
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan duka cita yang mendalam kepada seluruh keluarga korban yang terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda berbagai wilayah di Pulau Sumatra sejak akhir November 2025. Hujan ekstrem yang mengguyur Sumatra sejak akhir November 2025 memicu banjir bandang dan tanah longsor di berbagai wilayah. Arus air yang turun tanpa henti merusak rumah, memutus jalan dan jembatan, serta melanda pemukiman dengan cepat. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejumlah media nasional, dan anggota SPI di wilayah terdekat mencatat sebanyak 303 orang meninggal dunia, ratusan lainnya hilang, dan belasan ribu keluarga harus mengungsi. Bencana ini terjadi di:
Kerusakan bukan hanya pada rumah dan fasilitas publik, lahan pertanian rakyat seperti sawah, kebun, ladang, serta peternakan hilang/tertimbun lumpur. Tanaman yang mendekati panen musnah seketika. Banyak petani kehilangan sumber nafkah sepenuhnya.
Situasi darurat semakin diperburuk dengan putusnya listrik dan jaringan komunikasi di sejumlah desa. Banyak warga belum dapat memberikan kabar kepada keluarganya di luar daerah, sementara beberapa wilayah masih terisolasi karena akses jalan tertutup material longsor.
Banjir dan longsor yang terjadi bukan hanya akibat curah hujan tinggi, tetapi karena kerusakan ekologis yang telah berlangsung lama. Tutupan hutan di kawasan hulu menyusut, kawasan resapan air berubah menjadi lahan terbuka, dan struktur tanah yang sebelumnya kuat kini tidak lagi mampu menahan air.
Di banyak tempat, lereng-lereng Bukit Barisan yang dahulu ditopang vegetasi kini menjadi rawan runtuh. Sungai-sungai yang kehilangan penyangga alami meluap lebih cepat, membawa lumpur dan material kayu dari hulu. Kondisi ini menjadikan hujan ekstrem langsung berubah menjadi bencana besar.
Kerusakan ekologis yang memperparah bencana Sumatra tidak dapat dipisahkan dari krisis iklim global dan disebabkan pada pembangunan yang bertumpu pada kapitalisme ekstraktif. Selama puluhan tahun, ekspansi agribisnis besar, industri fosil, hutan tanaman industri, dan pertambangan korporasi telah membuka hutan secara masif, merusak wilayah hulu, dan memusatkan penguasaan tanah pada segelintir aktor/oligarkhi.
Krisis ini diperkuat oleh mekanisme internasional yang tampak sebagai solusi, tetapi tidak menyentuh akar masalah. Salah satunya adalah Article 6 Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang mengatur perdagangan karbon dan skema offsetting. Mekanisme ini memungkinkan negara atau korporasi besar untuk tetap menghasilkan emisi selama mereka membeli “kredit karbon” dari wilayah lain. Dengan demikian, emisi tidak benar-benar berkurang—hanya dipindahkan secara administratif.
Selain itu, skema offsetting cenderung menjadikan hutan, lahan, dan wilayah adat sebagai komoditas karbon. Proyek-proyek ini telah membatasi akses rakyat desa terhadap sumber daya yang menjadi ruang hidupnya. Article 6 juga memindahkan beban penyesuaian iklim ke negara-negara Selatan, termasuk Indonesia, padahal negara kaya adalah penyumbang terbesar emisi historis.
Dengan kata lain, mekanisme ini tidak menghentikan penggunaan energi fosil dan tidak mengurangi penguasaan sumber daya oleh korporasi. Akar krisis yakni model produksi dan konsumsi yang merusak tetap tidak tersentuh, sementara rakyat kecil seperti petani, masyarakat adat, dan rakyat perdesaan di Sumatra harus menanggung akibatnya.

Contoh kasus kerusakan ekologis yang memperburuk bencana dapat dilihat jelas di beberapa kabupaten terdampak, seperti:
Di Kabupaten Tapanuli Utara, pembukaan hutan untuk perkebunan, hutan tanaman industri, dan aktivitas galian membuat kawasan hulu kehilangan daya serap air. Ketika hujan ekstrem datang, aliran permukaan meningkat tajam dan langsung mengarah ke desa-desa di bawahnya.
Di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman, lereng-lereng Pegunungan Bukit Barisan telah banyak dibuka untuk pembangunan jalan, permukiman, dan perkebunan. Hilangnya vegetasi membuat tanah mudah lepas dan menimbulkan longsor besar ketika jenuh air.
Di Kabupaten Pesisir Selatan, ekspansi perkebunan sawit telah meningkatkan sedimentasi sungai dan memperlebar area banjir. Sungai-sungai dangkal yang kehilangan penyangga alami tidak mampu menahan debit air besar.
Di Aceh Tamiang, deforestasi akibat perluasan sawit telah lama menyebabkan banjir bandang berulang. Hilangnya hutan di bagian hulu membuat air turun tanpa hambatan ke hilir setiap kali curah hujan meningkat.

Dampak langsung bagi petani dan masyrakat desa yaitu lahan rusak, hasil panen hilang, ternak hanyut, dan alat produksi terendam lumpur. Kehilangan lahan berarti kehilangan penghidupan, tanpa tanah, tidak ada sumber pangan maupun pendapatan. Contohnya yang tercatat saat ini, 1.302 hektare lahan pertanian di Solok dan 31,18 hektare lahan pertanian berupa sawah dan cabai di Agam, Sumatera Barat, terendam tanah longsor dan banjir bandang. Hal serupa juga menimpa 121 hektare lahan sawah di Pasaman Barat, 441 hektare lahan sawah dan jagung di Padang Pariaman, hingga 100 hektare sawah di Batang Angkola Sumatera Utara.
Di Sumatera Utara, banjir besar juga memukul kehidupan anggota SPI, terutama di Kabupaten Langkat. Di Desa Pluh Pakih, Kecamatan Batang Serangan, serta Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, banjir mencapai lebih dari 1 meter dan merendam seluruh pemukiman serta lahan pertanian. Sekitar 100 KK terdampak, namun kerugian belum dapat diidentifikasi karena akses menuju lokasi masih terputus total. Jaringan komunikasi juga lumpuh, membuat informasi sulit diperoleh dan warga tidak dapat menghubungi kerabat mereka.
Lahan pertanian yang menjadi sumber hidup petani rusak total diterjang banjir sedalam hingga 1,4 meter. Tanaman pangan hanyut dan mati, ternak hilang terbawa arus, dan tidak ada lagi komoditas yang dapat dipanen. Hingga hari ini, dua kecamatan (Wampu dan Batang Serangan) dilaporkan air mulai surut, tetapi akses jalan tetap tidak bisa dilalui karena arus masih deras dan jalur terputus. Kondisi ini juga menyulitkan warga mencari bahan makanan. Sementara itu, dua kecamatan lain (Sawit Seberang dan Salapian) belum bisa dikontak karena jaringan sepenuhnya terputus. Wilayah tersebut juga berbatasan dengan Aceh Tamiang yang mengalami kerusakan parah.
Putusnya komunikasi membuat petani sulit mengetahui kondisi anggotanya. Banyak keluarga menunggu kabar kerabat di desa-desa yang belum dapat dijangkau oleh bantuan. SPI terus memantau perkembangan di lapangan dan mendorong percepatan penanganan, agar para petani dapat segera pulih dan kembali berproduksi.
Kami mengajak seluruh anggota dan jaringan SPI, gerakan rakyat, dan masyarakat luas untuk memperkuat solidaritas kemanusiaan bagi korban bencana di Sumatra, melalui dukungan pangan pokok (beras, jagung, ubi, telur, minyak goreng, gula, garam, susu, dan lainnya), air bersih dan kebutuhan darurat (air minum kemasan, galon), obat-obatan dan perlengkapan kesehatan (P3K, obat demam, batuk, diare, salep kulit, vitamin, masker, hand sanitizer, dan obat lainnya), perlengkapan bayi dan perempuan (popok, susu bayi, pembalut, pakaian dalam, perlengkapan mandi, dan perlengkapan lainnya), peralatan tidur dan sandang (selimut, matras, tikar, pakaian layak pakai, dan lainnya), perlengkapan darurat (senter, baterai, jas hujan, terpal, ember, alat masak, dan lainnya), bantuan dana solidaritas untuk pembelian kebutuhan mendesak dan dukungan operasional relawan, dan keterlibatan langsung dalam upaya pemulihan kehidupan petani dan masyarakat desa terdampak.
Kontak lebih lanjut: