Menghadang Kemungkaran & Ketidakadilan Agraria

*Oleh Tri Hariyono

Dalam refleksi teologisnya yang kritis, Hassan Hanafi (1998) mengatakan bahwa kendati pun menurut ayat-ayat Al-Qur’an kita ini merupakan ummat yang satu (ummatan wahidah), namun sesungguhnya dalam kenyataan yang obyektif kita dipisahkan menjadi dua, yaitu ummat yang miskin dan ummat yang kaya. Sungguh refleksi keagamaan seperti ini sangat bermanfaat untuk melakukan otokritik, apakah kesalehan selama bulan Ramadhan yang kita cari mempunyai dimensi kesejarahan ataukah hanya secara vertikal menunjukkan ketaatan ritualistik yang emosional. Ibadah puasa kita sudah memasuki fase sepuluh hari atau sepertiga terakhir bulan Ramadhan.

Menurut sebuah hadits Nabi SAW, pada sepuluh hari atau sepertiga pertama bulan Ramadhan Allah melimpahkan anugarah-Nya (rahman) kepada orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. Pada sepertiga kedua Allah membukakan pintu ampunan (maghfirah). Sedangkan pada seperti terakhir Allah membebaskan orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dari ancaman dan siksaan neraka (ifkun minan-nar). Hadits di atas pada prinsipnya menggambarkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang dimuliakan Allah dan karenanya penuh berkah, yang didalamnya Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari siksa neraka. Tetapi janji Allah tersebut tentu hanya saja berlaku bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan imanan wa ihtisaban (iman dan mawas diri atau ikhlas). Setiap ibadah, baik ibadah shaum (puasa) yang kita jalani sekarang ini maupun ibadah lain, di dalamnya terkandung apa yang kita sebut sebagai pesan moral. Bahkan begitu mulianya pesan moral ini, sampai Rasulullah SAW menilai ‘harga’ suatu ibadah dinilai dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Oleh karena itu dalam perjalanan menyelesaikan amalan ibadah puasa beserta rangkaiannya di hari-hari sepertiga terakhir bulan Ramadhan tahun ini, ada baiknya kita melakukan intropeksi-diri serta evaluasi-diri apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi kualifikasi imanan wa ihtisaban. Tulisan ini mencoba mencermati pesan moral yang terkandung dalam ibadah puasa tersebut, serta mengaitkannya dengan fenomena sosial ekonomi yang paling dramatik yang telah diwariskan oleh janji-janji modernitas yang ternyata menyingkirkan sebagian besar orang kesudut marjinalisasi dan dehumanisasi (kemungkaran sosial) dalam kehidupan masyarakat muslim dewasa ini.

Puasa di Era Konsumeristik

Puasa memang bukan ide sosial untuk menyelesaikan isu sosial-ekonomi dan politik dalam jebakan kapitalisme global, kehidupan global ekonomi sekarang ini sering dikatakan sebagai era konsumeristik. Selain itu, adalah suatu kenyataan bahwa modernitas, telah menghasilkan fragmentasi sosial. Bahkan globalisasi sekarang ini yang lebih digerakkan oleh kapital, daripada ide kesadaran kolektif, dan ini telah menjadi sumber kekhawatiran yang meluas, terutama apakah kemelut sosial tentang kemiskinan masih bisa diatasi, misalnya melalui aksi-aksi sosial yang baru, dan bukan semata-mata menyerah terhadap logika pasar. Selain itu, jarak sosial bisa dikatakan juga ikut memberikan jarak seseorang menuju kesalehan. apalagi di jaman kesalehan yang dipengaruhi oleh budaya konsumtif pasar ekonomi yang menawarkan gaya hidup sekarang ini, yang membuat kalangan orang-orang ekonomi dan sosialnya lemah semakin menderita dan tenggelam. Sungguh, sebuah fenomena sosial ekonomi yang sangat memprihatinkan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah ritus puasa yang sesungguhnya secara simbolis sebagai ungkapan pemihakan terhadap mereka yang menderita, yang lapar, yang tersingkir, masih memiliki substansi keberagamaan yang secara moralitas peka terhadap proses marjinalisasi sosial seperti itu?

