Seluruh eleman gerakan sosial harus bersatu untuk melawan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Hal tersebut dikemukakan Aehwa Kim, dari Aliansi Rakyat Korea Progresif, dalam kesempatan pertemuan strategis melawan FTA di Daegu, Korea Selatan (2/12). Kim mengungkapkan rakyat Korea dari kalangan buruh, petani, mahasiswa, aktivis dan konsumen menentang keras FTA dan bersatu dalam suatu aliansi rakyat.
Penentangan rakyat Korea atas FTA ditunjukan dengan protes-protes besar yang melibatkan banyak kalangan. Beberapa waktu lalu, Aliansi Rakyat Korea Progresif membuktikannya dalam protes terhadap impor daging sapi asal Amerika Serikat (AS). Rakyat Korea menilai daging sapi asal AS tidak aman dikonsumsi dan telah menyebabkan kebangkrutan petani sapi Korea. Tapi, pemerintah tetap bersikukuh untuk mengimpor daging sapi tersebut karena sudah diatur dalam FTA antara Korea dan AS. Rakyat Korea berang dan melakukan protes besar-besaran.
Setelah sejumlah negosiasi dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tersendat-sendat, negara-negara maju berinisiatif melakukan perjanjian FTA bilateral dan regional. Pada faktanya, FTA hanya menguntungkan pihak perusahaan-perusahaan transnasional saja. Sedangkan, rakyat dari negara-negara yang terlibat FTA menjadi pihak yang dirugikan.
Hal dikemukakan oleh perwakilan organisasi petani India (BKU), Vijay Jawandhia. Lebih dari setengah penduduk India mengais matapencaharian dari pertanian dan tiggal di pedesaan. Di India kesenjangan antara wilayah kota dan pedesaan sangat tinggi. Terlebih lagi setelah adanya berbagai perjanjian perdagangan bebas yang meliberalisasikan perdagangan produk pertanian. Banyak petani India tidak bisa bersaing dengan petani dari AS dan Eropah karena pemerintahan di negara maju mensubsidi petaninya. Sedangkan petani di India tidak disubdisi, sehingga produk-produk mereka tidak bisa bersaing dengan produk impor.
Menurut Vijay, keadaan petani di India semakin hari semakin memburuk. Terlebih lagi dengan adanya FTA yang semakin meliberalisasi perdagangan produk-prodk pertanian.
Hal yang sama terjadi juga di Filipina. Eduardo Mora, seorang petani pisang di Filipina mengatakan dengan adanya FTA petani Filipina semakin tersudutkan. Kebijakan pemerintah selama ini memang tidak berpihak pada rakyat kecil seperti petani, ditambah lagi dengan adanya berbagai perjanjian FTA. Harga input-input pertanian seperti pupuk dan obat-obatan semakin hari semakin memberatkan petani sementara itu harga jual produk pertanian tidak pernah membaik.
FTA di Indonesia
Ketua Departemen Komunikasi Nasional SPI, Cecep Risnandar menyatakan Indonesia sudah menandatangani empat perjanjian FTA dan lima lagi masih dalam negosiasi. Perjanjian-perjanjian tersebut menuntut pra kondisi berupa perubahan berbagai perundangan. Selama ini pemerintah sudah membuat berbagai macam produk perundangan untuk memuluskan perjanjian-perjanjian FTA dan WTO.
Beberapa perundangan menyangkut sektor pertanian yang dibuat untuk kepentingan neoliberal diantaranya, pada tahun 2000, pemerintah membuat undang-undang perlindungan varietas tanaman (UU No. 29 tahun 2000). Peraturan ini mengakomodasi perjanjian GATS di WTO dan mengakomodasi kepentingan rejim Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk tanaman.
Pada tahun 2004, pemerintah membuat undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan sumber adaya air (UU No.7 Tahun 2004). Namun pada kenyataannya undang-undang tesebut merupakan legalisasi terhadap penguasaan sumber daya air oleh perusahaan-perusahaan privat. Kami menyebutnya undang-undang privatisasi air.
Pada tahun 2004, pemerintah membuat undang-undang perkebunan (UU No.18 Tahun 2004) dan undang-undang kehutanan (UU No.19 Tahun 2004) serta beberapa peraturan turunannya. Peraturan tersebut banyak mengakomodasi kepentingan perusahaan agribisnis dan kehutanan besar. Seperti, setiap industri pengolahan hasil perkebunan diharuskan untuk memiliki lahan perkebunan sendiri. Hal ini mengakibatkan posisi tawar petani terhadap industri pengolahan menjadi lemah karena industri pengolahan bisa menentukan harga sendiri mengingat mereka mempunyai pasokan dari kebunnya yang sangat luas. Selain itu, ada larangan bagi petani di sekitar perkebunan dan kehutanan untuk memasuki lahan-lahan perusahaan dan bila itu terjadi pihak perusahaan bisa memidanakan para petani dengan berbagai tuduhan.
