Saya merasakan perubahan begitu cepat. Saya merenungkan apa yang telah, sedang dan akan berubah. Sewaktu masih di bangku kuliah di pertengahan tahun 1980-an, saya mendengar cerita ada orang yang sarapan pagi di Medan, makan siang di Jakarta, dan tidur di Bangkok. Kini kehidupan itu saya rasakan, pagi hari saya masih di tengah tanah perjuangan Sei Rengas, Sumatera Selatan, malam hari di Jakarta, besoknya telah di Dubai dan petangnya di Brasil. Dalam sehari banyak hal yang bisa dilakukan dan terjadi. Saya membayangkan jika sebagai ketua umum SPI dan La Via Campesina saya bisa melakukan banyak hal dalam sehari, maka demikian juga halnya dengan pemilik modal yang mengendalikan berbagai jenis usahanya di berbagai belahan dunia. Hanya dengan mengandalkan sebuah smart mobil phone ditambah dengan sebuah laptop, dia bisa memonitor dan mengendalikan seluruh perusahaannya di seluruh dunia.
Saya merasakan betapa zaman sekarang semakin hari semakin berhubungan satu sama lain, dari yang sebelumnya tidak ada hubungan sama sekali. Ketika ayam gulai sarapan pagi yang dihidangkan oleh ibu tani SPI Rengas itu, saya membayangkan bahwa pemilik ayam tersebut sedang melihat perkembangan usahanya di bursa saham Bangkok. Ketika sedang minum. saya membayangkan betapa setiap teguk air, sekian Rupiah sudah harus me- ngalir ke Bank Swiss atau Singapura. Saya juga membayangkan kemana akhirnya nanti semua plastik tempat air minum itu. Perubahan itu begitu cepat, pertanyaannya apakah dalam perubahan yang begitu cepat itu, kita kaum tani bisa mengerti apa sesungguhnya yang sedang berubah? Siapa yang sesungguhnya yang menjadi aktor dalam perubahan itu? dan bagaimana posisi kita sebagai kaum tani? Ketika renungan itu semakin jauh, jantung ini terasa menurun denyutnya. Suatu saat ketika berada di sebuah pesawat terbang, saya melihat hampir dua pertiga isi penumpang yang mengantarkan untuk melihat kaum tani di selatan Amerika, mereka adalah remaja-remaja petani, ibu-ibu petani. Demi pekerjaan dan melangsungkan kehidupannya mereka harus terpaksa meninggalkan suami, anak, orang tua, dan sanak keluarganya menjadi buruh dan pembantu di keluarga-keluarga di berbagai negara di Timur Tengah.
Begitu banyak perubahan, sekarang pertanyaannya bagaimana di tengah perubahan yang begitu cepat tersebut, kita kaum tani bisa mengerti tentang perubahan yang terjadi, dan bagaimana kita bisa memahami perabahan itu dan bisa berjuang untuk merubahnya.
Perubahan di Dapur Para Petani
Untuk melihat perubahan pada kehidupan kaum tani, kita bisa melihatnya dari berbagai hal. Saya pikir, salah satu yang terpenting dalam kehidupan petani adalah dapur. Semua dapur keluarga petani menggunakan kayu bakar, dan ada peniup apinya yang menggunakan bambu yang tua atau besi. Kemudian diatas tungku perapian itu, dibuatlah “para-para”. Para-para ini terbuat dari bambu yang dianyam atau papan luasnya sekitar 1 M dan berada sekitar 1,5 M dari atas tungku perapian. Fungsi dari para-para ini adalah sebagai tempat menyimpan ikan dan juga tempat menyimpan benih-benih tanaman, terutama sayuran. Ada juga yang tidak membuat para-para, tetapi menggantungkan keranjang yang terbuat dari bambu untuk tempat menyimpan ikan dan sebagainya. Saya melihat jauh berbeda dengan para-para tetangga saya yang buruh tani. Para-paranya hanyalah berisi kayu. Tidak ada ikan dan tentunya benih-benih tanaman di para-para mereka.
Kini kita bertanya, bagaimanakah keadaan dapur dari keluarga petani kita dan buruh tani saat ini. Apakah masih ada ikan disimpan di para-para, setelah sawah kita menggunakan pupuk dan racun kimia, dan sungai kita yang semakin mengering, dan tercemar. Apakah keluarga buruh tani kita sekarang masih mempunyai para-para, atau sekarang menggantikannya semua dengan kulkas atau lemari pendingin. Apakah keluarga petani masih pakai kayu api, setelah semua pohon karet dan hutan-hutan kecil dan semua tanaman sekarang diganti dengan kelapa sawit, dan setelah kayu api juga diperdagangkan. Apakah keluarga petani memakai kompor bantuan pemerintah yang banyak meledak itu. Apakah para Ibu dan anak-anak masih terus mencari kayu bakar sementara sang Bapak dengan asyiknya bercengkrama di kedai. Apakah posisi dapur masih seperti dulu tetap berada di bagian belakang dan hanya perempuan saja yang pantas berada di dapur itu.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah kita bisa membuat perubahan dimulai dari dapur keluarga petani. Saya fikir bisa. Kita kaum tani dan buruh tani bisa memulainya. Persoalan-persoalan besar yang dibahas para politisi itu bisa kita atasi dari dapur petani. Saya percaya keluarga petani bisa mengatasi perubahan iklim itu dari dapur petani. Saya percaya, persoalan kelaparan di dunia ini bisa dimulai dari dapur petani. Saya percaya ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan perempuan di keluarga petani bisa kita mulai dari dapur petani. Apalagi persoalan kompor saja, yaitu kompor subsidi pemerintah yang banyak meledak dan telah meresahkan itu bisa diatasi oleh keluarga petani, tidak perlu cari tenaga ahli dari luar negeri atau pemerintah harus menambah hutang ke world bank atau lembaga dana asing lain hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar untuk dapur petani.
– Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) –