SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
SBY-JK Tidak Laksanakan Pembaruan Agraria: Indonesia Terus Menderita Konflik Agraria dan Rawan Pangan
Pendahuluan
Sepanjang tahun 2007, secara umum kondisi kaum tani di Indonesia tidak berubah banyak dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan yang mencapai 16.58 persen—walaupun turun dari tahun 2006 sebanyak 17.75 persen—tidak merepresentasikan kondisi di lapangan. Nyatanya, sejumlah 63.52 persen dari total orang miskin tersebut adalah rakyat yang tinggal di desa, yang mayoritasnya (70 persen) adalah kaum tani.
Pembangunan RI di tahun 2007 juga tidak kunjung memprioritaskan pertanian. Paradigma pemerintah tetap mengandalkan sektor industri dan jasa, dan jelas sangat tergantung pada investasi, perdagangan saham, dan utang. Per November 2007 porsi investasi asing di Indonesia sudah mencapai 74 persen, yang diwakili sekitar 200 perusahaan transnasional. Fenomena ini juga yang ‘menyerempet’ bahaya di sektor pertanian, bisa terlihat jelas di sektor perkebunan, terutama komoditi kelapa sawit.
Sebenarnya ada harapan besar bagi petani ketika ada program nasional yang dicanangkan SBY-JK pada 11 Juni 2005 berupa program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Kemudian disusul dengan pengumuman pemerintah pada 28 September 2006 yang menyatakan akan melaksanakan pembaruan agraria dengan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar via Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Bahkan, janji pelaksanaan pembaruan agraria diperkukuh melalui pidato Presiden SBY pada 31 Januari 2007.
Namun kini, semua janji presiden dan Jusuf Kalla itu hanya tinggal janji. Semuanya tidak dilaksanakan.
Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Perdagangan
Dari rekaman dan analisis yang dilakukan oleh Serikat petani Indonesia, terdapat berbagai kebiijakan pembangunan pertanian yang semangatnya bukanlah untuk kesejahteraan dan membangun pertanian nasional namun justru berpihak kepada pemodal dan investasi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Kebijakan pemerintah untuk kembali mengimpor pangan dicatat dalam beberapa fakta, yaitu naiknya impor beras 1.5 juta ton beras di tahun 2007. Ini naik dari tahun 2006 yang hanya sebesar 840 ribu ton (atau naik 78.5 persen). Dalam komoditi kedelai, mengimpor 1.5 juta ton kedelai di tahun 2007. Ini naik dari tahun 2006 yang sebesar 1.2 juta ton (atau naik 25 persen). Untuk memudahkan impor beras diujung tahun 2007 pemerintah melalui Menkeu menetapkan penurunan tarif BM atas impor beras sebesar Rp. 100, menjadi Rp. 450 yang sebelumnya sebesar Rp. 550,-.
Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari perdagangan pertanian yang diatur oleh WTO. Sudah lama kaum tani di Indonesia kesusahan akibat liberalisasi perdagangan (penghapusan subsidi domestik nasional, penghapusan pajak ekspor, penghapusan tarif masuk) ala WTO.
Selain masalah impor pangan, isu kedaulatan pangan pada tahun 2007 adalah tetap isu rawan pangan. Dari total 349 kabupaten di Indonesia, terjadi rawan pangan pada 100 kabupaten. Di antara 100 kabupaten tersebut, 30 kabupaten dinyatakan kronis dan 60 cukup rawan.
Kedua, mulai tahun 2006, krisis bahan bakar fosil dan isu lingkungan membuat isu Bahan Bakar Nabati (BBN) naik yang artinya ditahun 2008 ini kawasan perkebunan kelapa sawit akan semakin meluas. BBN, kami sebutkan sebagai agrofuel—bukan biofuel—karena prefiks ‘bio’ belum tentu menjamin agrofuel ini hijau, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sebaliknya, mode produksi yang menyertai agrofuel ini adalah masif, monokultur, ekspansif dan export-oriented sehingga sangat membahayakan rakyat sekaligus lingkungan.
Pada tahun 2006 juga, pemerintah mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden tentang Bahan Bakar Nabati (BBN). Perpres ini pun efektif berjalan seiring naiknya isu agrofuel. Akibatnya, kini banyak terjadi salah kaprah di tengah pemerintah dan rakyat. Pemerintah mendorong rakyat berbondong-bondong menanam komoditas agrofuel, ditambah penanaman modal yang cukup besar juga di sektor ini.
Komoditas-komoditas seperti kelapa sawit, kedelai, singkong, jagung sekarang ditanam untuk agrofuel. Akibatnya adalah naiknya harga minyak goreng sepanjang tahun 2007 yang mencapai 35%, kerusakan lingkungan yang makin meluas, dan potensi penggusuran yang menambah konflik agraria di pedesaan. Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat betapa ekspansifnya perluasan kebun kelapa sawit yang saat ini mencapai 6 juta ha lebih.
Ketiga, medio 2007, pemerintah mengesahkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Sejak digodok, UU ini telah menuai banyak protes dari gerakan rakyat. Lebih lanjut, substansi di dalam UU ini akhirnya digugat oleh SPI bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Hingga saat ini proses mengadili UU ini (atau disebut judicial review) masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan sudah mencapai tiga kali persidangan.
UU ini antara lain digugat karena bertentangan dengan UUD 1945 yaitu : Pasal 2, Pasal 6 Pasal 7, dan yang berhubungan langsung dengan agraria adalah Pasal 19 (pemerintah akan memberi kemudahan bagi investor untuk memperoleh hak atas tanah), serta Pasal 20 (HGU 95 tahun, HGB 80 tahun, dan HP 70 tahun). Undang-Undang ini berpotensi menambah konflik agraria.
Serikat Petani Indonesia (SPI) juga mencatat banyak kebijakan lainnya yang menyebabkan kekerasan (judicial violence) terhadap petani yaitu UU 7/2004 tentang sumberdaya air, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU Pertambangan serta perpres 36/2005 direvisi menjadi perpres 65/2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepetingan umum. Dan sekarang ini pemerintah dengan DPR RI sedang menyusun RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi yang arahnya belum jelas. Dapat disimpulkan bahwa banyak kebijakan agraria yang kontradiktif dengan pencapaian pembaruan agraria yang dimandatkan UUPA 1960.
Inkonsistensi pemerintah dalam pembangunan pertanian dan pedesaan juga terlihat dengan rendahnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini. Pada tahun 2007, anggaran untuk sektor pertanian, perikanan dan kehutanan hanya seperdelapan dari jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang yang mencapai 85. 1 trilyun rupiah.
Konflik Agraria dan Hak asasi petani
Selama tahun 2007 tercatat lebih dari 76 kasus konflik agraria terjadi, bahkan sebagian besar masih merupakan kasus lama. Lebih dari 196.179 Ha lahan rakyat dirampas sehingga tidak bisa bertani di atas lahan tersebut. Lebih dari 166 petani tercatat dikriminalisasi dengan ditangkap dan dijadikan tersangka, hampir semua petani yang ditangkap mengalami tindak kekerasan. belum lagi lebih dari 24.257 KK petani yang tergusur dari tanahnya dan mengalami pelanggaran HAM. 8 orang tercatat tewas dalam konflik. Dari banyak korban konflik 12 orang diantaranya tercatat mengalami luka tembak. Data ini semua hanyalah data dari anggota SPI dan jaringan serta yang berhasil dikumpulkan, lebih dari itu banyak konflik dan korban yang masih terututup informasinya dari publik.
Secara umum konflik agraria terjadi di wilayah perkebunan dan kehutanan contohnya seperti: Perkebunan, salah satunya yang terjadi pada anggota SPI Sumatera utara di Kabupaten Asahan, tepatnya di Bandar Pasir Mandoge. Konflik Petani dengan PT. BSP (Bakrie Sumatera plantation) telah berlangsung sejak tahun 1981 namun hingga kini kasus tersebut tidak pernah selesai, tidak terhitung lagi penangkapan dan tindak kekerasan yang diterima petani, terakhir pada 7 Juni 2007 salah seorang tokoh petani ditangkap.
Kehutanan, Dalam konteks ini petani sering dituduh menyerobot wilayah hutan, padahal dalam banyak kasus justru petanilah yang diserobot lahannya. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Cibaliung di Propinsi Banten, tanah rakyat justru dirampas Perhutani, meski petani memiliki bukti kepemilikan yang sah hal tersebut tidak menutup tindak kekerasan yang terjadi pada petani.
Konflik kehutanan juga muncul di wilayah konservasi hutan atau hutan suaka, padahal rakyat lebih lama tinggal di kawasan tersebut. Seperti yang terjadi dalam kasus TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon) di Propinsi Banten petani dipaksa pindah dari tempat tinggalnya karena daerahnya ditetapkan sebagai taman nasional. Konflik yang berkepanjangan itu menimbulkan korban satu orang tewas tertembak pada 2006 yang mengakibatkan kemarahan petani sehingga timbul konflik, buntut dari konflik tersebut pada 23 Mei 2007 lima orang petani di kawasan TNUK ditangkap.
Selain itu dalam banyak konflik agraria tidak jarang petani berhadapan dengan aparatur negara, baik TNI maupun POLRI, bahkan dalam beberapa kasus konflik agraria yang terjadi langsung berhadapan dengan aparat. Seperti yang terjadi dalam bentrok antara AL dan petani di desa Alas Tlogo, Pasuruan Jawa Timur pada 30 mei 2007 yang mengakibatkan 3 orang tewas tertembak dan 8 lainnya mengalami luka akibat tembakan. Konflik tersebut bermula dari sengketa lahan seluas 3.569 Ha yang diklaim sebagai milik AL dan digunakan sebagai pusat latihan tempur.
Kasus serupa juga terjadi pada Januari 2007 di Rumpin, Bogor. TNI AU mengklaim tanah warga sebagai lokasi latihannya. Akibatnya pada 22 januari 2007 terjadi bentrok TNI AU dengan warga yang mengakibatkan 7 orang luka-luka, satu diantarannya luka tembak serta 4 warga yang diserahkan ke polisi setelah sebelumnya mengalami penyiksaan dari aparat TNI AU.
Penutup
Kebijakan dari rezim SBY-Kalla sekarang ini merupakan cerminan dari watak aslinya. Janji-janji kala kampanye dan setelah menjadi presiden dan wapres terbukti sudah banyak sekali diingkari. Maka dalam momentum ini, SPI menyatakan bahwa selama Reforma Agraria seperti yang dimandatkan dalam konstitusi RI dan UUPA 1960 tak dijalankan maka langkah bagi pembangunan di Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi, prostitusi, dan tingginya perempuan buruh migrant. Pada akhirnya masalah-masalah mendasar kerakyatan di lapangan yakni kelaparan, pengangguran, kurang pendidikan, masalah kesehatan dan terutama kemiskinan akan terus menghantui bangsa kita.
Oleh sebab itu kita butuh solusi yang berani dan luar biasa, sehingga pelaksanaan Pembaruan Agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33, merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia. Dan agenda ini, tidak bisa ditunda-tunda lagi dengan alasan apapun!
Selanjutnya juga harus ditegakkannya Hak-hak asasi Petani dan dijalankannya Kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan pertanian dan pangannya sendiri, untuk melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik dan perdagangan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang berkelanjutan, menentukan jumlah yang dapat dipenuhi sendiri dan membatasi pasar lokal dari produk-produk dumping. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, tetapi justru mempromosikan perumusan kebijakan-kebijakan perdagangan yang melayani hak-hak rakyat atas keamanan, kesehatan, dan keberlanjutan produksi secara ekologis.
Jakarta, 03 Januari 2008
Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI
Henry Saragih
Ketua Umum