Pada tahun 2007 pemerintah membuat Undang-undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007). Undang-undang tersebut memudahkan perijinan bagi investor asing dalam mengembangkan usahanya di Indonesia. Seperti hak sewa tanah perusahaan perkebunan diperpanjang dari 60 tahun menjadi 95 tahun dan bisa diperpanjang dimuka. Walaupun atas usaha kami, pasal tersebut pada akhirnya dicabut.
Pada tahun 2007 presiden mengeluarkan instruksi untuk mendukung pengembangan biofuel. Peraturan ini secara ambisius menetapkan pengembangan lahan untuk kebutuhan biofuel seluas 6 juta hektar lebih. Pada prakteknya, ekspansi besar-besaran ini banyak menggusur lahan para petani kecil yang tinggal di pelosok pedesaan.
Dampak bagi petani
Lebih lanjut, Cecep mencontohkan dampak FTA yang dirasakan langsung oleh petani, yakni berupa program pengembangan biodisel. Sejak Desember 2005 Komisi Uni Eropa mengadopsi Rencana Aksi dan Strategi untuk Biofuel. EU menargetkan 10 persen penggunaan agrofuel sebagai sumber energi pada tahun 2020 atau sekitar 1 hingga 1,5 juta ton. Dalam laporannya, Komisi EU menyadari bahwa target yang ditetapkan merupakan target yang ambisius dan akan membutuhkan investasi ekonomi yang signifikan. Untuk mewujudkan hal itu, negara-negara berkembang di daerah tropis dipilih menjadi basis produksi biofuel karena produktifitasnya tinggi dengan biaya produksi rendah. Laporan tersebut secara eksplisit menyinggung produksi Palm Oil oleh negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia, serta potensi ekspor dari negara-negara tersebut. Uni Eropa berusaha mendorong lewat dua perundingan untuk memperluas pemenuhan bahan baku biofuel pada level multilateral dan perdagangan bebas regional. Target penggunaan biofuel di Uni Eropa mendorong ekspor besar-besaran dari daerah tropis tempat dimana umumnya tanaman energi dapat tumbuh subur.
Negara-negara berkembang nampak berlomba-lomba untuk memenuhi permintaan biofuel dunia. Di Asia Tenggara terutama Malaysia dan Indonesia difokuskan pada kelapa sawit, dan sejumlah pengolahan singkong untuk ethanol. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia ialah membuat apa yang disebut sebagai lahan energi abadi. Besarnya kawasan yang ditargetkan menjadi lahan energi abadi seluas 5 juta hektar. Namun pada kenyataannya target tesebut jauh lebih besar. Tahap awalnya sudah dimulai dengan pembukaan lahan baru kelapa sawit di perbatasan Kalimantan-Malaysia seluas 1,8 juta ha pertengahan 2007. Dan tahun ini untuk lahan energi abadi di Merauke seluas 1,5 juta hektar.
Ekspansi perkebunan sawit di Indonesia secara serius telah mengancam kedaulatan pangan rakyat. Hal ini telah menyebabkan menngkatnya konflik agraria, dan juga hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya agraria. Kasus-kasus penyerobotan lahan petani untuk pengembangan perkebunan sawit banyak dialami oleh anggota SPI. Di Subang, Jawa Barat pembukaan lahan sawit telah memotong aliran irigasi dan menggusur kebun jagung penduduk. Di Sumatra Selatan pembukaan 1 juta hektar kebun sawit telah mematikan irigasi untuk persawahan padi. Di Sumatera Utara, pembukaan lahan sawit telah memenjarakan petani-petani desa yang mencoba melawan penggusuran terhadap lahan-lahan pertanian mereka. Industri agrofuel bertanggung jawab terhadap hilangnya jutaan jenis pangan lokal dan mengancam hilangnya kedaulatan pangan.
Dari sisi konsumen, minyak sawit yang biasanya dikonsumsi sebagai minyak pangan oleh rakyat tiba-tiba harganya melambung karena industri pengolahan sawit lebih memilih untuk mengekspor Crude Palm Oil (CPO) ke Eropa dengan harga tinggi. Pada tahun 2006 di Indonesia sempat trerjadi kelangkaan minyak pangan.