PALEMBANG. Biofuel merupakan energi bersih, yang dimaksud bersih adalah hasil dari pengelolaannya. Dimana hasilnya dinikmati oleh negara-negara besar, namun pengelolaan proses yang kotor dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Julian Juniadi Polong, Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI), pada saat Fokus Group Discussion (FGD) tentang Sosialisasi Riset Biofuel Sumatra, Senin (7/12) pukul 09.30 WIB, di Hotel Sahid Imara, Jalan Jendral Sudirman Palembang.
“Hal ini merupakan ketidakadilan iklim,” tegasnya. Karena banyak sumber daya alam Indonesia yang dianggap tidak begitu berpotensial, namun sangat membantu kita. Seperti rawa yang dianggap lahan marginal.
Lebih lanjut JJ Polong mengatakan “Kebun rakyat yang dianggap kurang produktif juga telah meningkatkan pendapatan negara. Dibeberapa desa terbukti dapat meningkatkan pendapatan masyarakat,” kata Polong.
Dengan demikian dibutuhkan data pembanding setiap negara yang telah ada project Biofuel, dan kajian-kajian perbandingan biofuel yang dapat meyakinkan bahwa biofuel memang tidak bermanfaat banyak bagi Indonsia, malah hanya merugikan saja.
“10-20 tahun lagi masyarakat Indonesia akan merasakan dampaknya, karena tanah perkebunan sawit akan kering. Bila lebih banyak tidak menguntungkan untuk Indonesia, Pemerintah Indonesia seharusnya tidak menerima project biofuel ini,” tambah Polong.
Hal ini berdampak pada konflik sosial, lanjutnya, karena biofuel membutuhkan tanah yang besar, akhirnya tanah rakyatlah yang menjadi sasaran. Ini juga dapat mengakibatkan kemiskinan desa.
“Yang kita tahu kemiskinan dapat menyebabkan konflik sosial bahkan kerusuhan sosial,” tegasnya. Hal ini, lanjut Polong, adalah industri berbahaya, yang hanya menguntungkan negara besar. Tidak ada transfer teknologi, ekonomi, pengetahuan, atau apapun dari negara besar untuk negara berkembang.