JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali melakukan seminar daring dalam rangka 20 Tahun Hari Hak Asasi Petani Indonesia (20 April) dan Hari Perjuangan Petani Internasional (17 April), 20 April 2021. Seminar ini bertemakan “Mendorong Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan terhadap Hak Asasi Petani demi Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani“.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, dalam konferesi Cibubur 2001 lalu, konferensi yang menjadi dasar penetapan Hari Hak Asasi Petani Indonesia ini menghasilkan sembilan resolusi.
“Sembilan resolusi itu menjadi cikal bakal lahirnya United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP, Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan) yang disahkan 2018 lalu, dan cikal bakal lahirnya beberapa undang-undang level nasional yang pro petani kecil,” kata Henry yang menjadi narasumber dalam acara ini.
Dalam kesempatan yang sama, Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI mengemukakan, saat ini petani kecil masih mengalami banyak problematika dalam kehidupannya, mulai dari ketidaktersediaan lahan, jalur distribusi produksi, rendahnya harga pembelian produk petani, dan masih banyak lainnya.
“Harus dibuat one road mapping pertanian, penyelamatan lingkungan, regenerasi petani dengan mengubah image pertanian, memperbaiki harga, subsidi di produksi pertanian,” katanya.
Lely Nuryati, Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Kementerian Pertanian yang juga menjadi narasumber dalam acara ini juga menyoroti mengenai regenerasi petani.
“Kita perlu melakukan regenerasi petani dari kelompok tua kepada petani milenial untuk menjamin dan meningkatkan kebutuhan pangan di Tanah Air. Sepuluh tahun akan datang sekitar 70 persen petani kita sudah masuk usia tidak produktif. Oleh karena itu harus ada regenerasi petani,” paparnya.
Zainal Arifin Fuad, Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menyampaikan, perjuangan menuju pengesahan UNDROP melalui proses yang cukup panjang dan alot, dimulai sejak tahun 2001 melalui Konferensi Cibubur hingga 2018 di Dewan HAM PBB.
“Jadi untuk perjuangan ini saja butuh 17 tahun. Tantangannya sekarang adalah menerapkan pasal-pasal UNDROP ke dalam peraturan perundangan di level nasiona hingga level kabupaten melalui perda yang bisa langsung menyentuh kehidupan petani kecil,” paparnya.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua KOMNASHAM RI menyatakan, saat ini lebih dari 30% kasus yang dilaporkan ke KOMNASHAM adalah yang berkaitan dengan konflik agraria. Menurutnya ini semua disebabkan karena paradigma pembangunan nasional yang tidak berpihak pada petani kecil.
“Cek ulang setiap kebijakan atau regualsi apakah sudah mengakomodir petani dan masyarakat pedesaan ?,” katanya.
Ahmad Taufan melanjutkan, idak mudah untuk mengubah pradigma pembangunan yang sekarang, karena berhadapan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh pemodal.
“Dan kami juga mencemaskan keadaan ini, karena oknum penegak hukum memakai cara kekerasan dalam menangani konflik konflik (agraria) di masyarakat,” keluhnya.
Ia menambahkan, KOMNASHAM RI mengapresiasi SPI dan gerakan rakyat lainnya yang melakukan inisiatif-inisiatif mandiri untuk menegakkan hak asasi petani.
“Lahirnya UNDROP adalah salah satu buktinya, semoga ini bisa kita maksimalkan,” tutupnya.