Serikat Petani Indonesia (SPI) mengadakan diskusi publik daring pada 29 April 2025 dalam rangka memperingati 70 tahun Konferensi Asia Afrika. Diskusi ini mengusung tema “Membangkitkan Kembali Semangat Asia Afrika dalam Menegakkan Kedaulatan Pangan sebagai Upaya Penghormatan Hak Asasi Manusia serta Penghormatan Kedaulatan Semua Bangsa”.
Diskusi ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, yaitu Zainal Arifin Fuad dari Serikat Petani Indonesia (SPI) sekaligus ICC La Via Campesina, Cidi Otieno dari Kenyan Peasants League, Rachmi Hertanti dari Transnational Institute, dan Shalmali Guttal dari Focus on the Global South.
Diskusi ini bertujuan untuk merefleksikan kembali semangat solidaritas global yang pernah dibangun dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, sekaligus menegaskan pentingnya kedaulatan pangan sebagai fondasi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan bangsa-bangsa.
Kegiatan diawali dengan kata sambutan dari Henry Saragih selaku Ketua Umum SPI. Dalam sambutannya, Henry saragih mengungkapkan bahwa apa yang tertuang dalam KAA 70 tahun lalu masih relevan hingga saat ini. “Dasasila bandung masih brelevan untuk membangun tata dunia sekarang ini. Dengan prinsip solidaritas yg saling membantu, bukan prinsip saling menindas,” ungkapnya.
Menurutnya, bentuk kolonialisme dan liberalisme masih terjadi hingga sekarang, sehingga acara ini sangat penting jika merujuk kembali pada spirit Bandung.
“Acara kita menjadi sangat penting jika kita merujuk kembali pada semangat bandung, spirit bandung, dasasila bandung. Dimana apa yg mempersatukan kita saat itu adalah semangat melawan kolonialisme dan liberalisme yang masih terjadi hingga sekarang,” tambahnya.
Dalam paparannya, Zainal Arifin Fuad menyoroti bahwa krisis pangan yang saat ini melanda banyak negara di Asia dan Afrika dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti krisis ekonomi, instabilitas politik, bencana alam, hingga konflik bersenjata.
Secara khusus, ia menyoroti kondisi di Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Zainal mengkritik adanya paradoks dalam kebijakan pangan nasional, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan target swasembada pangan. Di satu sisi diklaim memperkuat kedaulatan, namun di sisi lain pemerintah justru melonggarkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan membuka keran impor, sebagai respons terhadap dinamika global dan tekanan sanksi tarif dari Amerika Serikat.
Menurutnya, KAA hingga kini masih memiliki “utang sejarah” untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Zainal menegaskan pentingnya memperkuat kembali kerja sama antarnegara Asia Afrika di tengah ketidakpastian pangan global, termasuk dinamika baru sistem pangan dunia dan keruntuhan perdagangan bebas yang diwarnai kembalinya proteksionisme.
“Tapi boleh jadi proteksionis ini menjadi modus penerapan spekulasi dagang untuk mendapat harga pasar internasional yang tinggi,” tambah Zainal.
Cidi Otieno dari Kenyan Peasants League memaparkan situasi petani di Afrika yang kian terjerat dalam ketergantungan terhadap sistem pangan global. Ia menjelaskan bahwa ketergantungan tersebut bermula dari benih yang diproduksi dan dijual oleh korporasi besar, serta dorongan untuk menanam tanaman ekspor demi memenuhi orientasi perdagangan internasional.
Intervensi dari lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, WTO, hingga Tiongkok turut memperkuat arah kebijakan pertanian ekspor. Untuk itu, Cidi menekankan perlunya membangun sistem pangan yang berakar pada kebutuhan lokal dan dikelola secara berkelanjutan, serta menghidupkan kembali praktik-praktik pertanian berbasis kearifan lokal.
Sementara itu narasumber dari Transnational Institute, Rachmi, berbicara lebih dalam terkait perdagangan global. Rachmi menyayangkan respon dari berbagai negara terhadap tarif Trump.
“Kalau kita lihat pasca trump memberikan tarif yg cukup tinggi. Respon yg diberikan cukup pragmatis. Dengan memberikan respon yg proteksionis yg mementingkan negaranya masing-masing dan masuk ke jebakan globalisasi lagi,” ungkap Rachmi.
Shalmali Guttal dari Focus on the Global South menyoroti keterkaitan erat antara KAA 1955 dan UNDROP. Ia menjelaskan bahwa semangat anti-kolonialisme dan kerja sama antarnegara Global Selatan yang menjadi landasan KAA juga menginspirasi lahirnya UNDROP.
Shalmali juga menekankan bahwa prinsip Dasasila Bandung masih relevan untuk menghadapi tantangan global saat ini, namun pelaksanaannya seringkali terhambat oleh struktur kekuasaan baru. UNDROP, bersama dengan instrumen HAM lainnya, dinilainya dapat menjadi alat penting dalam membangun kembali kerja sama multilateral dan mengubah paradigma kebijakan agar lebih adil dan inklusif bagi petani.
Menutup sesi diskusi, Henry Saragih menekankan bahwa isi Dasasila Bandung bukan hanya untuk warga Asia-Afrika tetapi juga warga dunia. “Momentum 70 tahun KAA. Menjadi momen melanjutkan prjuangan, bukan hanya keadilan warga Asia-Afrika tapi untuk seluruh masyarakat dunia. Karena dasila bandung isinya tidak hanya untuk warga Asia-Afrika tapi juga warga dunia,” pungkasnya.