JAKARTA. Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang yang benar-benar pro petani, dari petani, oleh petani dan untuk petani; dan hal ini bisa diwujudkan dengan Undang-Undang Hak Asasi Petani (HAP).
Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUUP3) yang saat ini sedang dibahas oleh DPR belum mengakomodir hal tersebut.
“RUUP3 ini menempatkan petani sebagai objek yang lemah yang harus dilindungi dan diberdayakan oleh pihak lain, seharusnya RUU ini menempatkan petani sebagai subyek pembangunan pertanian dan pedesaan,” ungkap Ya’kub dalam diskusi publik yang bertajuk “Perlindungan dan Pemajuan Hak Atas Pangan serta Hak Asasi Petani”, di gedung DPR-MPR, di Jakarta, kemarin (22/02).
Ya’kub menjelaskan bahwa dalam RUUP3 ini tidak secara komprehensif menjelaskan hak-hak apa yang dilindungi. RUUP3 ini juga tanpa pemulihan hak korban konflik agraria, dan tanpa perlindungan petani pemulia benih yang dilindungi hasil budi dayanya.
“RUUP3 ini juga tanpa pembaruan agraria sebagai hak petani, persoalan tanah hanya dicukupkan pada kawasan utama tani tanpa redistribusi lahan untuk petani kecil dan buruh tani dan tanpa batas maksimum serta minimum kepemilikan tanah, pengaturan penggunaan tanah lewat konsolidasi tanah bukanlah landreform, sehingga tidak ada jelas peruntukan tanah (obyek landreform) sebagai hak petani,” papar pria yang juga Koordinator Youth La Via Campesina Regional Asia Tenggara dan Timur ini
Ya’kub menambahkan bahwasanya RUUP3 ini seharusnya dinamakan RUU Hak Asasi Petani dan mengadopsi isi Deklarasi Hak Asasi Petani yang mencakup 13 pasal yang di dalamnya tercantum 11 hak asasi petani. Kesebelas hak itu adalah Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak, Hak atas tanah dan teritori, Hak atas benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional, Hak atas permodalan dan sarana produksi pertanian, Hak atas informasi dan teknologi pertanian, kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian, hak atas perlindungan nilai-nilai pertanian, hak atas keanekaragaman hayati, hak atas kelestarian lingkungan, kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi, dan hak atas akses terhadap keadilan.
Sementara itu, Gunawan dari Indonesia Human Rights Commission for Social Justice (IHCS) menyampaikan bahwa RUUP3 tidak menyentuh akar masalah dan justru berpotensi melemahkan akses-akses rakyat dari sumber-sumber produktifnya.
“RUUP3 ini mereduksi hak berserikat hanya dalam asosiasi dan dewan komoditas, tanpa jaminan sosial karena asuransi pertanian bukanlah jaminan sosial,” ungkap Gunawan yang juga bertindak sebagai salah seorang narasumber di acara diskusi ini.
Sementara itu, Ibnu Multazam dari Komisi IV DPR menyampaikan bahwa dalam RUUP3 ini sudah terdapat tiga hal utama yang berpihak pada petani yaitu perlindungan sarana dan prasarana pertanian, perlindungan ketika pengolahan, dan perlindungan pasca panen.
“Juga akan dibahas mengenai perketatan masuknya produk pangan ke Indonesia, berkaitan dengan 50 item pangan yang bebas biaya masuk, hal ini akan dibicarakan kembali,” ungkap Ibnu Multazam yang juga anggota Fraksi Partai Kebangkita Bangsa (FPKB).
Ato Suprapto dari Kementerian Pertanian menyampaikan bahwa RUUP3 ini seharusnya mampu menjadi landasan ekonomi kerakyatan.
“Saya rasa inisiatif Komisi IV ini patut kita hargai, bisa dibilang hal Ini adalah revolusi untuk ekonomi kerakyatan. Selanjutnya Di RUU ini nantinya juga perlu dibatasi pintu masuk dari komoditas pada sentra-sentra produksi, tapi tentunya bakal ada persinggungan dengan perusahaan importir besar karena mereka merasa dirugikan kalau dibatasi,” ungkapnya.