JAKARTA. Sabtu, 16 April 2011, petani kembali menjadi korban kekerasan aparat TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat). Setidaknya empat petani menjadi korban penembakan dan 13 orang lainnya mengalami tindak kekerasan. Keempat petani yang tertembak di rawat di RSUD KEbumen. Korban kekerasan masih bisa terus bertambah, mengingat hingga saat ini kondisi di lapangan belum kondusif, TNI masih melakukan sweeping di lapangan.
Konflik tersebut bermula dari penolakan petani di 15 Desa dari tiga Kecamatan (Milit, Ambal, Bulus Pesantren), di Kabupaten Kebumen terhadap rencana pembangunan Pusat Latihan Tempur TNI AD (PUSLATPUR TNI AD). PUSLATPUR tersebut rencanannya akan dibangun seluas 500 meter dari garis pantai ke arah utara sepanjang 22,5 km. Selama ini latihan tempur yang dilakukan TNI selalu saja mengakibatkan kerusakan tanaman petani dan tidak ada kompensasi yang layak diberikan pada petani. Bahkan pada tahun 1997, lima orang anak meninggal terkena mortir aktif di wilayah pertanian setempat.
Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama gerakan petani lainnya, mengutuk keras kejadian ini. Dalam aksi memperingati “Hari Perjuangan Petani Internasional” (17/04/11) SPI memprotes tindakan TNI terhadap petani di Kebumen.
Dalam konferensi pers yang dilaksanakan SPI, IHCS (Indonesia Human Rights Commission for Social Justice), KPA (Koalisi Pembaruan Agraria), KontraS, dan perwakilan keluarga korban dari Kebumen, Achmad Yakub Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI menyesalkan kekerasan dan penembakan petani di Kebumen. Dia menyebutkan bahwa kejadian ini sudah kesekian kali terjadi, menurut catatan SPI, dalam 4 tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata. Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 kepala keluarga tergusur.
“Konflik-konflik yang terjadi akibat tidak dilaksanakannya Reforma Agraria, yang hingga saat ini hanya menjadi janji saja, untuk itu SPI mendesak agar segera dibentuk komisi ad-hoc untuk penyelesaian konflik agraia dan badan pelaksana reforma agraria”, Ujar Yakub.
Sementara itu Ridwan Darmawan dari IHCS mengatakan bahwa seluruh aksi kekerasan dalam membubarkan aksi masyarakat dan penangkapan warga yang dilakukan Anggota TNI AD adalah ilegal, termasuk sikap TNI AD yang bersikukuh dalam sengketa tanahnya dengan warga Setro Jenar adalah sikap yang keliru. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 3 ayat 2 menyebutkan, “Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI dibawah koordinasi Departemen Pertahanan.
“Artinya, semua persoalan-persoalan administratif termasuk legalitas suatu aset milik TNI, berada di bawah tanggung jawab Departemen Pertahanan”, Kata Ridwan.
Ridwan menuturkan bahwa seharusnya TNI AD menyerahkan sengketa tanah Urutsewu ini kepada Departemen Pertahanan, sehingga cara-cara sipil bisa lebih dikedepankan dalam penyelesaian sengketa tanah dari pada aksi kekerasan militer. Dan jikalau aksi massa warga Petani Urutsewu dinilai membahayakan nyawa personil TNI AD, seharusnya penanganannya diserahkan kepada pihak kepolisian.
“Terlebih lagi keputusan hasil dialog antara perwakilan Warga dengan Panglima Kodam IV/Diponegoro dan Kapolda Jawa Tengah pada hari selasa, 13 April 2011 lalu menyepakati akan membahas persoalan konflik pertanahan Urutsewu dibahas ditingkatan yang lebih tinggi,” tambah Ridwan.