“Dahulu sewaktu proyek dikerjakan, kan ada hampir 5000 warga yang bisa bekerja. Sekarang hanya sekitar 300 warga. Jadi, banyak yang menganggur“ (Tohar, penduduk Desa Kaliaman )
Kira-kira ada 4700 orang tanpa memiliki pekerjaan di Desa Kaliaman Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara. Sebuah desa yang sangat dekat dengan proyek ‘mercusuar’ PLTU. Bagaimana dengan desa lainnya? Belum ada data yang terkuak. Ribuan orang setiap hari butuh makan, namun mereka menganggur. Barangkali mereka sudah mencari pekerjaan lain, tapi tidak ada pekerjaan. Atau, ada pekerjaan, namun mereka tidak mempunyai kualifikasi untuk mengerjakannya. Karena, mereka berpendidikan rendah dan atau kemampuan keterampilan mereka yang terbatas. Dalam kondisi demi8kian, anomali sosial akan merenggutnya.
Dalam langgam pekerjaan di Jepara, ada tiga jenis profesi, secara mayoritas. Ketiganya adalah tani, dagang dan mebel/ batik. Jenis profesi yang terakhir, di jepara merupakansentra ukir-ukiran, pertukangan dan batik. Suatu jenis pekerjaan yang telah ditradisikan dan turun-temurun. Keahlian itu dapat menunjang seluk beluk hidup mereka. Mereka dapat mempelajari keahlian tersebut secara informal, belajar dengan tetangga dan keluarganya. Hampir dapat dipastikan mereka bisa mengerjakannya.
Letak geografis yang sangat jauh dari jalut jalan raya pantura, masyarakat jepara menjadi dan harus kreatif dalam menjalani konstelasi kehidupan. Hgal ini berbeda dengan Demak, Pati dan Kudus. Ketiga kabupatena itu merupakan jalur jalan raya pantura. Sebuah jalur jalan raya yang sangat menguntungakn secara ekonomis. Kapaten-kabupaten tersebut dapat membuat restoran-restoran, hotel-hotel dan warung-warung makan di pinggir jalur di atas, dan dipastikan laku. Karena para pengendara yang lapar dan kelelahan pasti kan mampir di restoran/warung dan beristirahat di hotel. Lain dengan Jepara, kota ini letaknya agat terpencil secara geografis. Jadi, masyarakat Jepara harus dan menjadi kreatif dalam kehidupannya. Nah, salah satu kealian kekereatifan tersebut adalah keahlian ukira-ukiran, pertukangan, perabot mebel dan batik.
Pembangunan di Jepara, selayaknya melangkah dengan titik pandang pada realitas seluk beluk kehiduapn masyarakatnya. Kalau Jepara adalah pusat ukir, mebel serta batik, maka pembangunannya harus banyak menyentuh jenis keahlian dan pekerjaan di atas. Karena permebelan adalah urat nadi perekonomian masyarakat Jepara, maka pembangunannya harus dimulai dari jenis pekerjaan tersebut. Jika urat nadi ekonomi ini hancur, maka sektor lain pun akan mati perlahan-lahan.
Secara etimologis, pembangunan, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995; 318), salah satunya tertulis bahwa the action or process of developing or being developed. Kira-kira artinya adalah suatu tindakan atau proses pembangunan atau menjadi maju. Sedang secara terminologi, pembangunan ialah perubahan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh sebuah negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera (Saptari, 1997; 109). Terlepas dari arti secara etimologis dan terminologis, pembangunan harus memulai langkah dari realitas kehidupan masyarakatnya. Hal ini penting, agar masyarakat tidak mengalami kegagapan dalam menjalani pembangunan yang tengah berlangsung. Inilah pembangunan yang berbaisis masyarakat.
Dalam perspektif di atas, pembangunan di Jepara harus mengarah pada tiga sektor. Tiga sektor itu di anataranya adalah sektor pertanian, sektor kelautan dan sektor permebelan/batik. Sektor yang terakhit merupakan sebuah sektor yang sangat menentukan dalam perekonominan masyarakat Jepara. Sektor ini juga sangat membantu negara dalam mengahailkan devisa negera, dengan pasar ekspornya. Maka, sektor ini perlu dibangun suatu institusi pendidikan yang berbasis industri mebel. Karenanya, agar masyarakat Jepara tidak sekadar menjadi ahlia tukang mebel/kuli, tapi mengetahui selekbeluk menajamen perindustrian mebel.
Sektor kedua, kelauatan, Jepara memiliki garis pantai yang sangat panajang di banding dengan daerah lainnnya. Garis pantai yang panjang ini memiliki potensi yang besar, secara praktis maupun secara akademis. Secara akademis, Jepara perlu mempunyai pusat kajian kelautan yang tangguh, karena memiliki garis pantai terpanjang di wilayah pantura. Kira perlu bahwa laboratorium ilmu kelautan Undip di Teluk Awur, Jepara, dijadikan suatu institut Kelautan Jepara (IKJ), seperti IPB dan ITB yang berada di Bogor dan Bandung. Kedua institusi pendidikan itu semula adalah fakultas di bawah UI Jakarta. Kira tidak berlebihan, jika laboratorium kelutan undip tersebut dijadikan sebuah institusi pendidikan kelautan di Jepara yang terpisah dari Undip di Semarang.
Dan ketiga, sektor pertanian, Jepara memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Hampir sebagian besar lahan di lereng Gunung Muria adalah milik Jepara. Lereng yang l;uas itu dapat dijadikan sebuah agrowisata., di samping segai sektor pertanian. Lahan-lahan pertanian yang subur harus dilestarikan dan dikembangkan. Bangunan-bangunan yang menempati lahan-lahan tersebut harus dibatasi dan dilarang, agar lahan pertanian yang subur tidak menyempit. Dengan demikian, produksifitas pertanian di Jepara tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan pangan msyarakat Jepara.
Dalam kerangka tiga sektor di atas, pembangunan di Jepara sekarang adalah salah kaprah. Salah kaprah karena pembangunannya tidak melihat dan tidak berdasarkan relaitas dan konstelasi kehidupan masyarakatnya.pembangunan PLTU dan rencara pembangunan PLTN, misalnya, di Jepara adalah mencermisnkan salah kaprahnya pembangunan. Pembangunan kedua tenaga listrik tersebut merupakan sikap pemerintah yang meninggalkan dan mengkhianati masyarakat Jepara. Pemerintah hanya mengejar keuntungan seaat semata. Pemerintah tidak mempedulikan seberapa besar masyakat dapat mengakses pemebangunan tersebut. Pemerintah kelihatan tidak mendengar aspirasi masyarakat yang berkeberatan pembangunan tersebut.
Masyarakat Jepara jelas akan menjadi penonton di rumahnya sendiri. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh akses yang cukup terhadap pembangunan proyek PLTU dan rencana pembangunan PLTN. Kalaupun ada amsyarakat yang dapat mengakses pembangunan PLTU dan rencana pembangunan PLTN itu pun hanya sebagian kecil, dan hanya menjadi tenaga kasar/kuli semata, tidak lebih dari itu yang diperoleh mereka. Karena, tenaga-tenaga ahli hanya dikuasai oleh orang-orang yang berpendidikan khusus, yang tidak dimiliki oleh masyarakat Jepara. Ahli-ahli tersebut didatangkan dari luar daerah, bahkan mereka dari luar negeri. Masyarakat Jepara akan menjadi penonton, karena mereka tidak memiliki pendidikan tinggi yang menudukung kemampuan pembangunan PLTU dan rencana pembangunan PLTN.
Melihat fenomena pembangunan di Jepara yang tidak sesuai dengan realitas konstelasi kehiduapan dan pekerjaan masyarakatnya. Kiranya perlu untuk mengakhiri tulisan ini untuk menyitir sajaknya Mustofa W. Hasyim, penyair dari Yogyakarta. Berikut sajak itu: // engkau menanam pohon//tapi tsk mengajak tanah//Engkau menanam pohon//tapi tak mengajak air//Engkau menanam pohon//tapi tak mengajakmusim//Engkau menanam pohon//tapi tak mengajak pohon//Engkau hanya menanam//dirimu sendiri//. MA Rumawi Eswe
Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja di Yogyakarta.