
Penurunan tarif barang masuk dari Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 19% mengakibatkan ketergantungan pangan Indonesia semakin parah. Pasalnya, Indonesia “dipaksa” untuk membeli produk pertanian Amerika Serikat senilai US$4 miliar atau sekitar Rp79,6 triliun karena tarif bea masuk barang impor dari Amerika Serikat akan dibebaskan dari tarif alias 0%. Menurut catatan Departemen Pertanian Amerika Serikat, USDA, pada tahun 2024 ekspor produk pertanian Amerika Serikat ke Indonesia atau impor produk pertanian Indonesia dari Amerika Serikat mencapai US$2,9 miliar, turun 4% dibandingkan tahun 2023. Dengan kesepakatan baru, impor produk pertanian akan melonjak 55%.
Amerika Serikat merupakan pemasok pertanian terbesar keempat di Indonesia, menyumbang 10% dari total pasar impor pertanian Indonesia, setelah Brasil, China, dan Australia. Komoditas ekspor pertanian utama dari Amerika Serikat ke Indonesia adalah kedelai, gandum, daging sapi, produk susu, dan kapas. Khusus kedelai, 90% konsumsi nasional di Indonesia dipenuhi oleh impor dari Amerika Serikat.
Perlu diketahui bahwasanya sebelum ditetapkan pembebeasan tarif 0%, Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.7/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Impor Tepung Gandum, tarif impor gandum adalah 5%. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan N0.135/PMK.011/2012 tentang Tarif Impor Kacang Kedelai adalah sebesar 5%.
Dengan demikian, dikhawatirkan dengan pajak 0% ini neraca perdagangan Indonesia justru akan mengalami defisit, terkhusus di bidang pangan dan pertanian. Kondisi ini akan menjauhkan harapan Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada pangan sebagaimana tercantum dalam Asta Cita-nya. Apalagi kedaulatan pangan sudah pasti hilang.
Kesepakatan dagang yang tidak simetris antara Indonesia dan Amerika Serikat ini berpotensi melanggar UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas/Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan). Tidak sampai di situ, hal ini juga melanggar hak asasi petani jika mengacu pada sejumlah regulasi nasional seperti Undang-Undang Pangan Nomor 16 Tahun 2012 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013.
Kebijakan Presiden Prabowo ini merupakan bagian dari penerapan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi kemudahan impor. Selain hiruk pikuk tarif resiprokal Trump, dinamika perdagangan luar negeri Indonesia juga diwarnai dengan kesepakatan Indonesia-European Union Comprehesive Economic Partnertship Agreement (IEU-CEPA). Dalam konteks perdagangan produk pertanian, impor Indonesia dari Uni Eropa tergolong rendah akan tetapi aspek yang akan sangat merugikan berasal dari hak kekayaan intelektual.
Pasalnya dalam kesepakatan tersebut Indonesia “diminta” oleh Uni Eropa untuk ikut bergabung menjadi anggota UPOV (International Union for the Protection of New Varieties of Plants) 1991. Hal ini diperlukan untuk membuka alur investasi di sektor pertanian, khususnya hak paten yang akan dilegitimasi. Dampak paling serius adalah pembatasan terhadap hak dan kreativitas petani dalam membudidayakan, menukar, serta mengembangkan benih lokal, termasuk pengetahuan tradisional yang melekat padanya.