PASAMAN BARAT. Petani dan masyarakat adat anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Batang Lambau, Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat melakukan aksi dengan memasuki lahan yang besengketa dengan PTPN VI, kemarin (29/04).
Menurut Irwan Hamid, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Sumatera Barat (Sumbar), aksi ini adalah puncak dari berlarut-larutnya penyelesaian sengketa lahan antara petani dengan PTPN VI.
“Penolakan petani dan masyarakat adat terhadap perpanjangan HGU PTPN VI yang akan berakhir HGU nya pada tanggal 31 Desember 2017 tidak diindahkan oleh PTPN VI dengan bukti telah dilakukannya replanting tanaman kelapa sawit di atas lahan yang disengketakan tersebut. Penolakan perpanjangan HGU tersebut juga telah disampaikan kepada Kementrian BUMN dan Mentri Keuangan melalui surat pertanggal 3 November 2014,” kata Irwan Hamid.
Januardi, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Pasaman Barat mengemukakan, sampai adanya penyelesaian sengketa lahan ini petani SPI akan menduduki lahan bekas perkampungan masyarakat yang digusur oleh PTPN VI dulu.
Januari melanjutkan, kasus sengketa lahan yang berlarut-larut ini seperti bom waktu yang siap meledak suatu saat jika Pemda Pasaman Barat, dalam hal ini Bupati Pasaman Barat tidak mempunyai niat baik untuk menyelesaikan persoalan sengketa lahan di Pasaman Barat.
“Khusus untuk kasus sengketa lahan dengan PTPN VI, seharusnya perusahan BUMN tersebut menyerahkan kembali tanah petani dan masyarakat adat yang telah dirampas begitu saja dengan menggusur perkampungan, sawah dan pandam perkuburan semenjak tahun 1994 ketika masa HGU mereka berakhir pada tanggal 31 Desember 2017 nanti. Untuk itu, SPI mendesak Bupati Pasaman Barat dan pihak terkait agar dapat menyelesaikan dan meminta PTPN VI memberikan kembali lahan petani dan masyarakat adat yang tergabung dalam SPI Basis Batang Lambau seluas 1.200 ha setelah HGU perkebunan PTPN VI berakhir,” paparnya.
Dalam aksi ini SPI Sumatera Barat memberikan apresiasi kepada aparat keamanan yang telah mengawal aksi memasuki lahan sengketa dengan baik dan mengayomi.
“Namun demikian diharapkan ke depannya agar dapat selalu mengedepankan tindakan persuasif dan humanis dalam menjaga dan mengamankan aksi petani dan masyarakat adat di atas lahan yang disengketakan tersebut,” tambah Januardi.
Irwan Hamid menambahkan, SPI Sumbar mencatat, jumlah sengketa lahan antara petani anggota SPI dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kehutanan di Sumatera Barat melibatkan 4.282 KK dengan luas lahan yang di sengketakan 18.288 hektar. Di Pasaman Barat sendiri sengketa lahan petani dan masyarakat adat anggota SPI mencapai 17.353 Ha dengan melibatkan 3.290 KK. Belum lagi sengketa lahan yang tidak terselesaikan diluar anggota SPI hingga sekarang.
“Untuk itu, diharapkan pemerintah daerah Paasman Barat untuk dapat mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada petani dan masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa lahan ini. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria N0 5 tahun 1960 sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria yang sejati dan berkeadilan,” imbuhnya.
Sementara itu, konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan petani SPI Basis Batang Lambau ini berlokasi di Banja Batang Lambau Jorong VI Koto Utara Nagari Kinali. Dahulunya merupakan tanah ulayat Ninik Mamak Imbang Langik yang awalnya diklaim Pemda Kabupaten Pasaman (sebelum pemekaran) sebagai tanah negara bekas Erfacht. Selanjutnya diserahkan untuk perkebunan kelapa sawit PTPN VI Ophir (kebun Inti III dan IV). Kebun Inti III dan IV bagian dari HGU PTPN VI (Persero) Kebun Ophir seluas 3.549.16 Ha sesuai sertifikat Nomor : 1 tanggal 27 April 1994 dan berakhir 31 Desember 2017.
Semenjak perkebunan kelapa sawit PTPN VI Ophir dibuka tahun 1982, pada masa proses pengurusan HGU dan hingga saat ini dalam perkembangannya menimbulkan banyak permasalahan dengan melibatkan banyak pihak dan berujung pada tindakan pengusiran masyarakat dari tanahnya dan kriminalisasi terhadap salah seorang Ninik Mamak karena memperjuangkan hak ulayatnya. Kampung Banja Batang Lambau ditempati oleh anak-cucu dan kemenakan Ninik Mamak Imbang Langik sebanyak 40 KK secara turun temurun, setelah diusir oleh PTPN VI tahun 1982 mereka terpaksa menetap di kampung sebelahnya yang masih berada dalam nagari Kinali, sebagian pindah ke nagari lain di Kabupaten Pasaman Barat, bahkan ada yang merantau keluar Kabupaten Pasaman Barat. Saat ini anak cucu kemenakan Ninik Mamak Imbang Langik ini sudah berkembang menjadi 245 kepala keluarga (KK).