Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali menegaskan pentingnya arah kebijakan pangan yang berpihak pada rakyat pada momentum Hari Pangan Sedunia. Melalui diskusi publik bertajuk “Mengawal Revisi UU Pangan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan” yang digelar Senin (13/10), SPI mengkritisi revisi UU Pangan yang dinilai berpotensi menjauhkan cita-cita kedaulatan pangan.
Diskusi publik ini menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, Yarni Herianti, anggota Majelis Nasional Petani SPI; Agus Ruli Ardiansyah, Wakil Ketua Umum Bidang Polhukam SPI sekaligus Wakil Presiden Partai Buruh Bidang Pertanian, Pangan, dan Agraria; Afgan Fadilla, akademisi dari Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani; serta Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS). Webinar dibuka oleh Henry Saragih selaku Ketua Umum SPI dan dimoderatori oleh Kusnan selaku Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Agroekologi dan Perbenihan Pusat DPP SPI.
Dalam sambutannya, Ketua Umum SPI Henry Saragih mengingatkan bahwa perjuangan kedaulatan pangan bukan hal baru bagi gerakan tani. “Perjuangan ini sudah kita jalankan sejak 1996, dan puncaknya saat krisis pangan 2008, hingga lahirnya UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (2009) dan UU Pangan (2012),” ujarnya. Namun, Henry menegaskan, semangat kedaulatan pangan yang tercantum dalam UU Pangan 2012 belum juga terwujud. “Kita khawatir revisi kali ini justru mengubah arah UU agar sejalan dengan UU Cipta Kerja,” imbuhnya.
Sejalan dengan itu, Yarni dari Majelis Nasional Petani SPI menegaskan bahwa momentum revisi ini menjadi kesempatan bagi SPI untuk mendorong kedaulatan pangan dan reforma agraria. “Revisi UU Pangan ini harus menjadi momentum untuk menegaskan bahwa pangan bukan sekadar komoditas ekonomi tapi hak rakyat dan alat kedaulatan bangsa,” tegasnya.
Sementara itu, Agus Ruli menyoroti sejumlah isu yang perlu diperhatikan dalam revisi UU Pangan ini, mulai dari peran kelembagaan pangan seperti Bulog, kewajiban pemerintah dalam melindungi petani kecil, hingga arah pendanaan program pangan nasional. Ia berpandangan bahwa dana harus diarahkan untuk memperkuat petani kecil, bukan untuk proyek besar seperti food estate yang jugstru memperparah ketimpangan penguasaan tanah. “Pemerintah juga harus berhati-hati Food estate tidak membawa kedaulatan pangan, tapi justru memperkuat penguasaan tanah oleh korporasi dan mengancam ruang hidup rakyat,” ujarnya.
Dari sisi akademisi, Afgan Fadilla Kaban menyoroti bahwa saat ini kebijakan pangan masih dikuasai oleh konsep ketahanan pangan yang menempatkan pangan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebuah hak. “Pangan masih dipandang sebagai komoditas bukan hak, belum ada fungsi pemenuhan. Petani juga belum diposisikan secara Istimewa sebagai produsen utama yang memiliki relasi khusus dengan tanah dan lingkungan,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Gunawan dari IHCS juga menyampaikan bahwa revisi UU Pangan tidak bisa lepas dari dampak Omnibus Law Cipta Kerja. “Kerusakan UU Pangan itu bermula sejak diubah oleh UU Cipta Kerja, terutama terkait impor pangan. Materi yang terkandung dalam Omnibus Law hanya bisa diubah oleh Omnibus Law itu sendiri, jadi sangat mungkin revisi ini justru dibuat untuk menyesuaikan UU Pangan dengan UU Cipta Kerja,” tegasnya.
Dalam sesi diskusi, Khudori, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, menyoroti bahwa revisi UU Pangan justru lebih banyak mengatur tentnag kelembagaan daripada substansi pangan itu sendiri. Ia menyebut langkah pemerintah meleburkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) ke dalam Bulog sebagai kebijakan yang pragmatis. “Pemerintah sepertinya ingin memuluskan transformasi Bulog tanpa harus membuat Undang Undang baru, makanya itu dicangkokkan ke dalam revisi UU Pangan ini,” ujarnya.
Melalui diskusi ini, SPI menegaskna bahwa revisi UU Pangan tidak boleh menjauh dari semangat kedaulatan pangan dan reforma agraria. UU Pangan ini harus menjamin hak rakyat untuk pangan yang berdaulat, serta memperkuat posisi petani sebagai produsen utama pangan nasional. SPI juga menyerukan agar proses revisi dilakukan seacra transparan dan melibatkan organisasi petani, agar kebijakan pangan nasional benar-benar berpihak pada kepentingan petani dan kedaulatan pangan.