JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Desember 2021 sebesar 108,34 atau naik 1,08 persen dibandingkan bulan sebelumnya yakni 107,18. Dalam Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hari Senin (3/1/2021) disebutkan kenaikan NTP nasional disebabkan Indeks Harga yang Diterima oleh Petani (lt) naik sebesar 1,72 persen lebih tinggi dibanding kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,63 persen. Kenaikan NTP nasional tersebut ditopang oleh subsektor-subsektor NTP yang menunjukkan tren positif pada Desember 2021 lalu. Kenaikan subsektor NTP yang paling signifikan terjadi di subsektor hortikultura (6,38 persen); perkebunan rakyat (0,91 persen); dan perikanan (0,76 persen), lalu diikuti subsektor tanaman pangan (0,40 persen).
Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, menyebutkan tren kenaikan di masing-masing subsektor NTP merupakan dampak dari momen akhir tahun dan kondisi cuaca saat ini.
“Umumnya memang menjelang natal dan tahun baru terjadi kenaikan harga hasil pertanian, karena memang permintaan yang ada juga cukup tinggi. Tahun ini kenaikan terlihat signfikan mengingat curah hujan yang cukup tinggi berdampak pada produksi petani. Bahkan kita lihat di beberapa wilayah Indonesia terjadi bencana banjir, karena curah hujan yang cukup tinggi,” ujarnya dari Jakarta pagi ini (05/01).
Potret NTP Subsektor
Kenaikan NTP subsektor Tanaman Pangan disumbang oleh kenaikan lt untuk kelompok tanaman yakni padi sebesar 1,14 persen. Hal ini juga dapat dilihat dari kenaikan harga gabah, yakni Gabah Kering Panen (GKP) yang naik naik 2,64 persen ke Rp4.773/kg di tingkat petani.
Agus Ruli menyampaikan, tren kenaikan harga gabah mengingat saat ini di wilayah belum panen, sehingga harganya relatif bagus. Begitu juga dengan harga beras.
“Hal yang patut kita perhatikan adalah bencana banjir yang melanda beberapa wilayah, dan berdampak gagal panen seperti di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang,” katanya.
Agus Ruli melanjutkan, pada subsektor hortikultura, kenaikan yang cukup signifikan disebabkan oleh naiknya lt pada dua kelompok yakni sayur-sayuran khususnya cabai rawit dan bawang merah (9,65 persen) dan kelompok buah-buahan (0,01 persen).
“Namun kita melihat kenaikan harga tersebut masih belum sepenuhnya dinikmati di petani. Laporan dari anggota SPI Bogor misalnya, menyebutkan perbedaan harga di tingkat petani dengan di pasar cukup signifikan. Misalnya di tingkat petani harga cabai rawit merah seharga Rp50.000/kg, tapi di pasar bisa Rp80.000 bahkan beberapa hari kemarin tembus Rp100.000/kg,” katanya.
“Kondisi ini jelas tidak adil, dimana konsumen jelas akan mendapat harga yang terlampau tinggi akibat tindakan mencari untung yang dilakukan oleh tengkulak atau pengepul,” lanjutnya.
Agus Ruli juga menyebutkan, masalah terkait akses terhadap pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non-subsidi masih menjadi keluhan petani secara keseluruhan.
“Permasalahan akses terhadap pupuk bersubsidi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan oleh pemerintah. Desember lalu juga sudah ada catatan dari Ombudsman mengenai tata kelola yang bermasalah. Untuk data petani yang menerima bantuan, ini penting untuk segera dibenahi,” tegasnya.
“Pemerintah harus mengakomodir para petani yang belum terdata, khususnya petani yang terhimpun di luar Poktan maupun Gapoktan. Karena memang Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengakui kelembagaan petani lainnya yang menghimpun petani seperti organisasi dan serikat-serikat petani. Hal ini juga berlaku bagi konteks subsidi ataupun bantuan lainnya, tidak terbatas pada pupuk saja,” tambahnya.
Kedaulatan Pangan: Kunci Kesejahteraan Petani Indonesia
Secara keseluruhan, Agus Ruli menyebutkan kondisi NTP nasional di tahun 2021 masih belum memuaskan. Hal ini mengingat selama tahun 2021, kenaikan NTP masih ditopang oleh NTP tanaman perkebunan rakyat, yang konsisten naik sejak Juli hingga Desember tahun 2021.
“Kita lihat bagaimana NTP tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan kerap kali terseok-seok dan berada di bawah standar impas. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani harus lebih komprehensif lagi ke depannya,” tuturnya.
Ia menyebutkan komitmen pemerintah untuk menjalankan kedaulatan pangan harus diperkuat di tahun 2022 ini.
“Kita sudah mendapat momentum dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonsitusional bersyarat. Artinya UU Pangan yang kemarin terdampak, harus kembali difungsikan kembali seperti semula dimana pengutamaan produksi dalam negeri harus menjadi pokok utama penyediaan pangan Indonesia, tidak tergantung impor,” tegasnya.
Agus Ruli menekankan, transisi menuju kedaulatan pangan juga menjadi kunci penting untuk mengatasi masalah-masalah petani seperti ketergantungan di tahap produksi (benih, pupuk, maupun pestisida) dan distribusi (tengkulak dan korporasi).
“Dalam konteks pemenuhan sarana produksi, dengan beralih dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi, maka secara signifikan akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi, dan lebih berdampak positif bagi lingkungan serta berkelanjutan. SPI juga memandang pemerintah dapat mengalokasikan anggaran, yang sebelumnya untuk subsidi pupuk ke bentuk subsidi harga, untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan petani,” paparnya.
“Sementara untuk distribusi, peran dari koperasi-koperasi baik itu produsen maupun konsumen, menjadi vital untuk mewujudkan mata rantai perdagangan yang adil ke depannya,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Agus Ruli Ardiansyah – Sekum DPP SPI – 0812-7616-9187