JAKARTA. Menjelang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, Badan Pusat Statistika (BPS) meluncurkan indeks kebahagiaan (IK) (02/06/2014) yang menyatakan bahwa rumah tangga perdesaan tidak cukup bahagia dibandingkan dengan rumah tangga perkotaan selama tahun 2013. IK Kota dan Desa berturut-turut adalah 65,92 dan 64,32.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, hal ini dikarenakan memang ada yang salah dengan program pembangunannya, sehingga rakyat desa tidak sebahagia rakyat kota. Hasil IK utk aspek Desa-Kota ini menunjukkan telah terjadi Pembangunan Bias Kota (berorientasi Kota), dengan dicirikan oleh kota sebagai pusat bisnis, industri, hiburan, dan pemerintahan, sehingga putaran uang praktis akan lebih banyak di kota ketimbang di desa. Tercakup di dalamnya adalah uang atau keuntungan dari nilai tambah bisnis pengolahan dan distribusi hasil-hasil pertanian yang diproduksi oleh kaum tani pedesaan di tengah ketidakpastian dan kekurangan lahan, ketidakpastian iklim, harga, pasar, dukungan modal, infrastruktur terbatas dan ketidakonsistennya kebijakan pemerintah, serta ketidakpastian hukum atas konflik agraria.
“Muara dan dampak dari semua problem tersebut adalah kemiskinan agraria pedesaan, realita kemiskinan pedesaan selalu di depan daripada kemiskinan perkotaan. Ini berarti kemuliaan rumah tangga desa penghasil pangan tidak diimbangi dengan kemuliaan ekonomi pertanian,” tuturnya di Jakarta (08/06).
Selama kurun waktu Maret – September 2013, terjadi peningkatan jumlah orang miskin baik di kota dan di desa (lihat grafik di bawah). Dengan demikian pula terjadi transformasi semu dari pertanian ke non pertanian – yang ditandai dengan hilangnya lima juta rumah tangga pertanian dalam kurun waktu 10 tahun atau 500 ribu keluarga petani per tahun meninggalkan tanahnya. Dari orang-orang pedesaan tersebut diantaranya terdapat pemuda-pemudi, sehingga hanya petani-petani tua yang masih tinggal di pedesaan.
Selanjutnya pertambahan orang miskin di perkotaan sangat diduga setara dengan pindahnya rumah tangga miskin tersebut ke kota, entah di gang-gang sempit di belakang gedung atau apartemen mewah, atau di pinggiran sungai (river side) dan pinggiran rel kereta api (rel estate). Meski demikian, menurut IK, mereka cukup berbahagia, dibandingkan keluarganya di pedesaan.
Henry Saragih menegaskan, adalah tantangan yang tidak ringan untuk mengatasi warisan pemerintah SBY, dimana desa tidak sebahagia kota. Menurut Henry, resolusi SPI tentang Pembangunan Pedesaan yang dikeluarkan dalam Kongres IV SPI Maret 2014 tentunya bisa menjadi salah satu acuan untuk menindaklanjuti Laporan Indeks Kebahagiaan Juni 2014 tersebut.
“Bahwa pembangunan perdesaan dilakukan melalui mekanisme partispasi masyarakat secara aktif; bahwa pemerintahan desa dapat melaksanakan pendataan penguasaan dan kepemilikan sumber agraria sebagai basis dilaksanakannya pembaruan agraria; bahwa pembangunan perdesaan juga berarti memperluas dan memperkuat peran dan akses masyarakat desa terutama kaum perempuan; bahwa diperlukan strategi pemberdayaan dan perlindungan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitas penduduk desa secara insan (didalamnya terdapat ketrampilan dan marwah), penguatan kelembagaan perdesaan dan jaringan ekonomi politik yang kuat; bahwa perlunya praktek-praktek agroekologi baik dalam usaha budidaya pertanian maupun usaha non budidaya pertanian (off farm); bahwa pembangunan perdesaan mengedepankan semangat kebersamaan, kekeluargaan (brotherhood) dan kegotong royongan guna mewujudkan kedaulatan pangan, kemakmuran dan keadilan sosial,” papar Henry.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668