JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah dan DPR menelurkan empat rancangan undang-undang (RUU) disektor pertanahan dan pertanian guna menjadi payung hukum yang efektif mengatasi berbagai permasalahan pangan dan konflik agraria/pertanahan yang masih berlangsung hingga kini.
Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, mengatakan berbagai permasalahan pangan yang masih terjadi di Indonesia membutuhkan tambahan payung hukum yang kuat.
“Langkah-langkah pembenahan kebijakan pangan perlu diperkuat dalam bentuk undang-undang yang berkaitan dengan kebutuhan para petani,” ujarnya di Jakarta, hari ini.
Undang Undang (UU) baru yang menurutnya sangat dibutuhkan petani itu antara lain UU tentang Pelaksanaan Reforma Agraria, UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU tentang Ketahanan dan Kedaulatan Pangan serta UU tentang Penyelesaian Konflik Agraria.
Karena itu dia meminta agar pemerintah dan DPR menelurkan empat RUU baru itu karena menurutnya sangat dibutuhkan oleh para petani di Indonesia secara umum.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga menurutnya perlu merevisi UU Pangan yang hanya lebih banyak mengatur perdagangan komoditas pangan, agar lebih sesuai dengan pemenuhan hak rakyat atas pangan.
Usulan keempat UU baru itu, katanya, sesuai dengan hasil Musyawarah Petani Nasional (Peasant Summit) yang telah digelar pada 4 Desember 2010 lalu di Bogor. Peasant Summit itu di fasilitasi oleh Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan (Pokjasus DKP) yang dihadiri oleh ormas tani dan LSM se-Indonesia seperti SPI, API, jaringan KRKP, Gita Pertiwi, IHCS, HKTI, Petani Center, KPA, BIna Desa, dan lainnya.
Dimana dalam pertemuan tersebut berbagai elemen (dihapus) petani menyepakati beberapa langkah strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan pangan yang masih berlangsung di Indonesia hingga kini.
Diantaranya, perlunya kebijakan yang mampu memenuhi hak-hak dasar masyarakat berupa pembukaan akses yang lebih besar terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan.
Kemudian perlunya meneguhkan kembali posisi UU Pokok Agraria dengan mendorong implementasinya secara lebih efektif yang berorientasi pada penerapan konsep reforma agraria pro-rakyat.
Lalu membangun komitmen bersama dan kerjasama antar sektor, antar daerah dan antar komponen strategis untuk mengatasi permasalahan pangan melalui pelaksanaan reforma agraria untuk menwujudkan ketahanan pangan dan menegakkan kedaulatan pangan.
Dan terakhir, perlunya jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia, termasuk para petani dan nelayan.
Data terkini yang dihimpun SPI dan berbagai elemen petani menyebutkan saat ini setidaknya ada 21 juta kepala keluarga (KK) yang hidup dari pertanian.
Sedangkan lahan yang tersedia untuk pertanian, katanya, hanya sekitar 6,7 juta hektar, sehingga kepemilikan lahan petani hanya sekitar 0,3 hektar per KK.
Masalah terbatasnya lahan pertanian itu diperparah lagi dengan masalah pertumbuhan penduduk yang tinggi (3,5% per tahun) dan terjadinya degradasi lahan seluas 6% setiap tahunnya.
Padahal dengan kondisi itu, idealnya indonesia memiliki lahan pertanian setidaknya seluas 20 juta hektar, sementara saat ini lahan terlantar mencapai 5 juta hektar dan lahan kehutanan yang dapat dikonversi menjadi lahan pertanian seluas 12 juta hektar.
Data lain menyebutkan, terdapat 132 juta hektar lahan hutan di Indonesia, dimana 20% diantaranya hutan primer, 23% hutan gundul dan 25% dikuasai oleh pemegang HPH yang tidak memenuhi kelayakan dan sisanya bisa dikonversi menjadi lahan pertanian.