ASEAN Mengulang Kebijakan Gagal, Butuh Regionalisme Baru

JAKARTA, 8 MEI 2011. Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengadakan KTT ke-18 di Indonesia pada 7-8 Mei 2011. Sejumlah isu yang menjadi sorotan adalah konflik perbatasan (di ranah politik dan keamanan), ketahanan pangan untuk merespon ancaman harga,  perdagangan bebas (di ranah ekonomi) dan terciptanya Komunitas ASEAN 2015.

Hampir  44 tahun setelah pendiriannya, tantangan ASEAN tetap pada jalinan kerja sama yang benar-benar memberikan manfaat langsung bagi rakyatnya. Saat ini, ASEAN masih sangat jauh dari hal tersebut. Kendala politik membuatnya mandeg menjadi organisasi regional yang elitis, serta kurang solid. Masih banyak konflik antaranggota—seperti yang sedang hangat terjadi antara Thailand dan Kamboja. Indonesia pun “ditolak” sebagai penengah, yang menimbulkan pertanyaan mendasar tentang manfaat hakiki dari organisasi regional ini.

Pertanyaan ekonomi-politik lain yang harus dijawab oleh ASEAN adalah, untuk siapa manfaatnya selama ini dan apakah distribusinya telah adil dan merata? Jika kita lihat anggota ASEAN merepresentasikan tiga golongan: (1) negara yang lebih maju seperti Singapura dan Brunei Darussalam; (2) negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina; serta (3) negara yang masih kurang berkembang seperti Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.

Belum ada terobosan yang mempromosikan kerja sama ekonomi yang berdasarkan keadilan. Saat ini yang dipromosikan adalah perdagangan bebas antaranggota dalam mekanisme Perdagangan bebas ASEAN (AFTA)—dan lebih kacau lagi, perjanjian perdagangan bebas (FTA) telah dilaksanakan dengan negara seperti Cina, Australia, New Zealand, dan yang sedang dibicarakan adalah dengan Uni Eropa, India, dan Korea Selatan. Perdagangan intra-ASEAN menunjukkan porsi terbesar perdagangan masih ada di sekitar Singapura—sehingga sebenarnya perlu memperkuat dan mempersolid kekuatan ekonomi sendiri. Saat ini, negara-negara ASEAN telah babak belur dihantam barang impor hortikultura dan industri murah dari Cina (seperti kasus Indonesia).

Fakta ekonomi juga memperlihatkan ketergantungan ASEAN secara organisasional dengan pihak luar. Dalam tahun 2000-2008 Uni Eropa mengalirkan dana investasi sebesar US$ 93,6 miliar, jumlah yang terbesar. Jepang ada pada urutan kedua dengan investasi sebesar US$ 48,2 miliar dan AS dengan investasi sebesar US$ 34,9 miliar berada pada urutan ketiga dalam periode ini (ASEAN Statistical Yearbook, 2008). Namun total investasi langsung AS yang tercatat sampai tahun 2006 di wilayah ini adalah US$ 99 miliar, nilai tersebut setara  empat kali lipat di China dan sepuluh kali lipat yang di India (Michael Plummer,2011).

Belum lagi ketergantungan terhadap Bank Dunia (untuk proyek pembangunan negara-negara Asia Timur US$1.2 trilyun), Bank Pembangunan Asia (infrastruktur US$150 juta, sektor keuangan US$16 milyar). Solusi pembangunan yang berbasis pasar bebas dan kebijakan kapitalistik lembaga inilah yang menyebabkan krisis di kawasan ini pada tahun 1997—mengapa kita harus mereproduksinya lagi? Mengapa kita tidak mencari alternatif baru?

Secara alamiah, konteks sejarah ASEAN juga merupakan bagian dari strategi untuk membendung kekuatan ideologi komunis di kawasan Asia Tenggara. Dengan keterkaitan historis yang erat dengan AS dan sekutunya, ASEAN terus menjadi alat untuk menjalankan agenda kapitalisme global. Untuk itu, sangat sulit untuk menjalankan agenda-agenda kerakyatan.

Sudah saatnya ada evaluasi yang mendasar bagi regionalisme di Asia Tenggara. Dengan kondisi objektif saat ini, ASEAN tidak akan bertahan lama karena tidak berfungsi hakiki dan berorientasi pada rakyatnya (people-centered). Jika pun berlanjut, organisasi ini akan terus menjadi elitis, disetir oleh beberapa negara yang lebih maju saja—dan tak akan pernah dimiliki rakyatnya.

Regionalisme di kawasan Asia Tenggara ini sangat potensial. Dengan kondisi sosial budaya yang relatif serumpun, harus ada jembatan solidaritas. Hal yang sama sedang dibangun di Amerika Latin dengan Alternatif Bolivarian untuk Latin Amerika (ALBA). Regionalisme dari perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus dikembangkan sebagai komunitas yang demokratik.

Negara yang lebih maju di kawasan harus bersama-sama mencari usaha-usaha bersama yang bisa dibangun dan memajukan seluruh anggota dan rakyatnya. Pertanian dan pembangunan industri pedesaan bisa menjadi fokus,  terlebih kawasan ini menghadapi ancaman krisis pangan. Solusi “pemadam kebakaran” macam ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Framework hanya mengulang paradigma lama agrobisnis dan revolusi hijau. Bangsa-bangsa yang sangat potensial sektor pangan dan pertanian harus membangun kekuatan dengan paradigma kedaulatan pangan untuk rakyat (food sovereignty) dan memastikan hak asasi atas pangan (right to adequate food).

Regionalisme yang rakyat Asia Tenggara bayangkan adalah regionalisme yang memastikan hak-hak mendasar, terutama untuk pekerja, petani, buruh dan buruh migran. Penguatan industri nasional untuk kepastian buruh harus didorong, bukan deindustrialisasi yang terjadi sekarang bersama labor flexibility market yang menyertainya.

Bangsa-bangsa Asia Tenggara pernah menggagas Dasa Sila Bandung, yang menjadi dasar kemerdekaan dari masa penjajahan. Semangat yang sama harus mendasari regionalisme baru di kawasan ini, bukan hanya bisnis semata atau solusi palsu yang sudah terbukti gagal diimplementasikan pada fenomena krisis finansial 2008 lalu.

Gerakan rakyat di Indonesia, yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global, telah mengajukan judicial review UU No. 38 tahun 2008 tentang Pengesahan ASEAN Charter karena tidak sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia. Saatnya kita bangun kawasan ini dengan inisiasi dan alternatif rakyat. *****

 

===================================================================

Rilis bersama dari:

Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Institute for Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API)

 

Kontak lebih lanjut:

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (+62 811 655 668, hsaragih@spi.or.id)

Dani Setiawan, Ketua Koalisi Anti Utang (+62 812 967 1744, danisetia@gmail.com)

 

ARTIKEL TERKAIT
Henry Saragih: "Petisi Kedaulatan Pangan ini Bisa Menjadi Ti...
SPI adukan pengrusakan yang dilakukan Dinas Kehutanan Manggarai, Nusa Tenggara Timur ke Komnas HAM SPI adukan pengrusakan yang dilakukan Dinas Kehutanan Mangga...
Undang-Undang Perkebunan Mengancam Lahan Petani Undang-Undang Perkebunan Mengancam Lahan Petani
Petani Kecil Siap Menjadi Penyedia Pangan Sehat dan Murah Bagi Buruh Petani Kecil Siap Menjadi Penyedia Pangan Sehat dan Murah Ba...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU