SPI Bahas Agroekologi dalam Workshop Nasional di Bogor

BOGOR. Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan workshop bertajuk “Membangun Agroekologi dan Kawasan Daulat Pangan Berbasis Masyarakat Adat” di Pusdiklat Nasional SPI di Bogor, Kamis (30/10/2025). Workshop ini menjadi ruang penting untuk memperjelas batas, posisi politik, dan arah pendidikan agroekologi rakyat untuk menghasilkan rekomendasi terkait agroekologi, koperasi petani, dan kedaulatan pangan bagi pemerintah pusat.

Henry Saragih, selaku Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), membuka workshop secara daring melalui Zoom. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa agroekologi merupakan sistem pertanian yang dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan. “Agroekologi adalah jawaban alternatif dan bentuk koreksi terhadap model pertanian yang telah mengubah sistem pertanian kita sejak masa kolonial, revolusi hijau, hingga era pasar bebas dan teknologi tinggi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Henry menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran penting dalam konteks agroekologi, karena mereka memiliki tradisi dan praktik yang berakar pada prinsip menjaga alam agar tetap berproduksi. “Ketika kita berbicara tentang masyarakat adat, bukan hanya soal seni atau praktiknya, tetapi juga tentang kehidupan sosial yang menyertainya,” ungkapnya.

Workshop dimoderatori langsung oleh Qomarun Najmi dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI. Menghadirkan pemateri dari berbagai latar belakang, Takdir dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian RI; Toni selaku Tenaga Ahli Pengembangan Ekosistem Bisnis Koperasi Kementerian Koperasi RI; Zainal Arifin Fuat selaku Wakil Ketua Umum Bidang Luar Negeri SPI dan ICC La Via Campesina untuk Regional Asia Tenggara dan Asia Timur; Kusnan selaku Kepala Badan Perbenihan Nasional dan Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI; dan Mujahid Widian dari Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani.

Berbicara tentang swasembada pangan yang merupakan bagian dari Astacita Presiden Prabowo, Takdir mengungkapkan bahwa dalam mencapai swasembada pangan tersebut mengalami tantangan, salah satunya adalah terkait ekologi. “Tanah kita mengalami penurunan kesuburan, 60 persen lahan di Jawa rasio organiknya (humus) di bawah 2%. Ini adalah masalah yang kita hadapi, dan agroekologi sebagaimana yang diperjuangkan SPI ituhadir sebagai solusi untuk permasalahan ini,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, Toni mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama kemiskinan yang terjadi saat ini adalah karena panjangnya rantai pasok, petani sebagai produsen menerima harga yang rendah, sementara konsumen tetap harus membeli dengan harga yang tinggi. “Dalam hal inilah koperasi hadir menjadi alat bisnis yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.

Pada skala Internasional, Zainal menjelaskan bahwa perjuangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan telah dimulai oleh La Via Campesina sejak 1996 dan terus berlanjut hingga saat ini. Ia menambahkan, pada tahun 2026 mendatang akan diselenggarakan International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Kolombia. “Semoga ada perwakilan dari Indonesia yang dapat hadir dan mendorong terwujudnya kedaulatan pangan dimulai dengan pelaksanaan reforma agraria,” ujarnya.

Mewakili SPI, pada kesempatan ini Kusnan menyampaikan berbagai pencapaian SPI dalam perjuangan kedaulatan pangan di tingkat nasional. Kawasan Daulat Pangan (KDP) SPI sudah tersebar di 20 provinsi di Indonesia bahkan telah mendapatkan pengakuan dari pemerintahan sebelumnya. “Juga dalam hal agroekologi terus kita dorong, yang terbaru adalah pelatihan agroekologi dan deklarasi KDP Nagari Ampalu, Sumatera Barat, pada September lalu,” ujarnya. Dalam membangun ekonomi solidaritas, ia mencontohkan kerja sama antara Koperasi Petani Indonesia (KPI) SPI Indramayu dan Koperasi Induk Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) sebagai wujud nyata kolaborasi antar-koperasi untuk memperkuat kedaulatan pangan rakyat.

Dari sudut pandang akademisi, Mujahid menyoroti bahwa masih ada kontradiksi dalam langkah pemerintah terkait kedaulatan pangan. Ia mengungkapkan, meskipun pemerintah mendukung kebijakan yang sejalan dengan perjuangan petani, di sisi lain justru membuat aturan yang melemahkan hal tersebut. “Contohnya keberadaan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang justru melemahkan upaya mencapai kedaulatan pangan itu sendiri,” pungkasnya.

Workshop ini menjadi ruang refleksi bagi SPI dan para pemangku kepentingan untuk memperkuat gerakan agroekologi di Indonesia. Kegiatan ini juga mendorong kolaborasi antara petani dan petani masyarakat adat bersama pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Melalui diskusi dan pertukaran gagasan, SPI menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan pertanian agroekologi.

ARTIKEL TERKAIT
Menganyam Ekonomi Solidaritas, Koperasi Petani dan Rakyat Mi...
Rampungkan Pendidikan Agroekologi Keempat, Kader SPI Siap Pe...
Diskusi Terpimpin SPI: "Stop Impor Beras, Pemerintah Gagal W...
UNDROP sebagai Pedoman dalam Revisi UU Pangan
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU