
Air sudah mulai surut di sebagian wilayah Aceh. Namun bagi petani, dampak banjir belum usai. Sawah yang terendam berhari-hari, ternak yang mati, rumah yang roboh, dan sumber penghidupan yang terhenti masih menjadi kenyataan sehari-hari. Inilah yang ditemui Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam rangkaian kunjungan lapangan ke sejumlah wilayah terdampak banjir di Aceh pada 24–25 Desember 2025.
Di Desa Mee Hagu, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, hamparan sawah yang biasanya hijau kini menyisakan genangan dan lumpur. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, berdiri di tepi lahan pertanian warga yang rusak, menyapa dan mendengar langsung cerita para petani setempat. Kunjungan ini bukan sekadar peninjauan, tetapi juga bentuk solidaritas kepada petani yang terdampak paling berat oleh bencana.

Abdali, seorang petani di desa tersebut, masih mengingat jelas bagaimana air menggenangi lahannya selama lebih 20 hari. Curah hujan yang tinggi membuat sawahnya tidak bisa diselamatkan. “Sekarang airnya memang sudah agak berkurang, karena kami sudah lakukan pembersihan. Tapi lahannya belum pulih,” katanya. Ia memperkirakan butuh waktu dua hingga tiga bulan agar lahan kembali bisa ditanami.

Abdali juga menuturkan bahwa tanaman bawang yang ia tanam sejak bulan Maret lalu gagal panen akibat banjir besar. Padahal, bawang merupakan komoditas utama petani di desa tersebut dan seharusnya masa panennya adalah pada bulan November. Kondisi ini membuat petani mengalami pukulan berat. Bagi Abdali dan petani lain di Mee Hagu, kegagalan panen bukan hanya kehilangan pendapatan, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan hidup mereka.
Situasi serupa terlihat di Kabupaten Pidie Jaya, tepatnya di sekitar Posko Bencana dan Dapur Umum di Lhok Kreut. Tak jauh dari posko, lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup warga tampak rusak parah. Padi mati hampir seluruhnya. Gagal panen terjadi secara massal. Kondisi ini diperparah ketika pada 25 Desember air kembali meluap dan menggenangi area pertanian yang sebelumnya mulai mengering. Luapan air susulan ini menyebabkan lahan yang sudah dibersihkan kembali tergenang, memperparah kerusakan tanaman dan memperpanjang proses pemulihan.


Dalam kondisi terdesak, petani menyisir sisa-sisa padi yang masih bisa diselamatkan. Jika ditemukan, padi itu dikumpulkan dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum diolah. Cara bertahan ini dilakukan agar mereka tetap memiliki stok pangan. Sebagian besar warga di wilayah ini merupakan buruh tani yang sepenuhnya bergantung pada sektor pertanian.

“Tersumbatnya parit dan drainase bikin air nggak jalan. Waktu banjir, air malah masuk semua ke sawah,” kata Boy Haki, salah satu petani setempat. Ia menyebut, tanpa bantuan pemulihan, lahan bisa membutuhkan waktu satu hingga dua tahun untuk kembali produktif. “Biasanya kami bisa panen satu sampai dua ton. Sekarang, dapat satu goni saja sudah susah.”
Harapan para petani sederhana: pemulihan lahan dan perbaikan sistem irigasi agar mereka bisa kembali bertani. Hingga kini, lahan dinilai belum layak untuk diolah.
Di Kabupaten Bireuen, dampak banjir terlihat dalam skala yang lebih luas. Dalam pertemuan SPI Cabang Bireuen di Masjid Agung Sultan Jeumpa, terungkap bahwa 17 kecamatan terdampak banjir, dengan tujuh kecamatan mengalami kerusakan sangat parah karena berdekatan dengan daerah aliran sungai. Sekitar 60 rumah dilaporkan hilang, sementara ribuan hektare lahan pertanian rusak.

Sekitar 1.000 hektare lahan pertanian di Kecamatan Jangka, Peusangan Siblah Krueng, dan Kutablang tertimbun tanah. “Kondisinya sangat parah,” ujar Khairul Umam, anggota SPI Bireuen. Ia juga menyoroti banyaknya gelondongan kayu yang terbawa arus banjir. Kayu-kayu itu menghantam rumah warga dan memperparah kerusakan. Lumpur setinggi satu hingga dua meter menimbun rumah, membuat proses pembersihan memakan waktu yang lama.


Kunjungan berlanjut ke Dusun Tengku Gelima, Kampung Beluka Debai, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Sebanyak 25 rumah dilaporkan rusak, baik ringan maupun berat. Ibu Manawiyah, warga yang telah tinggal di dusun itu selama lebih dari 20 tahun, menyebut banjir kali ini jauh lebih parah dibandingkan Tsunami Aceh 2004. “Waktu tsunami dulu, dusun kami nggak separah ini,” katanya. Rumahnya roboh, begitu pula rumah anaknya yang berada di lokasi yang sama. Hingga kini, mereka masih mengungsi karena kehilangan tempat tinggal.


Di Lhokseumawe, Zulkifli, warga setempat, menceritakan banjir setinggi dua meter yang menggenangi wilayahnya. Meski rumah tidak rusak berat, lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama warga terdampak serius. “Kami ini hidup dari sawah,” ujarnya. “Kalau sawah rusak, kami kehilangan segalanya.”
Rangkaian kunjungan SPI juga menyentuh Basis SPI Baktya Barat. Di lokasi yang sebelumnya digunakan sebagai rumah pelatihan komputer dan kemudian menjadi basis peternakan SPI, seluruh ternak mati akibat banjir. Sekitar 120 ekor kambing dan 100 ekor ayam hilang. Dua kandang hanyut, fasilitas rusak, dan kerugian ditaksir mencapai Rp250–300 juta.




“Sejak banjir, aktivitas pertanian dan perkebunan berhenti total,” kata Zawir Arhamdi, Ketua Basis SPI Baktya Barat. Untuk bertahan hidup, warga terpaksa mencari pekerjaan lain, seperti membantu membersihkan rumah-rumah yang terdampak banjir.
Rangkaian kunjungan ini belum berakhir. SPI masih akan melanjutkan pemantauan dan pendampingan di wilayah-wilayah terdampak lainnya di Sumatra. Namun satu hal sudah jelas: bagi petani, bencana banjir bukan sekadar peristiwa alam, melainkan krisis penghidupan yang dampaknya masih ditanggung hingga hari ini.