Situasi perbenihan di Indonesia sudah menjurus pada krisis benih, sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikuasai dan didistribusikan oleh perusahaan multinasional. Sebagai contoh, untuk jagung 43 persen benih hibrida dipasok oleh perusahaan besar seperti Syngenta dan Bayer Corp. Kondisi seperti ini merupakan bentuk monopoli yang menyebabkan biaya tinggi, akibatnya petani menanggung beban ongkos peroduksi yang semakin mahal.
Disisi lain, upaya pengembangan benih di Indonesia jalan ditempat. Setiap tahunnya benih diimpor dalam jumlah yang sangat besar. Pemerintah tidak menjalankan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan benih yang baik secara kualitas dan mencukupi secara kuantitas. Pemerintah juga tidak memberikan jaminan dan perlindungan kepada petani yang ingin mengembangkan dan memproduksi benih secara mandiri. Sebagai contoh, pada tahun 2005 beberapa petani di Kediri dan Nganjuk diseret ke penjara karena berhasil memproduksi benih yang diklaim PT. BISI sebagai pelanggaran terhadap paten yang dimilikinya. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus peredaran padi supertoys di Purwokerto yang merugikan ratusan petani penanam, karena pengawasan pemerintah yang lemah.
Serikat Petani Indonesia (SPI) memandang benih adalah kehidupan yang menentukan keberhasilan atau kegagalan hasil panen (60 persen keberhasilan/kegagalan panen ditentukan oleh benih). Oleh karena itu petani harus bisa mengakses benih yang berkualitas baik dengan kuantitas yang cukup. Apabila sistem perbenihan nasional tidak berubah, dalam arti benih hanya dimonopoli segelintir perusahaan seperti saat ini, jangan harap petani akan menghasilkan panen yang baik. Monopoli menyebabkan harga benih menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau oleh petani kecil.
Hal tersebut bertambah buruk dengan munculnya berbagai kebijakan yang tidak kondusif, seperti UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman sebagai perpanjangan tangan dari perjanjian TRIPS di (World Trade Organization) WTO. Kedua UU tersebut berpotensi menghambat kreativitas petani dan memposisikan petani kecil sebgai konsumen benih yang tidak mempunyai daya tawar dihadapan perusahaan-perusahaan benih raksasa.
SPI sebagai organisasi petani, mendesak pemerintah untuk menghilangkan ketergantungan yang akut terhadap benih. Caranya adalah dengan mengurangi benih-benih impor dan mengembangkan sendiri benih melalui lembaga-lembaga penelitian dan universitas-universitas yang ada di Indonesia. Selain itu, SPI mendesak pemerintah untuk mengadakan bank-bank benih yang bisa diakses petani kecil dan tidak menyerahkan pengadaan benih kepada badan-badan komersial yang bekerja berdasarkan mekanisme pasar.
SPI juga mendesak agar benih tidak dijadikan komoditi yang bisa dipatenkan, karena benih adalah mahluk hidup yang merupakan kekayaan alam suatu daerah dan menjadi milik bersama. Para pemulia tanaman juga mengambil benih dari masyarakat secara bebas, jadi tidak sepatutnya hasil pemuliaan ini dimonopoli untuk kepentingan individual atau perusahaan pengembang benih. Petani dan masyarakat pada umumnya harus mempunyai hak yang sama untuk mengembangkan, memproduksi, menggunakan dan mempertukarkan benih-benih tersebut secara bebas. Oleh karena itu, SPI mendesak agar semua peraturan-peraturan rejim paten atas benih segera dicabut.
Atas dasar itu dan dalam momentum peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September, Serikat Petani Indonesia (SPI) menuntut: