Orang kelaparan bukan karena tidak ada makanan semata. Ketika makanan melimpah pun, kelaparan dapat terjadi, misalnya, menurut Badan Pusat Statistik pada 2004, kelaparan terutama balita mencapai 28 persen, padahal di saat itu produksi padi kita melampaui kebutuhan domestik alias swasembada. Kehidupan petani di Indonesia secara umum sangat jauh dari kehidupan yang layak, petani terjebak dalam persoalan-persoalan pokok seperti mahalnya biaya produksi, ketergantungan pada bibit dan pestisida, kelangkaan pupuk, keterbatasan informasi, minimnya penguasaan lahan pertanian, dan persoalan harga.
Harga kebutuhan pokok yang tiba-tiba naik saat ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah dalam mengontrol harga dan distribusi kebutuhan pokok terutama pangan. Kenaikan harga pangan selalu naik setiap tahunnya sebelum bulan Ramadhan, selain perusahaan pangan menguasai dari sector hulu hingga hilir terindikasi juga permainan spekulan jauh hari sebelum bulan Ramadahan. Biasanya pemerintah selalu melakukan operasi pasar ketika terjadi kenaikan harga, tapi ini bukan solusi, selain di butuhkan kontrol dan sanksi pemerintah serta harus menata ulang persoalan pangan di negeri ini. Dibutuhkan suatu upaya untuk memperbesar akses rakyat dalam memproduksi pangan, dan sekaligus orang-orang yang mengkonsumsinya. Untuk itu diperlukan upaya perombakan yang mendasar dalam penguasaan alat produksi, model produksi, harga dan distribusi produksi. Persoalan petani di Sumatera Barat saat ini tidak terlepas dari persoalan pertanian secara nasional bahkan prosesnya di mulai dari persoalan pangan global.
Ketahanan Pangan dan Penguasaan Pangan Global
Pada World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November 1996 di Roma, para pemimpin negara telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmentnya untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015. Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. Laporan PBB saat itu juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya.
Setelah lima tahun WFS dilaksanakan (2001), fakta menunjukkan bahwa produksi jumlah makanan di tingkat dunia (stock pangan) sebenarnya sangat berkecukupan. Namun dalam perjalanannya Direktur Jendral FAO Jacques Diouf (badan urusan pangan PBB) pada KTT pangan dunia tanggal 15 November 2009 di Roma-Italia dengan tegas menyatakan keresahannya terhadap krisis pangan dunia yang terjadi saat ini. “Di tengah dunia dimana manusia mampu berjalan-jalan ke bulan, 1 dari 6 orang di dunia menderita kelaparan dan setiap 6 detik 1 bayi meninggal karena kurang gizi.” Diouf, menyatakan bahwa kebijakan pangan yang ada saat ini telah membuat petani-petani saling berperang satu sama lain, petani negara maju dengan petani di negara-negara berkembang demi keuntungan perusahaan-perusahaan agribisnis yang kapitalistik.
Muncul pertanyaan mengapa dengan jumlah produksi makanan yang berlimpah tersebut, angka kelaparan ditingkat dunia masih tinggi seperti yang telah digambarkan diatas. Dari fakta – fakta itu menunjukkan bahwa konsep Keamanan Pangan (Food Security) telah gagal dalam mengatasi kekurangan pangan bagi ummat manusia di tingkat dunia, karena FAO hanya menggantungkan pada tiga prinsip yaitu(i) ketersediaan pangan (availability), (ii) aksesibilitas (accessibility) (iii) konsumsi (food utilization) dan (iv) aspek stabilitas pasokan (stability of supplies), (bagi FAO tidak menjadi persoalan siapa yang memproduksi dan yang menguasai pangan).
Jika kita tilik lebih jauh tentang krisis pangan yang terjadi tersebut bukanlah disebabkan oleh kelangkaan atau kurangnya hasil produksi. Tapi yang terjadi adalah penguasaan sumber-sumber kehidupan atau kekayaan alam di tangan segelintir orang dan atau perusahaan-perusahaan besar tertentu dunia. Sering juga disebut sebagai multinational company atau trans-national company (MNC/TNC)
Penelitian GRAIN (Spanyol) tahun 2008 terungkap data bahwa krisis pangan yang terjadi di dunia pada tahun 2006 telah meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan agribisnis atau perusahaan yang terkait dengan perdagangan hasil produksi pertanian meningkat rata-rata hampir 100% dari tahun sebelumnya. Seperti Bunge (USA) meningkat 13 % di tahun 2008 sebesar 1,363 miliar dolar, Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar, dan Nable Group (Singapore) sebesar 117 % sebesar 436 miliar dolar. Keuntungan dari perdagangan pupuk, Potas Corp. (Canada) meningkat di tahun 2008 dibanding tahun 2007 sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar, Mosaic (USA) meningkat 430 % sebesar 2,682 miliar dolar, dan Yara (Norway) meningkat 131% sebesar 3,350 miliar dolar. Pada perdagangan bibit dan pestisida di tahun 2008 : Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar, Syngeta 19 % sebesar 1,692 miliar dolar, Bayer 40 % sebesar 1,374 miliar dolar dan DOW 63 % sebesar 761 miliar dolar.
MNC/TNC menguasai sejak dari sector hulu (baca : ladang-ladang pertanian) hingga sector hilir (pasar hasil produksi pertanian). Satu contoh tepat untuk Indonesia adalah tentang kedelai dan Cargill. Sebagai mana kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi kedelai yang tinggi namun pada sisi produksi, tingkat produksi nasional jauh dari mencukupi kebutuhan nasional tersebut. Pada sisi lain, Cargill yang merupakan perusahaan pemilik lahan perkebunan kedelai terbesar dunia yang di pusatkan di Brasil. Dan Cargill juga merupakan salah satu perusahaan yang memiliki hak impor resmi dari pemerintah Indonesia untuk memasukkan kedelai impor ke Indonesia (baca kasus penimbunan kedelai impor 13.000 ton oleh Cargil di Surabaya untuk menaikan harga kedelai, Kompas 26 Januari 2008).
Food Estate
Di tengah ancaman krisis pangan di Indonesia akibat pangan dikuasai MNC/TNC, pemerintah justru meluncurkan program food estate, dimana pengelolaan pangan dalam skala besar di serahkan kepada perusahaan swasta lokal maupun asing yang justru akan mengancam keberlansungan petani dan pertanian berkelanjutan/organik yang sudah ada. Dalam konteks Sumatera Barat yang terkenal dengan semboyannya “Tanam nan Bapucuak, Paliaro nan Banyawo” dan Budaya Rangkiang dimana merupakan semangat untuk terus mempertahankan budaya pertanian kita yang sudah ada sejak turun temurun pun ikut terancam
Melalui National Summit dan pertemuan dengan para pengusaha yang dilaksanakan bulan Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyatakan akan menyiapkan kebijakan tentang penyedian tanah untuk kepentingan umum serta peraturan pemerintah (PP) terkait investasi pangan dalam skala besar. Peraturan Pemerintah ini mencakup Penguasaan Pangan Skala Luas, seperti PP 11 tahun 2010 tentang Tanah Terlantar dan PP 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, pengingkaran amanah dan semangat UUPA No.5/1960 yang menolak tanah sebagai alat penghisapan manusia atas manusia serta keberdaulatan kaum pekerja petani makin terlihat jelas. Kesemua peraturan pemerintah yang dibuat tersebut dalam rangka memberikan kemudahan para pemodal untuk mengelola lahan di Indonesia melalui program food estate. Tercatat empat perusahaan yang telah mengajukan diri untuk membuka food estate di awal 2010 yaitu Medco, Wilmar, Bangun Cipta dan Mekasindo. Nama-nama ini menambah daftar panjang perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir dinegeri ini, petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Ketika pengusaha besar lokal dan asing datang atas mandat pemerintah untuk bersaing dengan petani gurem seperti Medco Energi, Sinar Mas Group, dan Artha Graha dan Bin Laden Group memutuskan terjun dalam bisnis pangan seluas 585.000 hektar di daerah Merauke.
Pemerintahan belum memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan Pembaruan Agraria dan landreform dengan membagi-bagikan tanah kepada rakyat tak bertanah dan petani gurem, serta kepastian tanah bagi masyarakat adat dengan mengeluarkan peraturan perundang undangan yang justru kontradiksi serta mengingkari dengan semangat dan amanah dari UUPA No.5/Tahun 1960, seperti UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa HGU awalnya bisa mencapai 95 tahun turunannya di Sumbar melalui Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat, dan di ikuti kemudian dengan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan No 41 tahun 2009.
Penyusutan Luas Lahan Pertanian di Sumatera Barat
Sumatera Barat dengan jumlah penduduk sebnyak 4.697.764 jiwa (BPS 2007) yang di kenal sebagai lumbung pangan mulai terancam dengan berbagai persoalan pupuk, bibit, harga dan persoalan pengusaan sumber sumber agraria dan model pertanian yang selalu memihak pada industry pertanian dan sistim agribisnis. Produksi padi Sumatera Barat 4 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan yang berti misalnya berturut-turun pada tahun 2005 sebesar 1,907 juta ton, tahun 2006 sebesar 1,965 jt ton, tahun 2007 sebesar 1,938 juta ton dan tahun 2008 sebesar 1,965 jt ton (sumber data BPS). Perkiraan BPS dan Dinas pertanian Sumbar pada awal tahun 2009 yang lalu (padang to day) produksi padi untuk tahun 2009 sebesar 2.060.986 ton dengan luas panen 433.803 hektar, dan menurut sumber Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar produksi padi pada tahun 2009 meningkat menjadi sebesar 2.104.460 juta ton, sementara target produksi untuk tahun 2010 sebesar 2.199.030 juta ton.
Pencapaian produksi padi sangat dramatis jika dibandingkan dengan semakin menyempitnya luas sawah dan lahan pertanian, banyaknya sawah tadah hujan dan persoalan lainnya, bahkan tidak adanya data akurat luas sawah di Sumbar. Sempitnya lahan garapan tidak lepas dari keterdesakan petani atas laju pembangunan dan alih fungsi lahan. Misalnya menurut Dinas Pertanian Pesisir Selatan (Padang to day 2/4/2009) sekitar 1.293 hektar(H) sawah di pesisir Selatan berkurang dalam lima tahun terakhir, yang tersisa hanya 30.466 H dengan kepemilikan lahan 0.36 H per-rumah tangga petani.
Contoh kasus alih fungsi lahan lainnya di Kab. Pasaman Barat, sebelum tahun 1990 daerah ini termasuk sentra produksi beras dengan luas sawah tidak kurang dari 27.168 hektar, terjadi penurunan luas sawah seiring masuknya perkebunan kelapa sawit (mulai 1981). Pada tahun 2005 luas sawah di Pasaman Barat tercatat 16.127 H, dalam periode tahun 2005-2007 terjadi penurunan komulatif sejumlah 1.287 H, hingga sawah yang tersisa di tahun 2007 seluas 14.840 H (BPS 2008) dan 4.953 diantaranya di tanami tanaman jagung.
Selain di dua kabupaten tersebut di Kabupaten Lima Puluh Kota juga terjadi penurunan produksi dan luas lahan produksi (Lima Puluh Kota dalam angka, BPS 2009), produksi padi (GKB) Limapuluh Kota Tahun 2008 sebesar 202.531 ton dengan luas panen 43.451 hektar, di banding produksi tahun 2008 dengan produksi tahun 2007 sebesar 218.542 ton dengan luas panen 46.140 hektar terjadi penurunan produksi sebesar 7,33 persen dan penurunan luas panen 5,80 persen. Bahkan produksi padi Lima Puluh Kota tahun 2008 jauh menurun disbanding tahun 2006 dengan jumlah produksi sebesar 202.971 ton dengan luas panen 43.200 hektar, dari data ini jelas terjadi penurunan luas panen tahun 2008 di banding tahun 2007 sebesar 2.699 hektar, sementara pencetakan sawah baru di Lima Puluh Kota tdk signifikan, bahkan makin pesatnya alih fungsi lahan akibat laju pembangunan.
Kedaulatan Pangan Jalan Keluar dari Ancaman Krisis Pangan
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan pertanian dan pangannya sendiri, untuk melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik dan perdagangan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang berkelanjutan, menentukan jumlah yang dapat dipenuhi sendiri dan membatasi pasar lokal dari produk-produk dumping. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, tetapi justru mempromosikan perumusan kebijakan-kebijakan perdagangan yang melayani hak-hak rakyat atas keamanan, kesehatan, dan keberlanjutan produksi secara ekologis.
Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga dibandingkan dengan kebijakan yang mengedepankan industri, tingginya asupan (input),dan produksi yang berorientasi eksport. Dengan demikian jika pendekatan melalui hak, maka kedaulatan pangan berarti menyangkut faktor-faktor mulai dari penguasaan, kepemilikan dan pengelohan alat produksi, proses produksi hingga distribusi dengan hal-hal yang menentukan sebagai berikut:
1. Kebijakan Pasar:
2. Jaminan Pangan, Kualitas dan Lingkungan Hidup:
3. Penguasaan, pemilikan dan pengelolaan terhadap sumber – sumber agraria:
4. Produksi dan Konsumsi
5. Keterbukaan pada informasi dan anti trust law
Aset dan akses reform atas tanah serta sarana lainnya bagi para buruh tani adalah jawaban bagi persoalan kelaparan dan ancaman krisis pangan. Produksi pangan tidak di tangan perusahaan tetapi justru dihasilkan dan dinikmati oleh keluarga tani. Sehingga perlu dilakukan distribusi dan redistribusi tanah pertanian pada petani. Agar pelaksanaan pembaruan agraria dapat memenuhi rasa keadilan, maka pembaruan agraria harus dapat menyelesaikan semua konflik dan sengketa agraria yang telah terjadi dari masa lalu dan yang terjadi saat ini. Pemerintah juga harus berupaya untuk menciptakan peraturan yang tidak memberikan peluang terjadinya konflik agraria.
Penataan struktur agraria yang berhubungan di sektor pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksanaan program Landreform. Yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan subsidi, pemilikan teknologi pertanian, sistem distribusi/perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya. Dalam konteks nasional, sebagai negara dengan mayoritas pendudukan adalah petani dan sumber-sumber agraria yang melimpah, maka kepentingan nasional Indonesia adalah perlindungan atas sumber-sumber agraria dan produk-produk pertanian demi kepentingan ekonomi nasional dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Posisi Dan Peran Organisasi Petani
Organisasi petani dapat dibedakan antara organisasi yang sejati dan organisasi petani yang gadungan.Organisasi petani yang sejati adalah organisasi yang didirikan, dijalankan, dan diperuntukan oleh petani sebagai alat bagi menjalankan gerakan sosial petani itu sendiri,kebalikannya adalah gadungan. Hanya melalui organisasilah petani dapat secara bersama-sama menggalang kekuatan yang mereka miliki. Melalui organisasi petani saling memegang peran, menjalankan dan membagi tugas diantara mereka sendiri. Dengan kata lain petani yang menjadi anggotanya dapat mengkoordinir diri mereka sendiri secara mandiri untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam melawan kapitalisme pangan dan menuangkan nya dalam bentuk kerja nyata di lapangan.
Berbicara tentang Pola dan Strategi Organisasi Petani Dalam Pencapaian Kedaulatan Pangan dan Perlindungan /penguasaan/akses Lahan Pertanian tak terlebas dari bagaimana organisasi tani itu di bentuk, mampu melakukan analisa social terhadap struktur dan sifat penindasan yang dialaminya, mempunyai gagasan-gagasan (basis ide) dan alternatif praktis (basis material) sebagai penjabaran kongkrit dunia baru yang dicita-citakan, sehingga tidak terjebak dengan angan-angan semata. Organisasi petani harus mampu bertempur di dunia ide dan basis material.Pertempuran di dunia ide adalah dalamrangka melawan teori-teori, asumsi-asumsi, bujuk rayu, kampanye ndan rekayasa psykologi individual dan psykologi massa, propaganda hitam, penjinakan, konsep-konsep, yang dilakukan kalangan kapitalisme pangan. Sedangkan pertempuran dibasis material arti sederhananya adalah : kuasailah secara lansung sumberdaya agraria tanpa yang palig mungkin untuk direbut dengan kekuatan massa,tanpa harus menunggu kebijakan, teori-teori, dan konsep-konsep pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani dijalankan oleh pemerintah karena sampai saat ini kebijakan pemerintah beluk memihak kepada petani itu sendiri.
Posisi strategis Organisasi Petani :
Peran Strategis Organisasi Petani :
Beraliansi
Pemikiran dan aksi akan terbentuknya Aliansi melawan kelaparan berdasarkan pada situasi yaitu (1) adanya perubahan dan kemauan politik untuk mewujudkan kedaulatan pangan pada tiap tingkatan baik Internasional,nasional maupun lokal; dan (2) menguatnya kesadaran akan hak atas pangan setiap orang yang sehat, berkualitas dan dorongan untuk menguasai, memiliki dan mengolah lahan-lahan pertanian bagi petani miskin dan buruh tani. Kemudian juga peran-peran masyarakat yang selama ini “terbatas” dalam pengambilan kebijakan strategis dalam hal pemenuhan kedaulatan pangan. Untuk itu sebagai intitusi yang akan “memenuhi kedaulatan pangan”, maka barang tentu aliansi melawan kelaparan ini tidak bisa bersifat permanen. Artinya bersifat sementara, dengan sendirinya organisasi ini akan bubar/dibubarkan bila ketika pemenuhan atas kedaulatan pangan tercapai. Bisa saja organisasi ini menjadi suatu komite atau kepanitiaan yang dibentuk berdasarkan waktu tertentu yang relatif bisa lama atau cepat, sehingga gugus tugas yang diembannya menjadi lebih jelas dan terukur.
Globalkan Harapan!!..Globalkan Perjuangan !!…..Hidup Petani !!!
==================================================================
Sukardi Bendang, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia Sumatera Barat
Makalah pada Seminar Pangan Sumatera Barat, Kebijakan Dan Tata Kelola Pangan Menuju Kemandirian Pangan Lokal, Basko Hotel, Padang 15 Juli 2010