Perlunya Kesadaran Kolektif

Selanjutnya menjadi pertanyaan penting apakah spiritual yang dibangun oleh mereka orang-orang yang melakukan puasa akan bisa mengalir menjadi kesadaran kolektif (solidaritas sosial) yang dapat mempengaruhi pemihakan terhadap kebijakan publik dalam politik bangsa ini? Pertanyaan ini penting untuk kita jawab bersama-sama sebagai suatu ‘pengingat’ meskipun dari Ramadhan ke Ramadhan para kaum agamawan selalu mendorong dan mengajak jamaahnya dan banyak orang lainnya untuk melakukan kedermawan sosial, terutama nasib mereka yang terkena dampak (paling dirasakan oleh masyarakat yang bekerja di perkotaan, buruh tani, enaga kerja informal, dan pekerja harian lainnya) masih tersingkir secara struktural. Sebab, sesunggunya kita perlu kebijakan politik secara moral lebih tegas daripada sekedar munculnya ungkapan-ungkapan kedermawanan yang bersifat kesalehan ekspresif saja. Di antara begitu banyak konsep dalam Islam, misalnya tentang kemungkaran menurut pandangan penulis, seyogyanya tidak hanya berhenti pada ahlak individu, namun perlu mencapai tataran yang lebih luas. Karena sekarang ini tampak jelas bahwa kemungkaran yang berwajak sosial seperti ketidakadilan agraria, kriminalisasi terhadap kaum tani, inilah yang lebih mengancam keselamatan umat manusia secara umum. Karena itu, kesadaran beragama yang kita harapkan sekarang adalah kesadaran yang lebih peka terhadap masalah-masalah sosial. Umpamanya, apakah seseorang sudah saleh, sementara sehari hari ia hidup dalam lingkungan ketimpangan sosial yang sangat mencolok?

Perjuangan menegakkan keadilan sosial sebagaimana memperjuangkan keadilan agraria sebagai contoh yang selama ini Serikat Petani Indonesia (SPI) perjuangkan bukanlah hal yang mudah. Al-Qur’an menamainya itu sebagai perjuangan mulia nan penuh terjal (al aqobah) (Ahmad Nasih Luthfi,2019:3). Apa saja yang tergolong al aqobah itu? Dalam Al-Qur’an (QS Al Balad: 11-18) Allah menyebut beberapa perjuangan yang tergolong mulia itu, yakni: perjuangan dalam menciptakan tatanan negeri (al balad) yang bebas dari perbudakan dan segala sistem yang mengeksploitasi (ayat 13); memberi makan (material) pada mereka yang miskin, dan memberi makan pikiran dan batin (pengetahuan dan moral) pada mereka yang dimiskinkan (ayat 14); kepedulian pada anak yatim dan mereka yang diyatimkan secara sistemik (ayat 15); atau kepada mereka yang miskin takterkira (ayat 16), yang seringkali diabaikan bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Allah juga memberi pedoman bahwa dalam memperjuangkan itu harus dilakukan dengan cara sabar, didasari pengetahuan, saling mengingatkan, dan atas motivasi kasih sayang dan bukan karena kebencian (ayat 17). Mereka para pejuang itulah yang layak mendapat gelar “Ashabul maimanah” atau kelompok kanan, yakni orang yang nanti di akhirat akan menerima dengan tangan kanan (sebagai tanda amal baik) catatan perbuatannya selama hidup di dunia (ayat 18). Mereka yang menciptakan kondisi sebaliknya (kufr) itulah yang justru disebut sebagai “Ashabul Masy’amah” atau kelompok kiri (ayat 19). Kepedulian, kesungguhan perjuangan, sabar, berbekal pengetahuan, akhlaqul karimah, adalah nilai-nilai yang ditunjukkan dalam firman Allah ini. Mereka yang memperjuangkan alam dan tanah agar kembali mendapatkan martabah yang terhormat itu harus memperoleh dukungan dari segenap pihak baik dari mulai dari kaum agamawan dan kaum cerdik pandai lainnya; bukan malah sebaliknya dikriminalisasi atau difitnah dengan tuduhan-tuduhan yang bertujuan menjatuhkan mereka, seperti dituduh anti kemajuan, komunis, subversif, bahkan ateis. Justru mereka para pejuang itulah yang sedang menghadang kemungkaran sosial dan ketidakadilan agraria dengan men-tajalli-kan dimensi keagamaan atau keislaman ke dalam praktik keseharian sebagai makhluk yang diciptakan dari tanah, hidup berdampingan dengan alam dan segenap makhluk di dalamnya. Demikian.

**Penulis adalah Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU