Penjajahan Kolonial selama lebih dari 3,5 abad yang pernah dialami Indonesia berakibat pada sistem perekonomian Indonesia terperangkap dalam sebuah struktur perekonomian yang berwatak kolonial. Struktur sosial-ekonomi Hindia Belanda ditandai oleh terbaginya masyarakat Indonesia atas tiga strata sebagai berikut. Pertama, kelas atas yang makmur diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, lapis tengah yang menguasai perdagangan diisi oleh warga timur asing. Ketiga, kelas bawah yang miskin diisi kaum pribumi.
Sebab itu, menurut pendiri bangsa, sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial, ekonomi Indonesia merdeka harus ditandai oleh bangkitnya kaum pribumi proletar sebagai tuan di negeri mereka sendiri.
Untuk mewujudkan cita-cita ekonomi merdeka tersebut, para Bapak Pendiri Bangsa, bertekad untuk menjadikan demokrasi ekonomi sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Dalam rangka itu, sebagaimana terungkap secara terinci dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (harus) dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya secara politik, cabang-cabang produksi untuk pembangunan ekonomi wajib di inisiatifi oleh rakyat Indonesia sendiri—bukan malah menyerahkannya kepada inisiatif asing.
Perjuangan dalam rangka ekonomi Indonesia merdeka itu masih harus terus digelorakan. Karena struktur sosial-ekonomi saat ini masih tidak berbeda dengan situasi jaman kolonial Belanda. Terutama setelah masuknya Mafia Berkeley sebagai bagian dari kekuasaan pada awal pemerintahan Soeharto, kaum kolonial secara sistematis berhasil menghentikan proses tersebut. Bahkan, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mereka berhasil melakukan koreksi ulang sesuai dengan selera pasar dan kapital.
Lebih-lebih setelah ekonomi Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997/1998 yang lalu. Melalui penyelenggaraan sejumlah agenda ekonomi neoliberal yang dikomandoi oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan World Trade Organization (WTO), upaya untuk mewujudkan ekonomi merdeka tidak hanya terhenti secara praksis. Ekonomi merdeka justru dikangkangi secara sempurna hingga ke tingkat konstitusi. Bahkan kerja-kerja yang inkonstitusional terus berlaku hingga sekarang ini. Contoh konkritnya beberapa tahun ini adalah via pengesahan UU Penamaman Modal, liberalisasi pangan, liberalisasi energi terutama migas dan listrik, serta liberalisasi pendidikan dan tidak dialokasikannya 20 persen APBN untuk pendidikan, kaum kolonial tampaknya sedang berusaha keras untuk menuntaskan rencana jahat tersebut.
Secara terbuka kalangan Parlemen, Presiden dan wakilnya, lembaga peradilan terus menerus menggerus kontitusi demi pengerukan kekayaan bangsa Indonesia dengan cara mengabdi kepada kepentingan pemodal asing maupun nasional.
Maka bagi Gerakan Rakyat Lawan Nekolim, mereka yang inkonstitusional itu dapat dikategorikan sebagai pengkhianat konstitusi dan musuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, maka pengkhianat konstitusi dan musuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah juga musuh rakyat. Dan faktanya, privatisasi, deregulas dan liberalisasi yang dimandatkan asing (Amerika Serikat dan kroni-kroninya) sudah terlaksana di berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuatan-kekuatannya langgeng dan mengakar pada pemerintah, parlemen, partai politik, pengadilan, pers, serta para pakar di atas bumi Indonesia.
Untuk itu, kami sebagai Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-Imperialisme akan terus menggalang kekuatan rakyat untuk menegakkan konstitusi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya gerakan rakyatlah yang mampu menghempang aksi-aksi inkonstitusional, baik secara hukum positif (melakukan pemakzulan) maupun langsung menjatuhkan rejim inkonstitusional tersebut.
GERAK LAWAN
Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Pekerja PLN (SP-PLN), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Aliansi Petani Indonesia (API), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Solidaritas Perempuan (SP), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Suara HAM Indonesia (SHMI), Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI)