JAKARTA. Kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, menghadiri pertemuan KTT ASEAN ke-19 di Bali merupakan peristiwa yang patut dicermati. Para pemimpin ASEAN harus lebih cermat dalam menanggapi kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam rangka mendorong berbagai perjanjian perdagangan bebas dan investasi di tingkat regional. Tantangan pemerintah Obama untuk mempercepat pemulihan krisis AS, melahirkan tiga kebijakan penting: 1) akses terhadap pasar baru, bukan hanya mempertahankan dan melindungi yang sudah ada, 2) membangun kesepakatan-kesepakatn regional, 3) memperluas isu-isu perdagangan. Hingga saat ini, AS telah membuat perjanjian perdagangan (FTA) dengan 15 negara dan Traktat Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaties/BIT’s) dengan 41 negara.
Hal inilah yang tercermin dalam proposal AS untuk memperkuat kerjasama ekonomi kawasan Asia Pasifik dengan mewujudkan Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP) atau dikenal dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang saat ini telah mengikutsertakan sembilan Negara yaitu, Australia, Brunei Darussalam, Chile, Malaysia, New Zealand, Peru, Singapore, Vietnam, dan Amerika Serikat.
TPP yang disuarakan sebagai model perjanjian perdagangan abad 21 ini, merupakan prioritas utama bagi AS untuk meningkatkan ekspor, melindungi sektor bisnisnya di luar negeri, dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat AS. Kawasan Asia Pasifik merupakan kawasan besar bagi pasar Amerika. Dicatat bahwa ekspor barang-barang AS ke kawasan ini mencapai total US$775 miliar pada tahun 2010, atau 61 persen dari total eksport AS ke seluruh dunia. Ekspor produk pertanian saja, mencapai US$83 miliar atau setara dengan 72 persen total eksport produk pertanian pada tahun 2010 (US Trade Representative, 2011).
Sebagai isu perjanjian perdagangan bebas, TPP sesungguhnya berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi nasional dan berakibat pada dirugikannya sektor industri nasional, petani, dan kaum buruh di Indonesia. Perjanjian ASEAN-China FTA harus menjadi pelajaran penting betapa sektor industri dan petani Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu, kedatangan Obama pada KTT ASEAN ini tidak boleh menggeser posisi pemerintah Indonesia untuk menjalankan amanat konstitusi dalam melindungi tumpah darah Indonesia dari serbuan liberalisasi perdagangan dan investasi asing.
Ke dalam, pemerintah Indonesia harus melakukan koreksi atas berbagai kesepakatan-kesepakatan di bidang ekonomi antara AS-Indonesia dengan mendorong dibukanya proses renegosiasi kontrak-kontrak sumber daya alam yang melibatkan perusahaan AS seperti Freeport, Newmont, Chevron, dll. Ke luar, sebagai pemimpin ASEAN saat ini, Indonesia harus mampu menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan anti intervensi, dominasi dan hegemoni ekonomi kapital internasional yang menggunakan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas dan investasi unutk mengambil keuntungan besar.
ASEAN, dari sebuah perhimpunan negara-negara, kini telah berkembang menjadi sebuah komunitas perdagangan. Dari aspek pertahanan dan keamanan, ASEAN masih memiliki ancaman tradisional berupa sengketa perbatasan antar negara yang menjurus pada konflik bersenjata terbuka. Potensi ancaman tradisional atau konvensional juga bersumber dari negara non ASEAN, sebut saja Amerika Serikat, yang strategi pertahanan negaranya tidak berada di batas negara, tapi di mana jalur perdagangan dan modal internasionalnya ditanamkan.
Di sinilah arti penting ASEAN bagi Amerika Serikat, Yang juga diperlukan AS guna menghadapi China dan Korea Utara. Dari sinilah AS perlu pangkalan militer asing dan area patroli armada perangnya. Rencana China yang akan membangun kapal induk, merupakan ancaman bagi AS di kawasan ini. Meningkatnya kemampuan militer China, tentu saja membuat AS tidak mau kehilangan pasar alutsistanya di Negara-negara ASEAN dan mencegah beralihnya ketergantungan terhadap China.
Dalam sengketa perbatasan antar negara ASEAN yang juga melibatkan China, nampak jelas AS berupaya agar konflik tersebut men.garah kepada sentiman anti China di kawasan. Selain memiliki potensi ancaman tradisional atau konvensional yaitu konflik bersenjata antar negara, ASEAN juga punya potensi ancaman non tradisonal atau non konvensional berupa separatisme bersenjata, terorisme, konflik komunal atau konflik sosial dgn kekerasan bersenjata, bajak laut, kejahatan lintas negara dan bencana alam. Oleh karenanya ASEAN perlu menjadi komunitas demokratik, yang ditandai dengan penolakan atas dominasi dan hegemoni politik, ekonomi, dan militer serta intervensi militer negara-negara non ASEAN seperti Amerika Serikat, Inggris, China dan Australia. Kami mendorong antar negara saling membantu penyelesaian damai perang internal, dan pemerintahan masing-masing membuka dialog dengan rakyatnya, agar kesepakatan-kesepakatan ekonomi ASEAN tidak menimbulkan konflik sosial baru akibat kegelisahan rakyatnya yang menjadi korban liberalisasi ekonomi. Demi tercapainya ASEAN sebagai komunitas yang demokratis.
Jakarta, 18 November 2011
Kontak lebih lanjut:
Achmad Ya’kub, 0817712347 – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI)
Dani Setiawan, 08129671744 – Sekjen Koalisi Anti Utang (KAU)
Gunawan, 081584745469 – Sekjen Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS)