
Serikat Petani Indonesia (SPI) memperingati Hari Pangan Sedunia dengan menegaskan kembali komitmen perjuangan untuk kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan dipahami bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal kendali rakyat atas tanah, benih, dan kebijakan pangan di negaranya sendiri. SPI menyelenggarakan webinar bertema “Berbagi Pengalaman Perjuangan untuk Kedaulatan Pangan di Tingkat Internasional” pada Kamis (23/10/2025).
Kegiatan ini menghadirkan perwakilan organisasi tani dari Asia, Eropa, dan Afrika untuk berbagi pengalaman dalam memperjuangkan kedaulatan pangan di wilayah masing-masing. Hadir sebagai pembicara Margareth Eberu dari ESAFF Uganda, Leonardo Van Den Berg dari ECVC Eropa, Abdulvohid Safarov dari Anahita Tajikistan, dan Hendarman dari SPI.
Webinar dibuka langsung oleh Ketua Umum SPI, Henry Saragih, yang menekankan pentingnya hari pangan sedunia ini sebagai hari perjuangan. “Bagi La Via Campesina, Hari Pangan Sedunia ini diartikan sebagai hari perjuangan kita untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan melawan kekuatan korporasi – korporasi yang semakin menguat di dunia ini, yang membuat kelaparan, kemiskinan, dan memperparah kerusakan alam,” ujarnya.
Diskusi dimoderatori oleh Zainal Arifin Fuat, Wakil Ketua Umum Bidang Internasional SPI sekaligus Koordinator Internasional La Via Campesina untuk Regional Asia Tenggara dan Asia Timur. “Hari ini kita belajar dan berbagi pengalaman terkait perjuangan kedaulatan pangan. Ini juga mengingatkan kita tentang hak atas pangan dan kedaulatan pangan yang tertuang dalam pasal 15 UNDROP dan juga hak atas pangan di PBB,” ujarnya membuka sesi.

Pada kesempatan ini, Margareth memaparkan beberapa upaya yang dilakukan di organisasinya untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dari sisi komunikasi dan kampanye, dimana mereka memberikan pelatihan jurnalis untuk mempromosikan agroekologi dan kedaulatan pangan. “Kami melatih jurnalis dan komunikator untuk memahami dan memberitakan terkait agroekologi dan kedaulatan pangan. Hingga saat ini sudah lebih dari 100 jurnalis yang kami latih sejak tahun 2022,” ujarnya.

Leonardo mengatakan bahwa situasi yang terjadi di Belanda sebenarnya cukup tidak menguntungkan. Ia menjelaskan bahwa akses terhadap tanah adalah tantangan yang dihadapi petani di Eropa. “Karena tanah sudah dijadikan komoditas dan bagian dari pasar bebas serta menjadi objek spekulasi. Hal ini menyebabkan kenaikan yang besar pada harga tanah, di Belanda rata-rata harganya adalah 80 ribu euro untuk satu hektare. Bagi banyak petani ini terlalu mahal, sangat sulit untuk dibeli,” ujarnya.

Dari Asia Tengah, Safarov menjelaskan terkait pertanian di Tajikistan, dimana salah satu tantangannya adalah pengelolaan air. “Air merupakan tantangan kami di sini, yang mana ini membuat tanah menjadi tidak sehat. Infrastruktur era soviet yang sudah berumur, kehilangan air sebesar 40 – 50% di kanal kami, dan juga salinitas tanah terjadi akibat drainase yang buruk,” terangnya.

Mewakili SPI, Hendarman mengemukakan tentang situasi pangan Indonesia saat ini, yaitu penguasaan tanah yang timpang; konversi lahan pertanian dan ancaman produksi pangan; besarnya populasi petani gurem dan krisis regenerasi petani; ketergantungan pangan; kemiskinan di pedesaan; hingga tingginya konflik agraria. SPI terus melakukan perjuangan untuk kedaulatan pangan, salah satu perjuangan utamanya adalah melalui pengembangan Kawasan Daulat Pangan.
“SPI mendorong lahirnya Kawasan Daulat Pangan, yaitu sebuah kawasan yang penduduknya meneapkan konsep kedaulatan pangan melalui pemanfaatan semua sumber daya alam kawasan secara agroekologi dan terintegrasi. Kawasan Daulat Pangan ini tersebar di seluruh Indonesia dan sudah diakui oleh pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.
Webinar ditutup dengan apresiasi dan harapan agar semangat perjuangan terus hidup di antara gerakan petani di seluruh dunia. “Semoga pengetahuan yang kita sebarkan hari ini menjadi penyemangat perjuangan kita untuk mewujudkan kedaulatan pangan di dunia. Sebagai bagian dari La Via Campesina, perjuangan ini harus terus maju, karena selama tiga puluh tahun terakhir kita telah berhasil mendorong konsep kedaulatan pangan sebagai alternatif terhadap sistem pangan yang tidak adil,” pungkas Henry.
Sebagai penutup, Zainal Arifin Fuat selaku moderator menyampaikan bahwa pertukaran pengetahuan antarorganisasi tani akan terus berlanjut. Ia menginformasikan rencana penyelenggaraan webinar pada November mendatang yang akan membahas perubahan iklim dan hukum perbenihan internasional, sebagai bagian dari upaya memperkuat solidaritas dan kapasitas gerakan petani di tingkat global.