JAKARTA. Sertifikasi lahan adalah salah satu bentuk pengecohan dari reforma agraria sejati. Hal ini diutarakan Gunawan Wiradi, Guru Besar Agraria Indonesia dalam Lingkar Diskusi Reforma Agraria yang dilaksanakan di sekretariat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta (08/09).
Dalam diskusi ini Gunawan Wiradi menyampaikan, reforma agraria sejati, menempatkan sertifikasi sebagai langkah terakhir.
“Langkah awal penelitian, jika timpang maka segera dilakukan pengukuran, lalu sertifikat. Tidak tiba-tiba sertifikasi. Sertifikasi itu untuk kepentingan investor,” katanya.
Gunawan menjelaskan, reforma agraria adalah penataan ulang struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan orang yang tak bertanah. Lebih dari 500 tahun lalu, reforma agraria bukan untuk tujuan ekonomi tapi untuk tujuan sosial. Aspek ekonomi jadi pertimbangan baru masuk abad 19-an.
“Redistribusi itu istilah statistik, distribusi itu artinya sebaran. Redistribusi, penataan ulang supaya adil,” lanjutnya.
Gunawan melanjutkan, inti reforma agraria adalah land reform dan penunjang menjadi satu paket, bukan dibedakan.
“Kalau ingin melakukan reforma agraria yang sejati harus ada Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang hanya bertanggung jawab kepada Presiden. BORA tidak akan bersaing antar sektor. Solusi BORA bukan BPN menjadi kementerian. Desainnya dirundingkan bersama. Ini menjadi guideline di daerah-daerah,” paparnya.
“Satu lagi, reformasi agraria bukan reforma agraria, jauh berbeda. reformasi itu ya usaha tambah sulam, bukan mengubah,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum SPI Henry Saragih. Menurutnya, yang bisa dilakukan petani adalah terus menekan dan mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk melaksanakan reforma agraria sejati.
“Pemerintah membuka modal dari luar. Mereka akan masuk infrastruktur pertanian dan wisata. Menurut saya perampasan tanah akan terjadi peningkatan baik untuk infrastruktur atau untuk pembangunan perusahaan besar. Sawah kita yang ada di pantura akan diambil korporasi pangan. Sekarang yang paling ketara, beras sudah dileberalisasi,” paparnya.
“Menurut saya kita harus terus berjuang, memperkuat organisasi tani kita. Sekarang sedang berlangsung terbalik, dulu Presiden bilang kita tidak mau ikut Bank Dunia, sekarang menteri dari Bank Dunia ditempatkan langsung mengurus keuangan kita. Untuk redistribusi tanah, pasti reforma agraria menjadi land tittle versi Bank Dunia, kalau ini yang terjadi bukan reforma agraria lagi namanya,” tegasnya.
Sementara itu, diskusi bertemakan “Perkuat Persatuan Rakyat, Jalankan Reforma Agraria, dan Lawan Perampas Tanah Rakyat” ini adalah rangkaian dari peringatan Hari Tani Nasional, 24 September 2016.