oleh TNC dan Negara-negara imperialis.
Dalam konteks nasional, UUD 1945 yang telah di amandemen empat kali, akan menimbulkan banyak masalah bagi kehidupan berbangsa di negeri ini. Amandemen UUD 1945 dianggap tidak akan membuat kehidupan rakyat Indonesia semakin baik, tetapi sebaliknya membuat rakyat Indonesia semakin sengsara dan terpecah belah. Kebijakan politik multi-partai, pemekaran wilayah sebagai dampak dari renggangnya hubungan pusat-daerah, dan calon independen juga bisa disebut contoh kebijakan yang akan menambah potensi konflik rakyat, tidak terkecuali rakyat tani.
Terkait dengan anti-sentralisme dan anti-otoritas, kita bisa belajar pada kasus yang sama terjadi di Amerika Latin. Kekuatan neo-liberalisme terus memelihara konflik antara pemerintah pusat dengan daerah. Banyak proyek-proyek neo-liberalisme membiayai proyek-proyek Good Governance di daerah-daerah. Kasus Bolivia dan Venezuela menunjukkan perlawanan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Logikanya, pemerintah daerah selalu disiagakan untuk revolusi balasan terhadap program revolusi dari Chavez dan Evo.
Melihat situasi di negara kita yang semakin memburuk ini, kita mungkin merasa sejarah akan terulang kembali. Kita diingatkan oleh Dekrit Presiden Indonesia pada 5 Juli 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 setelah beberapa lama pemerintah Indonesia menggunakan konstitusi RIS dan UUDS 1950. Pada saat itu betapa banyaknya gerakan-gerakan perlawanan di daerah – PERMESTA dan RIS, gerakan pendirian negara Islam – PRRI. Namun pada saat inipun negara kita masih direpotkan dengan masalah gerakan kemerdekaan diberbagai wilayah. Meskipun intensitas perlawanan mereka berbeda dengan era-era sebelumnya, namun tetap saja hal tersebut masih berbahaya seiring dengan penerapan demokrasi yang liberal di negara kita. Tidak menutup kemungkinan kita mengalami fase perpecahan atau berdirinya negara-negara kecil seperti yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur.
Fase perpecahan baru juga bisa kita lihat di Irak, dimana terjadi perang saudara antara suku Syiah, Sunni dan Kurdi – yang mungkin merupakan lanjutan atau penggeseran makna penjajahan Amerika Serikat untuk menguasai sumber kekayaan agraria berupa minyak bumi. Tidak hanya di Irak, tapi juga di Pakistan dan Aghanistan. Demikian kekuatan neoliberalisme dibalik invasi militer akan terus mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat demi mencapai tujuannya. Bila tidak, isu terorisme, fundamentalisme dan demokrasi bisa dijadikan titik masuk untuk menguasai sumber daya agraria di manapun dan kapan pun.
Sementara itu di belahan dunia yang lain, fase yang terjadi adalah kebalikan dari fase perpecahan, yakni fase penyatuan kembali. Sebagai contoh, masyarakat Eropa sekarang bersatu ke dalam EU, masyarakat Afrika sekarang menggagas Uni Afrika, masyarakat di Amerika Selatan sekarang menghidupkan Masyarakat Kawasan Andean.
Hal lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah realitas bahwa bumi kita sudah rusak parah oleh adanya perubahan iklim, diantaranya adalah gelombang udara panas, banjir, kekeringan, tanah longsor dan perubahan gaya hidup, khususnya pola konsumsinya. Dua hal ini akan mengubah haluan berbisnis kaum neo liberal. Terkait dengan perubahan iklim dan pola konsumsi, bisnis ramah lingkungan dan kesehatannya akan menjadi sasarannya dengan tetap berorientasi pada profit.
Dari uraian di atas, kita bisa mengambil beberapa simpulan sebagai berikut:
Masa depan ormas dan kerja kita
Dengan adanya tantangan-tantangan yang semakin tidak ringan itu maka organisasi FSPI harus diarahkan bergerak maju dari bentuk yang federasi menuju organisasi perjuangan kaum tani yang bentuknya kesatuan/unitaris. Dengan demikian, kita arahkan pelbagai perbaikan dalam fondasi dan irama kerja sebagai ormas tani yang kuat. Ada dua pekerjaan pokok kita dalam mencapai cita-cita organisasi.
Pertama, di tataran internal organisasi diperlukan sebuah kesatuan kaum tani secara nasional. Yang dicirikan dengan struktur yang jelas, adanya arah dan panduan kerja yang konkrit serta dinamis dalam bergerak, terpimpin, cita-cita yang disertai program dan capaian-capaian yang terukur jelas, adanya penghargaan dan sanksi tegas. Serta membangkitkan kembali ikatan kelas, budaya dan sosial kaum tani dengan berbagai aktivitas kebudayaan. Membangun mekanisme dari bawah- atas kebutuhan kaum tani, yang radikal, militan dan massif. Kedua, untuk eksternal organisasi diperlukan suatu perjuangan dalam penggalangan sekutu. Karena kaum tani menyadari tidak bisa berjuang sendiri dalam pencapaian cita-cita organisasi. Maka harus dibangun suatu persatuan yang kuat baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Oleh karena itu belajar dari kerja-kerja organisasi dan pengalaman praktek, serta penilaian terhadap organisasi, maka Serikat Petani Indonesia (SPI) memiliki sejumlah kebutuhan pokok yakni :
Demikian resolusi ini dinyatakan dengan tegas dan sebenar-benarnya, sehingga seluruh rakyat khususnya kaum tani harus meresapi, serta dapat memahami dan melaksanakannya dengan sesuai dan cepat. Kaum tani Indonesia akan terus berjuang dan terus berjuang demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.
Wonosobo, 5 Desember 2007
Serikat Petani Indonesia (SPI)