JAKARTA. Negosiasi di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terutama terkait pertanian, jasa dan industri telah mati suri selama satu dekade. Usaha untuk menghidupkan kembali juga telah berkali-kali dilakukan: 2003 (Cancun, Mexico), 2004 (Jenewa, Swiss), 2005 (Hong Kong), 2008 (Jenewa), 2009 (Jenewa), hingga pertemuan intensif di awal tahun 2011 (Jenewa)—yang berakhir hampa. Usaha menghidupkan kembali WTO ini akan dilanjutkan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-8 yang kembali dilangsungkan pada 15-17 Desember 2011 di Jenewa, Swiss.
Mati surinya WTO menunjukkan ada jurang besar di antara rakyat miskin di dunia—baik di negara maju maupun negara miskin dan berkembang—dengan model korporasi transnasional raksasa. Ketimpangan antara negara berkembang dan negara maju juga semakin besar, dengan tidak adanya implementasi pembangunan dalam tawaran negosiasi 10 tahun terakhir.
“Ini ironis mengingat julukan perundingan adalah Doha Development Agenda (DDA), atau Agenda Pembangunan Doha,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI).
DDA yang diluncurkan pada tahun 2001 telah beberapa kali diproyeksikan dalam studi untuk mengetahui apakah benar ada keuntungan dalam proyek perdagangan bebas multilateral WTO. Sayangnya pada tahun 2005, sebuah studi menyatakan bahwa dengan liberalisasi model DDA, negara berkembang hanya akan mendapatkan keuntungan sebesar US$4 milyar, atau cuma US$0.84 per orang per kapita. Di sisi lain, proyeksi ini menyatakan bahwa negara maju akan mendapatkan sekitar US$24 milyar, atau sekitar US$23.20 per orang per kapita (Anderson et al. 2005).
Henry menyatakan, “Studi tersebut setidaknya menunjukkan bahwa keuntungan yang diproyeksikan ternyata hasilnya sangat kecil—dibandingkan dengan klaim Bank Dunia sebesar US$520 milyar yang dua pertiganya akan diperoleh negara berkembang.” Selanjutnya, tentu saja proyeksi tersebut menggarisbawahi gap yang sangat besar dalam rejim perdagangan dunia yang sangat tidak adil.
Krisis pangan dan keuangan yang dilanda dunia saat ini juga menyebabkan banyak negara cenderung mempraktikkan kebijakan proteksionisme. Di tengah krisis ini, usulan pengetatan regulasi menjadi konsensus dunia, bahkan oleh negara-negara yang liberal sekalipun—seperti yang direkomendasikan kelompok negara G20 di Perancis tahun ini misalnya. Karena itu, hampir mustahil DDA akan dikonklusi dalam waktu dekat.
Henry melanjutkan, “Maka dari itu, sangat tidak masuk akal saat WTO mengusulkan pembukaan pasar yang terus-menerus dalam usaha konklusi DDA.” Ia menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa akhir-akhir ini semakin ketat melindungi pasar domestik mereka, terutama dengan tingkat subsidi pertanian yang sangat besar (yang terhitung di dalam WTO pada 2007-2008 adalah US$58 milyar sementara Uni Eropa sekitar €49 milyar) serta aturan nontarif—yang menunjukkan bahwa sebenarnya tidak pernah ada perdagangan bebas untuk negara-negara ini. Kegagalan konklusi DDA juga akan memperkuat klaim masyarakat sipil terutama petani, nelayan dan buruh yang sejak tahun 1999 telah melawan WTO sejak peristiwa Battle of Seattle.
Sementara itu di Indonesia, banjir impor pangan semakin melukai petani, dengan nilai nominal yang dibayarkan terus meningkat. Kita harus membayar sekitar US$6,35 milyar untuk impor pada semester pertama tahun 2011. Ini berarti ada peningkatan US$1 milyar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Komoditas yang terutama diimpor adalah beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, susu, kentang, cabai kering, tembakau, bawang putih dan bawang merah. Impor inilah yang membuat sektor pertanian dan perekonomian pedesaan semakin tidak atraktif karena tidak menguntungkan dan sulit bersaing.
Indonesia mengusulkan Produk Khusus dan Mekanisme Pengamanan Khusus (SP/SSM) melalui kelompok G-33 di dalam WTO. Walaupun berpotensi melindungi petani kita, namun tetap tidak cukup untuk membangun pertanian dan pangan Indonesia untuk lebih berdaulat.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sebelum berangkat menghadiri KTM WTO ke-8 menyatakan bahwa “melindungi industri lokal dalam kondisi ekonomi global yang tidak kondusif menjadi prioritas utama”. Langkah yang dilakukan Kemendag adalah dengan meningkatkan sistem karantina dan standardisasi kualitas produk impor.
“Proteksi semacam ini memang harus dilakukan, namun tidak cukup,” lanjut Henry. Menurut dia, perlindungan pasar dan harga domestik adalah hak yang termasuk dalam prinsip-prinsip kedaulatan pangan yang diperjuangkan oleh SPI. Hak itulah yang tidak bisa ditegakkan di dalam WTO. “Untuk itulah, WTO harus keluar dari pertanian dan pangan,” pungkas dia.
Lebih jauh dalam sisi perlindungan, ada banyak perlakuan pengamanan (safeguard) yang sebenarnya bisa dilakukan di Indonesia dan negara berkembang lainnya untuk memproteksi pasar dan harga domestik.
Indonesia harus mulai memikirkan alternatif perdagangan yang berdasarkan konstitusi UUD 1945, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perekonomian ini harus juga diadvokasikan sebagai model perdagangan antarnegara di masa yang akan datang, terutama yang berbasis kerja sama dan demokrasi ekonomi. Hal ini akan menghempang struktur ekonomi global tak adil saat ini yang berbasis korporasi, menindas rakyat dan tak peduli lingkungan hidup.
====================================================================
Informasi lebih jauh silakan kontak:
Henry Saragih ( Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, +62 811 655 668, hsaragih@spi.or.id )
Muhammad Ikhwan ( Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia, +62 819 320 99596, m.ikhwan@spi.or.id )