JAMBI. Pilot Proyek REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) atau Mengurangi Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) berlokasi di Jambi terus mendapat penolakan dari petani di Jambi dan Sumatera Selatan.
“Program REDD ini menjadi bencana bagi kami petani kecil dan masyrakat adat yang tinggal dihutan”, Ujar Sarwadi, Ketua DPW SPI Jambi.
Secara sederhana REDD merupakan mekanisme penyediaan dana bagi negara-negara berkembang untuk melindungi hutan agar dapat menyerap karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Dengan harapan, setelah membayar kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan, negara maju tetap bisa membuang emisi mereka seenaknya tanpa batasan karena merasa sudah membayar kompensasinya.
Di Jambi, proyek REDD dikelola oleh sebuah perusaahan swasta yang bernama PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Perusahaan ini didirikan oleh konsorsium NGO lokal dan internasional terdiri dari Yayasan Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Bird (RSPB), dan Bird-Life International. Mereka mendapatkan ijin dari pemerintah untuk menggunakan hutan di jambi selama 100 tahun sebagai areal restorasi ekosistem.
Kehadiran perusahaan ini mengakibatkan ratusan kepala keluarga anggota SPI teracam terusir dari tanah mereka. PT REKI menggunakan tanah milik petani dan masyarakat tersebut sebagai areal restorasi. Selain pengusiran, perusahaan ini juga mengintimidasi dan melakukan penangkapan terhadap masyarakat setempat.
“Kenapa negara-negara maju yang membuat polusi udara tapi kami petani kecil yang harus menerima dampak buruknya, sementara mereka dengan leluasa terus menerus membuat udara semakin kotor”, Ujar Sarwadi.
Kami masyarakat adat dan petani memanfaatkan tanah dan hutan ini hanya untuk menghasilkan makanan yang dibutuhkan dan kami tidak merusaknya seperti perusahaan-perusahan tersebut”, tambah Sarwadi
Serikat Petani Indonesia (SPI) sudah sejak 2008 memprotes keberadaan PT REKI. Baik pada saat COP 14 UNFCCC di Poznan, maupun COP 15 di Copenhagen. Menurut Henry Saragih, Ketua Umum SPI, dibalik Proyek REDD ini ada kepentingan ekonomi politik neoliberalisme, yang mempergunakan pemerintah, NGO dan korporasi. ”Kepentingan tersebut telah merampas hak-hak petani dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam untuk memenuhi pangan”, tambah Henry.
Selain di Jambi, REDD juga terus menuai protes petani dan masyarakat adat di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Lebih dari 800 KK petani dan masyarakat adat terancam terusir dari lahannya akibat proyek ini. PT. REKI menuduh mereka sebagai pendatang illegal yang merambah hutan produksi. Padahal sejak empat abad yang lalu masyarakat adat sudah mendiami wilayah tersebut untuk aktivitas usaha tani.