Hak Asasi Petani Indonesia Tak Terpenuhi di 2014

JAKARTA.  Pengakuan, penghargaan dan pemenuhan hak asasi petani terhadap sumber-sumber agraria semakin dikesampingkan. Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat setidaknya terjadi 143 konflik sepanjang tahun 2014, di antaranya 29 konflik agraria yang muncul ke permukaan dan menjadi sorotan publik dan 114 kasus yang masih berkecamuk di akar rumput. Korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi secara hukum. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan kepala keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan.

tabel 1

SPI juga mencatat sebaran luas lahan setiap pulau di Indonesiayang menjadi sumber konflik agraria selama tahun 2014. Sebaran konflik agraria sepanjang 2014 terkonsentrasi di pulau sumatera yaitu sebesar 83% dari sekitar 649.973,043 ha lahan diperebutkan. Data tersebut menerangkan, Sumatera yang menjadi sentra perkebunan nasional menjadi titik balik dari  konflik agraria yang terus terjadi. Sebanyak 58% konflik agraria yang terjadi ditahun 2014 diperankan oleh pihak swasta baik nasional atau asing.

tabel 2

“Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan UU Perkebunan No 18 tahun 2004, telah memperkuat pihak perusahaan untuk merampas dan mempertahankan tanah-tanah dikuasainya dengan menggunakan pasal-pasal yang terkandung pada pasal 20, 21, dan 47, dimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat melakukan pengamanan usaha perkebunan dan dikordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat disekitarnya. UU ini juga menjadi dasar untuk kriminalisasi petani dan masyarakat adat setiap kali memperjuangkan tanahnya yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan,” papar Ketua Umum SPI Henry Saragih di Jakart,a kemarin (17/12).

Kondisi penegakan Hak Asasi Petani juga mendapatkan tantangan yang pelik karena berhadapan dengan pemerintah. Sebanyak 42% atau 60 kasus konflik agraria selama 2014 terjadi dengan pemerintah. Selain itu hampir keseluruhan kasus baik yang diperankan oleh pemerintah maupun swasta selalu melibatkan aparat penegak hukum dilapangan. Sehingga bentrokan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap petani tak dapat dihindarkan.

Sementara itu, hak asasi petani terhadap modal dan sarana produksi pertanian pada tahun 2014 mengalami tantangan yang berat dengan kelangkaan pupuk yang disertai melonjaknya harga pupuk di pasar. Selain itu, kekeringan yang terjadi di 86 Kota/Kabipaten di indonesia semakin menghantui petani. Kondisi ini semakin menjadi-jadi ketika irigasi yang merupakan wewenang dari pemerintah rusak dan tak terurus. Sehingga sarana produksi yang seharusnya menjadi hak bagiu petani seolah diabaikan.

“Mengenaimasalahirigasi, IMF padatahun 1998 mengintruksikan Indonesia untuktidakmembangundanmemperbaikiirigasi. Sehinggasekitar 30-40% irigasi di Indonesia tidakberjalandenganbaik. Ini tentunya PR pemerintahan sekarang,” kata Henry lagi.

Selanjutnya, hak asasi petani terhadap akses pasar dan harga jual yang layak pada tahun 2014 dibenturkan dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor komoditas pangan melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian perdagangan. Impor yang menjadi sorotan bagi SPI yaitu pada tujuh komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, kedelai, daging sapi, gula dan garam.

“Pada impor gula dan garam, SPI memandang pemerintah gagal dalam memenuhi hak petani untuk mendapatkan harga jual yang layak. Karena impor dilakukan ketika musim panen berlangsung dan bahkan ketika ketersediaan nasional masih mencukupi kebutuhan,” lanjut Henry.

Sementara itu, hak petani atas kehidupan yang layak sepanjang tahun 2014 tidak bergerak secara signifikan. Indikatornya yaitu Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Januari sebesar 101,95 dan pada bulan Nopember berada pada angka 102,37. Selanjutnya data dari BPS menunjukan rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian hanya sebesar12,41 juta rupiah per tahun atau sekitar 1 juta rupiah per bulan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kesejahteraan bagi petani belum terjamin disamping luas lahan yang digarap semakin menyempit.

Pada Hak Asasi Petani terhadap keanekaragaman hayati di tahun 2014 ditandai dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan ini memberikan sinyal produk GMO (genetically modified organism) akan segera mengakses pasar pertanian nasional.

“GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Selanjutnya, kelompok petani penangkar akan digantikan dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun-laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian maka hilanglah satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Kemudian sistem perbenihan rakyat akan mengalami kelesuan. Selain keuntungan dengan adanya GMO hanya dirasakan oleh minoritas seperti pemodal dan korporasi, bahaya GMO untuk kehidupan manusia dan keberlangsungan keanekaragman hayati menjadi sesuatu yang terpenting. Maka dari pada itu, SPI menyerukan untuk mencabut perpres tersebut atas dasar keberlangsungan kehidupan umat manusia dan keteradilan bagi petani,” jelas Henry.

