JAKARTA. Tanggal 16 Desember 2011 mendatang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi Undang-Undang. RUU ini mencakup pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta.
Lahirnya RUU Pengadaan tanah berawal dari pertemuan National Summit tahun 2009 dan Infrastructure Summit 2010. Dalam pertemuan tersebut para pengusahan yang hadir mengeluhkan kendala pembangunan infrastruktur adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek. Untuk memperlancar investasi diinfrastruktur yang mengatas namakan pembangunan tersebut, pemerintah kemudian membuat instrumen perundang-undangan yang mempermulus dan mempercepat proses pengadaan tanah.
RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat.
Menurut Agus Rully Ardiansyah Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan Serikat Petani Indonesia (SPI), RUU ini akan melegalkan perampasan tanah oleh perusahaan-perusahan swasta dimana di dalamnya dengan jelas memprioritaskan kepentingan pemilik modal ketimbang kepentingan rakyat. Hampir sepertiga RUU tersebut berusaha menghilangkan hak rakyat atas tanah.
” RUU ini memaksa rakyat untuk setuju pada harga yang ditawarkan pemilik modal. Posisi rakyat pemilik tanah pun dilemahkan dalam masalah ganti rugi. Tak ada aturan dalam RUU tersebut yang mengatur masalah harga ganti rugi lewat mufakat. Ganti rugi akan menggunakan penafsiran pemerintah dan patokan harga tidak dapat dikompromikan. Jika terjadi sengketa, maka akan langsung dibawa ke pengadilan,’’ tegas Rully.
Menurut Rully Secara umum, RUU ini juga sangat berpotensi menjadi instrumen yang mendukung pelanggaran hak asasi manusia. Perampasan tanah, penggusuran dan eksploitasi kekayaan alam yang menghancurkan lingkungan akan semakin tinggi. Dari kecenderungan ini, potensi konflik agraria dan pelanggaran hak asasi petani sangatlah besar.
Dari catatan SPI dalam rentang tahun 2007 hingga 2010 saja telah terjadi 185 konflik agraria yang menewaskan 23 orang petani. Dengan disahkannya RUU ini, tren ini diperkirakan akan terus meningkat.
“Pengesahan RUU ini hanya akan menambah kusut situasi agraria Indonesia saat ini, apalagi RUU ini hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional. Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang—dengan tanah sebagai basis utamanya—baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan,” tambah Rully.
Rully menambahkan dalih pemerintah yang mengatakan bahwa RUU ini untuk kepentingan umum juga tidak masuk akal karena proyek yang paling banyak didukung adalah pembangunan infrastruktur dan bisnis yang dibiayai, dimiliki dan dikelola oleh swasta, baik lokal maupun asing. Proyek contohnya adalah jalan Trans Jawa dan Kalimantan, beberapa pasar modern, pelabuhan, bandara internasional.
“Banyak dari proyek tersebut yang bersinggungan dengan tanah-tanah petani di pedesaan. Dengan demikian proyek ini akan merampas tanah pertanian produktif dan jaringan irigasi. Konsekuensi selanjutnya adalah ancaman terhadap produksi pangan dan kedaulatan pangan rakyat,” papar Rully.
Untuk itu lanjut Rully, Serikat Petani Indonesia (SPI ) dengan tegas menolak disahkannya RUU ini.
“SPI mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pelaksanana reforma agraria yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dan diwujudkan dalam Program Pembaruan Agraria Nasional, segera menyelesaikan konflik-konflik agrarian dan melakukan kaji ulang terhadap kebijakan dan peraturan mengenai agraria dan sumber daya alam,” pungkas Rully.
=================================================================
Kontak:
Agus Rully Ardiansyah
Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan SPI (0812-2070-7673)