JAKARTA. Serikat Petani Indonesia meminta pemerintah agar menghentikan kebijakan liberalisasi dan korporatisasi pertanian mulai 2011 untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah di sektor pertanian dan menjamin kebutuhan pangan nasional.
Hal itu disampaikan Henry Saragih, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) kepada sejumlah media massa nasional di Jakarta, Rabu (22/12) siang.
Pada kesempatan itu, Henry menyampaikan catatan akhir tahun DPP SPI terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan di sektor pertanian, pedesaan dan pembaruan agraria sepanjang 2010.
Dalam catatan akhir tahun yang bertajuk menghentikan Kebijakan Liberalisasi dan Korporatisasi Pertanian itu DPP SPI mengulas dengan tajam beberapa aspek krusial yang masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ besar bagi pemerintah.
Diantaranya, masih mandegnya pembaruan agraria, belum maksimalnya subsidi petani, krisis perbenihan dan ketersediaan beras serta ancaman serangan perdagangan bebas ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement).
Kemudian dominasi asing pada perkebunan kelapa sawit, pelanggaran hak-hak asasi petani dalam konflik agraria, kerentanan pengelolaan pertanian pasca bencana dan perampasan lahan atas nama lingkungan oleh proyek-proyek REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation).
Selain itu, dalam catatan setebal 18 halaman itu DPP SPI juga menyajikan berbagai data terkini atas berbagai permasalahan yang diangkat, khususnya soal perbenihan dan importasi beras yang relatif diulas lebih banyak.
“Sepanjang 2010 pemerintah dibawah kepemimpinan SBY tidak goyah dengan kebijakan liberalisasi dan korporatisasi pertaniannya,tegas Henry.
Pada masalah pembaruan (reforma) agraria, dia mengatakan DPP SPI tidak menganggap bahwa sertifikasi tanah oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan reforma agraria.
“Itu bukan landreform, tetapi untuk mempermudah jual beli tanah saja. Masak tanah yang dibagikan hanya seluas 260 hektar, itupun kepada 5.141 keluarga petani, jadi tiap keluarga cuma dapat 0,05 hektar,” ujarnya.
Padahal, katanya, pada Maret 2010 lalu Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa ada 7,3 juta hektar lahan terlantar yang siap untuk diredistribusikan kepada para petani.
“Reforma agraria masih menjadi janji politik pemerintah semata. Sertifikasi dan distribusi tanah yang dilakukan itu sebenarnya sama saja dengan melegalkan dan melanggengkan ketidakadilan agraria, ” papar Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).
Mengenai perbenihan, menurutnya tidak banyak berubah dibandingkan tahun lalu, dimana sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional.
Seperti Jagung Hibrida yang mencapai 43% dipasok oleh Syngenta dan Bayern Corp, belum lagi anak-anak perusahaan MNC yang berlabel lokal namun semua administrasi keuangannya lari ke luar negeri.
“Dari studi SPI, tercatat rata-rata 45,4% modal petani, terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk dan racun yang diimpor,” jelasnya.
Dari tahun ke tahun, katanya, ketersediaan benih bermutu varietas unggul untuk komoditas hortikultura belum dapat mencukupi kebutuhan, dimana sejak 2005-2007 rata-rata ketersediaan benih tanaman buah baru mencapai 15,37%.
Sedangkan benih tanaman hias sebesar 5,7%, benih tanaman sayuran 4,53% dan benih tanaman biofarmaka sebesar 1,67%, sisanya kebanyakan menggunakan benih asalan atau impor.
Gagal Pangan
Selanjutnya, Henry Saragih, yang juga Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional ‘La Via Campesina’ itu juga menegaskan bahwa pembukaan keran impor beras adalah kebijakan pemerintah yang tidak masuk akal.
“Suatu argumen yang sangat tidak masuk akal, jika masalahnya bukan pada produksi beras nasional tetapi pada penyerapan cadangan beras oleh Bulog. Impor seharusnya tidak menjadi pilihan,” katanya.
Padahal, importasi beras menurutnya hanya menguras anggaran belanja negara dan disisi lain akan menekan produksi petani dalam negeri.
Dari perhitungan SPI, jelasnya, anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor 1,05 juta ton beras sekitar Rp4,86 triliun, dimana 1,05 juta ton itu setara dengan produksi yang dihasilkan dari 216 ribu ha sawah.
“Itu jika rata-rata per hektar memproduksi 5 ton gabah. Dan kalau rata-rata keluarga petani memiliki 0,5 hektar lahan, artinya dana impor itu setara dengan pendapatan 432 ribu keluarga petani di Indonesia,” paparnya.
Dalam pandangan SPI, kebijakan impor beras ini menunjukkan pemerintah telah gagal menyiapkan ketersediaan pangan nasional.
Padahal, kata Henry, pemerintah dapat mengeluarkan berbagai kebijakan yang efektif, seperti dengan mengintegrasikan pasokan beras yang ada pada petani dan masyarakat.
Serta meninjau kembali peran kelembagaan Bulog yang sejak 1998 menjadi perusahaan umum yang bersifat komersil, ternyata tidak mampu memperbaiki kinerjanya menyerap gabah untuk ketersediaan stok beras nasional.
“Bulog menjadi terikat aturan pasar karena sudah mencari profit. Bagi mereka, adalah rasional jika lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok ketika harga jual petani lebih tinggi,” ujar Henry.(yp)