Sedikit kabar gembira datang dari hak atas kebebasan dalam berorganisasi bagi petani yang diperkuat dengan dikabulkannya gugatan UU. No. 19 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani oleh Mahkamah Konstitusi.  Putusan No.87/PUU-XI/2013 tersebut secara singkat mengubah frasa “hak sewa” pada pasal 59, mengakui organisasi yang didirikan oleh petani pada pasal 70 (1) dan membebaskan petani untuk berorganisasi.

“Akan tetapi pada pelaksanaannya regulasi tersebut tidak berjalan mulus sesuai harapan yang disematkan kepadanya. Misalnya pada kasus konflik agraria di tahun 2014, petani selalu menjadi objek dari tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun preman. Utamanya ancaman dilakukan agar petani tidak kembali berorganisasi dan menghimpun kekuatan. Hal tersebut jelas membatasi hak petani untuk berorganisasi,” keluh Henry.

Henry lanjut memaparkan, mengingat pelanggaran terhadap hak asasi petani di Indonesia masih terus terjadi tanpa adanya langkah yang signifikan untuk menegakan keadilan petani, SPI menekankan pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria sejati untuk kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan agar petani dapat merasakan kehidupan yang adil dan makmur. Langkah-langkah yang SPI usulkan mulai dari mempertahankan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945; mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang pembaruan dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945; hingga membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tujuan menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi.

“Yang tidak kalah penting, petani harus memberikan perlindungan dan memenuhi seluruh Hak Asasi Petani terhadap Kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak; tanah dan teritori; benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional; permodalan  dan sarana produksi pertanian; informasi dan teknologi  pertanian; kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian; perlindungan nilai-nilai pertanian; keanekaragaman hayati; pelestarian lingkungan; kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi dan hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan,” papar Henry kembali.

Selanjutnya menurut Henry, pemerintah harus menguatkan UUPA No. 5 tahun 1960 dengan produk hukum seperti UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa serta UU pro rakyat lainnya.

“Pemerintah jangan lupa untuk mencabut danatau merevisi produk hukum yang merugikan dan melanggar hak asasi petani seperti UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 7/2004 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, UU No. 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No. 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian  Mengenai  Sumberdaya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU No. 38/2008 tentang Ratifikasi Piagam ASEAN, UU No. 4/2009tTentang Pertambangan dan Mineral Batu Bara, UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, Permentan No. 67 Tahun 2013 tentang Pedoman Subsidi Benih, Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang modal dan Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik,” sebut Henry panjang lebar.

Selanjutnya, pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga,  distribusi dari hasil  produksi pangan  petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri. Pemerintah juga harus menyusun visi pembangunan pertanian Indonesia yang menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi tanah, pertanian dan pangan seperti food estate dan program MP3EI yang sedang berlangsung saat ini. Pemerintah harus membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha rakyat untuk mandiri dan berkembang. Capaian usaha-usaha tersebut nantinya dapat memberikan lapangan kerja baru dan langkah antisipasi dari ancaman pangan impor.

Yang tidak kalah penting, pemerintah harus menempatkan koperasi-koperasi petani, usaha-usaha keluarga petani, dan usaha-usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian; menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk-produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar; meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksanakan kembali program go organic 2010 untuk masa-masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip agroekologis; hingga menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik antara BPS, Kementerian perdagangan dan Kementerian Pertanian yang mengakibatkan keluarnya kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum.

“Yang jangan dilupakan adalah, pemerintah harus menolak paket Bali (WTO) 2013 yang menarik subsidi pemerintah kepada petani dan adanya pembebasan tarif bea masuk impor untuk produk pertanian ke Indonesia. Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan  mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan,” tambah Henry.

Silahkan unduh laporan lengkapnya di sini.

 

Kontak selanjutnya:

Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum SPI – 0812 7616 9187

ARTIKEL TERKAIT
Sukacita SPI Banten, Jawa Barat, Yogyakarta Rayakan Hari Tan...
Krisis Iklim: Masalah Nyata, Solusi Palsu (1) Krisis Iklim: Masalah Nyata, Solusi Palsu (1)
Rangkaian Globay Day Action WSF 2008 Rangkaian Globay Day Action WSF 2008
Green Economy: Wajah Baru Kapitalisme
2 KOMENTAR
  1. toni berkata:

    Terima kasih untuk ulasan UUD dan Perpres nya. Jikalau boleh mgkn bisa dicantumkan dalam bahasan agar pembaca bisa langsung mengerti (?). Namun ada sedikit pertanyaan, menurut pandangan saya apakah keputusan keluar dari WTO adalah keputusan tepat? Saya rasa jika kita hidup di era seperti sekarang ini, kita tidak bisa sembarangan keluar dari organasasi kelas dunia seperti itu. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang harus kita pikirkan lagi sebelom kita memutuskan hal teresbut.

  2. semoga tahun ini bisa di penuhi…

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU