*oleh Tri Haryono
Ibadah puasa Ramadan kita sudah memasuki fase sepuluh hari atau sepertiga ketiga bulan Ramadan. Menurut sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, pada sepuluh hari atau sepertiga pertama bulan Ramadan, Allah melimpahkan anugerah-Nya (rahman) kepada orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. Pada sepertiga kedua Allah membukakan pintu ampunan (magfirah). Sedangkan pada sepertiga terakhir Allah membebaskan orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dari ancaman dan siksaan neraka (ifkun minannar). Hadits di atas pada prinsipnya menggambarkan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang dimuliakan Allah dan karenanya penuh berkah, yang di dalamnya Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari siksa neraka. Tetapi janji Allah tersebut tentu hanya saja berlaku bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan imanan wa ihtisaban (iman dan mawas diri atau ikhlas).
Oleh karena itu dalam perjalanan menyelesaikan amalam ibadah puasa beserta rangkaiannya di hari-hari sepertiga terakhir bulan Ramadan tahun ini, ada baiknya kita melakukan intropeksi-diri dan evaluasi-diri apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi kualifikasi imanan wa ihtisaban. Tulisan ini mencoba mencermati masalah tersebut dengan mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat, fenomena dalam bulan suci Ramadhan. Fenomena pangan di Indonesia selalu menarik perhatian; makin dekat lebaran, makin mencemaskan. Kabinet Kerja pun jadi sibuk “ngerumpi” soal itu. Bahkan Presiden Jokowi sendiri sempat mengamanatkan perintah untuk menstabilkan harga daging sapi (yang bagian dari pangan) berkisar delapan puluh ribu rupiah per kilogramnya.
Sebagai Tirakat Sosial
Puasa dalam bahasa Arab berarti shaum. Secara harfiah kata shaum berarti menahan diri. Dalam istilah fikih, shaum adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Dari makna etimologis dan terminologis, dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip pokok dalam ibadah puasa adalah pengendalian diri (self-control). Salah satu manifestasi utama dari pengendalian diri dalam pelaksanaan ibadah puasa adalah pengendalian pada konsumsi. Karena itu, jika ibadah puasa dilaksanakan dengan benar, yakni sesuai dengan prinsip pengendalian diri, maka pada bulan puasa mestinya terjadi penurunan tingkat konsumsi di lingkungan masyarakat Islam. Akan tetapi, kenyataan dalam masyarakat muslim, khususnya di Indonesia, justru menunjukkan sebaliknya. Kedatangan bulan puasa atau bulan Ramadan selalu diiringi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan bahan pokok, yang kadang-kadang cukup tajam, biasanya sudah mulai terjadi sejak dua atau bahkan tiga minggu sebelum bulan puasa. Kondisi harga baru mulai pulih setelah satu atau dua minggu pasca lebaran.
Puasa memang bukan ide sosial untuk menyelesaikan isu terperangkapnya RI dalam jebakan pangan global, tetapi jika ibadah puasa dapat menggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexive sehingga ideologi kefitrian yang diberikan kepada setiap orang dapat muncul sebagai kepekaan kolektif, barangkali barulah hikmah puasa itu akan mengalir menjadi perubahan sejarah, bukannya berhenti pada semangat mencari pahala untuk pemenuhan fikihnya saja. Sayangnya model intrepretasi puasa yang muncul dalam dakwah agama selama ini lebih banyak diterangkan sebagai laku tirakat spiritual kepahalaan daripada mengungkap makna ritus itu dari perspektif sosial. Wahyu Allah yang berbunyi, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa ini telah diwajibkan kepada orang-orang beriman sebelum kamu”, biasanya dijelaskan secara spiritual sebagai ritual enforcement agar setiap orang patuh menjalankan ibadah. Padahal, seharusnya ayat ini diterangkan sebagai living faith yang aktual, yang mencari makna ibadah itu dalam penghadapan realitas, yakni bagaimana kesadaran fitriyyah yang humanis memihak keadilan tersebut mempunyai perjumpaan secara dialektik dengan kenyataan kehidupan disekitar kita sehari-hari.
Sungguh tidak bisa diragukan bahwa kelaparan merupakan ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Namun, seseorang yang lapar tidaklah dengan sendirinya mengerti secara politik mengapa mereka menderita seperti itu di luar getirnya perasaan secara fisik dan kejiwaan. Sementara itu, mereka yang menjalankan puasa (pada saat ia lapar) juga belum tentu menghayati sepenuhnya mengapa harus melakukan ritus “kelaparan” tanpa sebuah penghayatan bagaimana nasib orang-orang yang sering ditinpa nasib sial kelaparan itu. Jika itu yang terjadi, maka itu mencerminkan bahwa banyak hal yang kita lakukan dan yang kita rasakan sesungguhnya belum membuka makna kesadaran yang hakiki. Di antara kita masih banyak yang hidup, baik dalam kehidupan yang objektif ataupun yang ritual, tanpa memiliki kesadaran yang hakiki akibat kekosongan pedagogis penyadaran selama ini, yang lebih memprihatinkan lagi, tatkala penyadaran kemanusiaan itu kosong dan lemah, munculnya gaya hidup konsumeristik yang rakus dari pasar kapitalisme global ternyata lebih menarik kesadaran manusia ke arah nafsu hedonistik daripada berusaha membangkitkan gairah keberagamaan yang asketik.
Karena ”sesuatu yang salah” pada puasa kita adalah terletak pada praktek pelaksanannya, bukan pada ajarannya, maka adalah kewajiban kita masing-masing untuk membenahi praktek ibadah puasa kita pada hari-hari yang masih tersisa di bulan Ramadan ini dan juga pada tahun-tahun berikutnya. Perbaikan praktek puasa kita harus mengacu pada prinsip pokok ibadah puasa itu sendiri, yaitu prinsip pengendalian diri.
Masalah Kesejahteraan Petani
Di atas sudah dikemukakan bahwa kedatangan bulan puasa selalu disertai dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok atau bahan pangan. Masalahnya adalah, mengapa kenaikan harga bahan-bahan pangan selalu mengiringi kedatangan bulan puasa pada setiap tahun ini tidak berdampak peningkatan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan? Pertanyaan yang dikemukakan terakhir di atas tidak secara spesifik terkait dengan ibadah puasa. Tetapi momen puasa yang selalu membawa dampak pada kenaikan harga pangan dapat menjadi wahana untuk melihat lebih jernih permasalahan tersebut.
Menurut sebagian pengamat, sejak Indonesia menerapkan revolusi hijau para petani sebagai produsen bahan pangan secara berlahan tercerabut atau dipaksa tercerabut dari kebudayaan tani yang diwarisi secara turun-temurun untuk kemudian digantikan secara sepihak dengan strategi kebudayaan saudagar bangsa lain yang lebih unggul modal dan teknologinya. Dalam perkembangannya, di bawah sistem neoliberalisme dan pasar bebas, petani bukan saja tercerabut dari kebudayaan tani warisan nenek moyang tetapi dirampas dan dinafikan kedaulannya. Dalam sistem neoliberalisme dan pasar bebas, mekanisme pasar dikuasai saudagar-saudagar obat-obatan pertanian dan benih yang dipatenkan. Para saudagar yang bernaung di bawah perusahaan multinasional itulah yang kemudian menguasai pangan dari proses produksi, alat produksi, asupan, konsumsi, dan distribusinya. Sementara para petani hanya ditampakkan sebagai kuli dalam produksi pangan. Karena menguasai pangan dari hulu hingga hilir, maka perusahan-perusahaan multinasional sekaligus sebagai pemegang otoritas dalam menentukan harga. Dalam penentuan harga pertimbangannya tentu saja bahwa mereka menangguk keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara di pihak lain, petani yang dirampas dan dinafikan kedaulatannya tidak turut menikmati keuntungan dari perdagangan bahan pangan yang mereka produksi. Ironinya, ketika harga pangan jatuh, petani turut merasakan dampak krisisnya.
Dengan demikian, persoalan mengapa kenaikan harga pangan tidak atau kurang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani adalah karena petani tidak lagi menjadi tuan atas hasil pertanian mereka sendiri. Dan, semua itu terjadi karena ada kekuatan sistem yang tidak memiliki mekanisme sistem pengendalian diri. Dalam konteks inilah ibadah puasa hendaknya tidak hanya sekedar membentuk pengendalian diri pada pribadi seorang muslim, melainkan juga harus diaktualisasikan sebagai kekuatan pendorong untuk melawan sistem yang tamak. Demikian..
*Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia Yogyakarta.