Sebagian besar masa pembangunan Indonesia ditandai dengan adanya eksploitasi sumber-sumber agraria termasuk tanah di dalamnya. Upaya-upaya hukum untuk memuluskan proses eksploitasi ini telah dilakukan bahkan sesaat setelah kekuasaan berpindah dari pemerintahan yang populis ketangan pemerintahan yang liberal. Melalui mekanisme privatisasi, liberalisasi dan deregulasi para penguasa modal semakin terfasilitasi untuk melakukan eksploitasi sumber–sumber agraria yang ada. Investor melalui agennya seperti lembaga-lembaga keuangan internasional meyakinkan pemerintah akan pentingnya membuka kemudahan dan memberikan kepastian hukum bagi investor guna mencapai pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kelahiran RUU Pertanahan nampaknya sangat dinantikan ditengah paradigma pembangunan developmentalism yang dilakukan oleh pemerintah. Atas nama pembangunan dan penciptaan kesejahteraan rakyatnya, paradigma developmentalism menjadikan pemerintah sebagai tangan yang memuluskan penguasaan sumber-sumber penghidupan rakyat oleh segelintir penguasa kapital. Bahkan, para penguasa kapital berhasil menyusupi lembaga-lembaga internasional untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam konteks pencapaian akumulasi modalnya.
RUU Pertanahan ini menjadi bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrative pertanahan dalam kerangka kerja yang terkait dengan proyek LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diprakarsai oleh Bank Dunia sejak tahun 2005 lalu. Untuk proyek penyusunan RUU pertanahan ini, Pemerintah melalui BPN berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB melalui penandatanganan MoU pada tanggal 20 Desember 2007 berupa pembiayaan proyek sebesar 500.000 US$ yang berupa hibah dari total biaya proyek sebesar 625.000 US$, sisanya ditanggung oleh Pemerintah. Proyek ini akan dilakukan mulai 29 Februari 2008 dengan total periode bantuan teknis ini adalah selama 45 bulan hingga 31 Januari 2010—tahun dimana LMPDP selesai dilaksanakan.
Implementator dari proyek ini adalah BPN, dimana dalam pelaksanaannya akan membentuk LTWG (legal and technical working group/working goup teknis dan legal) yang terdiri dari elemen-elemen Bappenas, Dep.Keuangan, Dep Dalam Negeri, Dep. Pekerjaan Umum, Dep. Hukum & HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Dep. Agama dan Sekretariat Negara. BPN juga bertugas untuk membentuk kelompok kerja tersendiri yang bermitra dengan LTWG, Konsultan dan perwakilan dari ADB sendiri.
Tiga alasan yang membuat proyek RUU Pertanahan ini patut diwaspadai. Pertama, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan kerangka kerja proyek LMPDP yang secara nyata telah bermaksud untuk mendorong terjadinya pasar tanah. Proyek ini salah satunya bertujuan untuk peningkatan keamanan penguasaan tanah dan peningkatan efesiensi, transparansi, dan perbaikan pemberian layanan dalam pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Seperti yang tercantum dalam dokumen proyek, sertifikasi tanah ini memberikan basis yang signifikan dalam menyiapkan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan atas investasi asing serta menjadikan tanah sebagai aset yang bisa menjadi agunan dan bisa diperjualbelikan dengan mudah. Tanah sekedar jadi komoditi.
Kedua, keterkaitan proyek penyusunan RUU pertanahan dengan Pepres 36/2005 yang diamandemen dengan Pepres 65/2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pencabutan hak atas tanah) yang saat ini masih kontroversial dan dinilai memarginalkan masyarakat miskin yang terkena penggusuran. Ketiga, disejajarkannya RUU pertanahan dengan undang-undang sektoral yang diklaim sebagai turunan UUPA namun nyata-nyata justru bertentangan secara ideologis dengan UUPA 1960.