JAKARTA. Bulan Maret 2015 adalah bulan yang suram bagi petani, karena pada bulan ini Nilai Tukar petani (NTP) tanaman hortikultura, perkebunan rakyat, dan pangan kembali turun. Menurut laporan Badan Pusat Statistika (BPS) awal bulan ini (01/04), nilai NTP hortikultura kembali turun dari 101,95 ke 101,34. Penurunan ini kembali disebabkan oleh turunnya harga penjualan buah-buahan (salak dan rambutan), kenaikan harga kebutuhan rumah tangga (inflasi pedesaan) dan biaya produksi. Meski demikian, NTP bulan ini terdongkrak, sehingga tidak turun drastis, oleh naiknya harga penjualan bawang merah di tingkat petani.
Muhlasin, petani Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Kabupaten Pringsewu, Lampung menuturkan turunnya harga buah-buahan karena adanya panen raya.
“Harga duku di petani per kilogramnya cuma Rp 1.500, harga rambutan Rp 500 per kilogram, dan harga durian cuma Rp 5.000 per kilogram. Daripada panennya tidak laku, akhirnya kami petani menjualnya dengan harga yang sangat murah. Seharusnya pemerintah daerah membangun industri pedesaan pengolahan hasil pertanian yang menampung hasil panen kami dengan harga yang layak,” tutur Muhlasin yang juga Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Lampung pagi ini (02/04).
Senada dengan NTP hortikultura, NTP perkebunan rakyat Maret 2015 kembali turun dari 97.6 ke 97.46 (lihat grafik) pada bulan Maret. Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya harga penjualan komoditas kakao dan kelapa sawit, dua komoditas unggulan eksport Indonesia, meski kurs Dollar Amerika mengalami kenaikan hingga berkisar pada level Rp 13.000.
Zubaidah, petani sawit SPI asal Kabupaten Asahan Sumatera Utara menyampaikan, seluruh petani sawit di daerahnya mengeluhkan rendahnya harga tandan buah segar (TBS).
“Harga TBS sangat rendah, cuma Rp 1.050 per kilogramnya, padahal buahnya pun tidak ada. Biasanya kalau stok buah sawit tidak ada atau sedikit, harga akan naik, ini malah makin turun,” kata Zubaidah di Asahan (02/04).
Menurut Ketua Umum SPI Henry Saragih, hal ini harus perhatian serius bagi pemerintah karena kehadiran korporasi-korporasi yang bergerak di perkebunan, tidak memberikan dampak kesejahteraan yang nyata bagi petani perkebunan rakyat.
“Efek menetes (trickle down efect) dari kue hasil perkebunan belum sepenuhnya terbagi kepada petani perkebunan rakyat. Dalam hal ini kue tersebut semakin besar seiring dengan perkembangan harga minyak goreng kemasan yang terus naik dan semangat pengusaha kelapa sawit untuk menghambat moratorium perkebunan kelapa sawit,” ungkap Henry Saragih di Jakarta pagi ini (02/04).
Sementara itu, setelah mengalami kenaikan di Februari 2015, NTP Tanaman Pangan Maret 2015 mengalami penurunan dari 102,30 ke 100,80.
Harga beras yang terus naik hingga pada Maret 2015 tidak berimbas pada kenaikan nilai tukar petani atau harga penjualan beras/gabah di tingkat petani. Bahkan setelah Bulog melakukan operasi pasar, harga beras tetap tidak turun. Demikian pula setelah Presiden mengeluarkan Inpres Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk menaikkan harga Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 3.700/Kg. Kenaikan harga beras di pasaran juga berimbas pada kenaikan harga-harga kebutuhan rumah tangga lainnya dan demikian pula pada kenaikan harga kebutuhan usaha tani, seperti kebutuhan pupuk subsidi yang biasa langka menjelang musim tanam. Belum juga adanya kenaikan kembali BBM di akhir bulan Maret. Kenaikan semua kebutuhan tersebut menimbulkan inflasi pedesaan sebesar 0,48%.
“Saat ini di Pringsewu Lampung, harga GKP itu berkisar di Rp 4.300 per kilogram. Akibatnya kami petani banyak yang menjualnya ke pedagang daripada pemerintah, itu jugalah mengapa kualitas beras yang dibeli pemerintah (Bulog) sering jelek, karena petani cenderung menjual berasnya yang memiliki kualitas bagus ke pedagang,” tutur Muhlasin.
Henry Saragih menambahkan distribusi menjadi titik kritis utama dalam penentuan harga beras di pasar, sehingga naikknya harga beras tidak semata-mata terjadi karena kelebihan jumlah beras di tingkat petani ataupun di tingkat pasar. Bahkan pasar pun tidak berdaya (kegagalan pasar) karena permainan mafia beras dalam rantai pasok atau rantai nilai perberasan.
“Pemerintahan Jokowi-JK harus tegas terhadap mafia beras ini, agar kedaulatan pangan bisa tercapai,” tambahnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Muhlasin – Ketua SPI Lampung – 0812 8094 3900
Zubaidah – Ketua SPI Sumatera Utara – 0813 6281 2043