Bertemu dengan Walhi Aceh, Ketua Umum SPI Bahas Situasi dan Dampak Bencana di Aceh

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengadakan pertemuan dan diskusi dengan Walhi Aceh pada Selasa (23/12/2025) di kantor Walhi Aceh. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah isu dibahas, antara lain pemetaan dampak bencana bersama Walhi Aceh, pemetaan alur sungai, serta persoalan pembukaan lahan hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.

Pertemuan ini merupakan bagian dari rangkaian upaya SPI dalam penanggulangan bencana di Sumatra. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Ketua Umum SPI, Henry Saragih, bersama pengurus SPI di Aceh, untuk melihat secara langsung kondisi di titik-titik terdampak bencana, khususnya di Aceh. Dari kunjungan lapangan tersebut, ditemukan sejumlah persoalan yang menjadi akar penyebab terjadinya banjir dan longsor di Aceh.

Dialog antara Ketua Umum SPI bersama Pengurus SPI Aceh dan Ahmad Shalihin selaku Direktur Walhi Aceh

Salah satu penyebab utama adalah menurunnya daya tampung lahan dan hutan yang sudah tidak mampu lagi menahan debit air yang terus meningkat. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya batas yang jelas antara wilayah sungai dan lahan-lahan sawit. Selain itu, kebijakan yang memberikan ruang luas bagi praktik eksploitasi juga turut memperburuk keadaan.

Data oleh Walhi Aceh

Berdasarkan data Walhi Aceh, pada periode 2015–2022, angka deforestasi di Aceh mencapai 130,743 hektare. Sementara itu, rehabilitasi hutan dan lahan pada periode 2018–2022 hanya mencapai 3,927 hektare. Dengan kondisi tersebut, dibutuhkan waktu hingga 171 tahun untuk memulihkan atau memperbaiki kerusakan hutan di Aceh.

Data oleh Walhi Aceh

Kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Aceh juga sangat mengkhawatirkan. Pada periode 2017–2022, hilangnya tutupan DAS di Singkil mencapai 265,457 hektare; di Jambo Aye 214,378 hektare; di Peusangan 184,088 hektare; di Tamiang 178,616 hektare; serta di Krueng Tripa 133,113 hektare. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah dengan kondisi DAS paling kritis di Aceh.

Data yang dipaparkan Walhi Aceh juga menunjukkan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Aceh. Hingga saat ini, tercatat terdapat 134 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas mencapai 496.989 hektare yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Aceh. Luasan perkebunan sawit terbesar berada di Aceh Timur dengan 100.151,70 hektare, disusul Nagan Raya seluas 86.225,45 hektare, Aceh Utara seluas 50.891,23 hektare, Aceh Singkil seluas 48.237,64 hektare, dan Aceh Tamiang seluas 47.794,74 hektare.

Data oleh Walhi Aceh

Tidak hanya itu, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Aceh juga terus meningkat. Berdasarkan data yang dipaparkan Walhi Aceh, pada tahun 2023 luas lokasi PETI di Aceh tercatat mencapai 6.498,99 hektare. Angka tersebut meningkat menjadi 8.107,65 hektare pada periode Januari–Oktober 2024.

Dalam pertemuan tersebut juga dibahas temuan di wilayah Bireuen, di mana terdapat lahan berbentuk kotak-kotak yang ditanami pohon tusam dan sebagian lainnya ditanami sawit. Pada awalnya, lahan tersebut dimiliki dan dikelola oleh Tusam Hutani Lestari (THL). Namun, karena tidak sanggup mengelola, lahan tersebut kemudian dikuasai oleh pihak yang disebut sebagai “masyarakat”—istilah halus yang merujuk pada orang-orang bermodal besar—yang menggunakan status tersebut untuk membersihkan citra dan menutupi praktik perusakan lingkungan yang mereka lakukan.

Berbagai temuan di lapangan yang mengungkap kepingan-kepingan penyebab banjir dan longsor ini nyatanya belum mendorong Pemerintah Pusat untuk menaikkan status bencana nasional bagi bencana di Sumatra. Padahal, desakan untuk menetapkan status tersebut terus disuarakan, baik oleh masyarakat sipil maupun warganet di media sosial.

SPI dan Walhi Aceh dalam beberapa kesempatan juga telah mengeluarkan rilis dan pernyataan sikap yang mendesak Pemerintah agar segera menetapkan status bencana nasional. Desakan ini terus berlanjut karena kondisi di lapangan hingga saat ini belum menunjukkan perbaikan yang berarti.

SPI memandang bahwa Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah konkret dan nyata untuk mengurangi beban para korban bencana di Sumatra. Pemerintah juga harus mengusut pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang telah memicu bencana dengan dampak yang sangat besar ini.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU