Menanti Solusi Cepat Perpres Reforma Agraria

reforma agraria

*oleh: Muhammad Ikhwan

Nawacita Jokowi-JK menyaratkan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar. Ini adalah aspirasi dari petani, masyarakat adat dan gerakan rakyat.

Sudah setahun pemerintahan, rencana ini belum juga jalan. Hal ini mengkhawatirkan banyak pihak: pengkritik menyatakan seakan janji ini jadi lip service; pembela menyatakan kasih waktu dulu untuk Jokowi-JK.

Waktu memang jadi musuh pemerintahan di Indonesia. Secara politik, ada pemeo 2-1-2, yang katanya dari lima tahun masa bakti, 2 tahun pertama akan habis untuk konsolidasi-1 tahun untuk implementasi-sementara 2 yang terakhir untuk menatap pemilu selanjutnya.

Reforma agraria sendiri bukan barang baru. Ia sudah dinanti sejak lama. Konteks saat kemerdekaan kita, nasionalisasi aset-aset kolonial Belanda. Lama dipetieskan Orde Baru, konteks reforma agraria sedikit bergeser saat 1998, yaitu redistribusi perkebunan, kehutanan yang tak adil selama lebih dari 33 tahun. Kebun, hutan, hampir seluruh bumi dan kekayaan alam diketeki Soeharto dan kroni.

Saat ini, pemerintah mengambil angle “bahwa saat ini masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan masyarakat.” Benar adanya. Miris: tak sampai satu persen orang menguasai 65 persen lahan. Mereka inilah taipan perkebunan, hutan, tambang di Indonesia. Tak jarang pula modal asing.

Sudah tepat reforma agraria menjadi agenda pemerintahan. Jokowi-JK harus diberi kredit untuk itu. Rakyat Indonesia umum, sektor swasta hingga BUMN pun tak juga perlu takut. Ini ‘kan mandat Undang-Undang Dasar (UUD), mandat banyak UU pula–sejak jaman Soekarno dan reformasi. Proses ini memang diperlukan, untuk keadilan tanah. Nah, terutama untuk kaum tani, tanah itu bersifat utama: dengan tanah, roda produksi Insya Allah bisa berjalan.

Namun semua butuh keligatan–jika tak mau terperangkap 2-1-2 di atas. Menyadur ucapan begawan reforma agraria Indonesia, Gunawan Wiradi, “reforma agraria itu harus cepat, sistematis, serentak.” Maksudnya untuk kondisi kekacauan dan ketimpangan tanah saat ini, kita butuh solusi ringkas: bukan cicilan 100 ribu hektar lahan untuk 50 ribu keluarga–misalnya. Di Indonesia, rakyat miskin ada jutaan–dan mayoritas bekerja-tinggal di desa. Mereka ini subjek reforma agraria: yang butuh diberdayakan, butuh pekerjaan. Dengan memberikan hak atas tanah dengan cepat, sistematis dan serentak, stimulasi efek “kerja, kerja, kerja” ala Jokowi akan jadi praktik.

Di sisi lain, peraturan ternyata belum cukup detail. Jokowi-JK masih butuh tambahan amunisi. Perpres pun digalang. Sayangnya, proses setahun belakangan salah: drafting malah ditenderkan. Yang susun Perpres ternyata partikelir (PT Mahaka), bukan rembukan rakyat.

Sementara ini, rakyat terus menunggu draft perpres tersebut–yang mudah-mudahan tak melenceng dari mandat UU Pokok Agraria 1960. Kaum tani pun menunggu kalau dalam proses selanjutnya pemerintah tak salah lagi: harus ada pelibatan organisasi-organisasi rakyat yang bekerja untuk reforma agraria.

Untuk kaum tani, penting sekali untuk mendapatkan keutamaan dari implementasi reforma agraria. Perpres harus eksplisit menyatakan beneficiaries haruslah petani kecil, petani tak bertanah, mereka yang bekerja untuk tanah dan yang secara budaya terikat dengan tanah objek reforma agraria (Ini saja, menurut BPS tahun 2013 sudah sekitar 14 juta rumah tangga!) Definisi dan keutamaan ini penting, karena sejarah Indonesia mencatat peminggiran hak-hak asasi petani: terutama hak atas tanah.

Kerja-kerja redistribusi tanah juga harus mengutamakan kedaulatan pangan (ini ada juga, eksplisit di Nawacita!) Jadi, tak hanya kekuatan tanah: tapi ada pendampingan, pelatihan, infrastruktur, bahkan permodalan dan teknologi. Ingat, untuk mencapai kedaulatan pangan bukan hanya target angka produksi yang harus kita perhatikan. Tapi apakah petaninya jadi lebih pintar (revolusi mental)? Bagaimana kearifan lokal digunakan? Apakah lingkungan dan keanekaragaman hayati juga terpelihara?

Kita juga menanti apakah Perpres nanti bisa memecahkan masalah klasik: sementara rakyat bisa mendapatkan tanah untuk kegiatan produksi, di sisi lain ada konflik-konflik tanah-agraria yang mendesak diselesaikan. Tahun lalu saja ada sekitar 231 konflik yang melibatkan 770 ribu hektar lahan, serta lebih dari 2.700 KK. Catat, ini hanya yang tampak di permukaan: sementara kasus yang kronis lebih banyak lagi.

reforma agraria

“Tidak ada penurunan konflik agraria di tahun 2015,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih. Yang berarti, reforma agraria lebih-lebih lagi harus segera dijalankan.

Perpres reforma agraria harus segera selesai tahun ini. Kita tentu membayangkan betapa sulitnya birokrasi menjalankan reforma agraria dalam sisa tiga tahun. 9 juta hektar dalam 3 tahun–tampak sulit sekali. Plus, birokrasi kita badannya seperti tak cukup lincah untuk kerja-kerja redistribusi tanah.

Maka dari itu, pemerintah amat sangat penting melibatkan aktor lain yang berpengalaman. Organisasi petani. Organisasi rakyat. Organisasi keagamaan macam NU dan Muhammadiyah.

Pelibatan ini akan memuluskan proses sosialisasi. Keterlibatan, “sense of belonging” untuk reforma agraria akan lebih baik daripada “state-led agrarian reform” belaka. Dengan gotong-royong meredistribusi tanah, selain ringan beban pemerintah juga menjadikan reforma agraria sebagai domain publik. Yang berhak tanah tentu semangat. Yang jadi objek redistribusi, harus ikhlas (dengan pemerintah sebagai penengah). Toh, kerja-kerja Jokowi waktu “penggeseran–bukan penggusuran” di DKI Jakarta juga begitu. Komunikasi dengan warga. Gotong royong.

Kebut-kebutan setelah Perpres juga krusial. Pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah. Yang terkadang juga menjegal reforma agraria (ya, mereka punya proyek sendiri di sektor tambang, perkebunan, hutan–dan ini bukan rahasia lagi).

Jadi, kita menunggu solusi cepat Perpres. Jika tidak tahun ini, reforma agraria akan terus menjauh dari implementasi.

*Penulis adalah Ketua Departemen Komunikasi Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI

 

ARTIKEL TERKAIT
The Bean Tops, Sekolah Pertanian Kaum Muda Belgia
pendidikan agroekologi pandeglang 2 SPI Pandeglang Selenggarakan Pendidikan Pertanian Agroekolog...
Memperjuangkan Pengakuan Hak Asasi Petani di PBB Memperjuangkan Pengakuan Hak Asasi Petani di PBB
20 Tahun SPI: Ucapan Selamat Mulai dari Mahasiswa, Hingga Pi...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU