Dimanakah sesungguhnya posisi petani dan pertanian dalam perdebatan seru berbagai kalangan dalam upaya “menyelamatkan” bumi dari perubahan iklim yang melanda setiap sudut dunia? Sebagai suatu kegiatan yang sangat bergantung pada cuaca, pertanian tentu saja menjadi salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Semakin panjangnya musim kemarau namun meningkatnya intensitas curah hujan menyebabkan petani kesulitan untuk menentukan musim tanam dan musim panennya. Dalam periode 15 tahun terakhir telah terjadi 6 kali kemarau panjang atau yang sering disebut sebagai El Nino, frekuensi ini merupakan yang paling sering sepanjang sejarah.
Sementara itu meningkatnya suhu bumi juga telah menyebabkan meningkatnya permukaan air laut yang jika dibiarkan semakin lama semakin banyak kawasan yang terendam air. Diperkirakan jika air laut naik 0,5 – 1 meter maka di Pulau Jawa akan terjadi kehilangan 113 ribu hingga 146 ribu hektar lahan persawahan. Kondisi seperti inilah yang rentan menyebabkan terjadinya kerawanan pangan akibat gagal panen.
Suatu ironi bahwa sebagai salah satu sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim hampir tidak ada satu pun diskusi dalam perundingan Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) maupun dalam Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim Indonesia yang secara sungguh-sungguh mencari cara untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap pertanian dan kehidupan petani yang akan sangat terpukul.
Yang terjadi saat ini berbagai daerah justru pemerintah daerah sibuk menghitung berapa keuntungan yang akan mereka terima dari proses perdagangan karbon, suatu upaya untuk memprivatisasikan sumber daya alam lainnya setelah tanah, air dan kini udara. Sebagai negara yang menduduki peringkat ke-3 di dunia dengan jumlah hutan terluas proses perdagangan karbon dianggap akan meningkatkan pendapatan negara demi “kesejahteraan” rakyat sekaligus melindungi bumi. Untuk memuluskan proses perdagangan karbon ini, dimana 1 ton karbon dihargai 5 US$ (Rp 50.000), Jumlah ini memang mungkin terkesan kecil tapi sesungguhnya Indonesia diperkirakan mampu menyimpan 2,3 giga ton karbon setara dengan 11,5 juta US$ yang berpotensi diterima dari proses perdagangan karbon ini. Bukan jumlah yang sedikit tentunya maka pemerintah melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan peraturan Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
Perdagangan karbon menjadi suatu strategi popular yang diajukan oleh negara-negara indusri maju kepada negara-negara berkembang. Hal ini dipilih karena mekanisme ini menjamin industri-industri besar dapat terus berproduksi dan mencemari lingkungan sambil menyerahkan tanggung jawab mengurangi cemaran gas rumah kaca yang menjadi biang perubahan iklim ini kepada negara-negara yang masih memiliki banyak kawasan hutan termasuk Indonesia. Yang termasuk gas rumah kaca ini yaitu karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), SF6, PFC, HFC. Padahal sesungguhnya penghasil utama gas-gas rumah kaca ini berasal dari proses industri.
Pada areal-areal yang menjadi kawasan penyerapan karbon, tidak ada seorang pun yang boleh tinggal di dalamnya karena kegiatan manusia, termasuk pertanian dianggap menjadi penyumbang gas rumah kaca. Proses perdagangan karbon ini telah menyebabkan ribuan hektar ladang dan sawah digusur dan ribuan petani diusir keluar dari tanahnya. Di Manggarai 3040 hektar tanah petani digusur dari daerah yang akan dijadikan kawasan hutan lindung, di Sulawesi Utara 450 hektar ladang di gusur dan di Papua hampir 5 juta hektar tanah akan dijadikan kawasan serapan karbon dengan menggusur masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Namun sesungguhnya mekanisme ini tidak akan dapat mengurangi dampak dan menghentikan proses perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim terjadi akibat model pembangunan yang sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam, penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan, over produksi, merajalela nya konsumerisme dan proses liberalisasi perdagangan yang menyebabkan meningkatnya perdagangan lintas benua. Dan perdagangan karbon yang diimplementasikan salah satunya melalui mekanisme pengurangan emisi dari proses deforestasi ini tidak akan sanggup mengurangi gas rumah kaca jika tidak disertai dengan perubahan terhadap akar masalahnya tersebut.
Jika pertanian dianggap sebagai salah satu sumber cemaran gas rumah kaca ini, 20 persen dari seluruh cemaran gas rumah kaca yang ada dikatakan berasal dari pertanian. Sesungguhnya pertanian seperti apakah yang dimaksud? Industri pertanian monokultur, pertanian berorientasi ekspor, pertanian yang menggunakan pupuk kimiawi secara intensif dan besar-besaran lah yang bertanggung jawab terhadap 90 persen cemaran dari sektor pertanian.
Perdagangan pangan lintas benua yang terjadi besar-besaran beberapa tahun belakangan menyebabkan meningkatnya cemaran dari transportasi, dan endapan dari penggunaan pupuk kimia secara besar-besaran dan kontinyu menjadi penyumbang terbesar cemaran gas rumah kaca di pertanian, sekitar 10-12 persen cemaran dari pertanian berasal dari proses pemupukan ini.
Sementara puluhan juta petani kecil yang bertanggung jawab terhadap 10 persen sisanya harus menanggung resiko yang paling besar karena mereka sama sekali tidak memiliki perlindungan terhadap dampak dari perubahan iklim.
Sesungguhnya dengan mewujudkan kedaulatan pangan, dengan mendukung ribuan petani mengembangkan pertanian berkelanjutan yang bebas dari pupuk kimiawi serta mengurangi jarak pangan dari produsen ke konsumen (food miles) akan jauh lebih signifikan dalam mengurangi cemaran gas rumah kaca. Sebagai contoh di Eropa, 40 persen dari cemaran gas rumah kaca di pertanian berasal dari pupuk nitrogen yang menghasilkan nitrogen dioksida (NO2), gas rumah kaca ketiga yang paling signifikan menyebabkan perubahan iklim. Selain itu pertanian organik pun lebih mampu bertahan dari kekeringan karena daya dukung tanah untuk menyimpan air jauh lebih baik.
Elisha Kartini
Staf Kajian Strategis
Serikat Petani Indonesia