SPI Gelar Webinar Internasional Dorong Agroekologi sebagai Solusi Krisis Iklim dan Biodiversitas

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC – COP 30) yang dijadwalkan berlangsung di Belém, Brasil (10-21 November 2025) menjadi momentum penting bagi komunitas global untuk memperkuat upaya mengatasi perubahan iklim. Melalui momentum ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) mangadakan webinar bertajuk “Benih Petani, Agroekologi, dan Kedaulatan Pangan untuk Mengatasi Krisis Iklim dan Krisis Keanekaragaman Hayati” pada Jumat (14/11/2025).

Kegiatan ini menghadirkan perwakilan organisasi petani dan nelayan dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan memperkuat perjuangan untuk keadilan iklim. Hadir menajdi pembicara Paiton Soisod dari Assembly of the Poor Thailand; Elvira Baladad dari Paragos Filipina; Constance Adziambei Marubini dari Landless People’s Movements South Africa, LVC SEAF; Torkia Chaibi dari Million Rural Women and the Landless Tunisia; Abdelraouf Omer Ahmed dari Coalition of Al Jazeera and Al Manaqil Farmers Sudan; Arif dari Serkat Nelayan Indonesia; dan Sarwadi dari Serikat Petani Indonesia.

Zainal Arifin Fuat, ICC La Via Campesina Asia Tenggara dan Asia Timur sekaligus Wakil Ketua Umum SPI

Webinar dibuka oleh Wakil Ketua Umum SPI, Zainal Arifin Fuat, yang melakukan pelaporan langsung dari Belém, Brasil. Ia menjelaskan bahwa SPI mengadakan sesi webinar ini bertepatan dengan berlangsungnya People’s Summit, sebuah pertemuan besar yang dihadiri ribuan peserta dari organisasi petani, nelayan, gerakan perempuan, lingkungan, hingga masyarakat adat. “Kita berkumpul di Belém sebagai bentuk bagaimana masyarakat sipil bersatu melawan kapitalisme hijau dengan berbagai bentuknya seperti RDD, konservasi, dan juga bagaimana kaum kapitalisme mengatasi iklim dengan pertanian cerdas iklim bahkan dengan benih transgenik yang mana ini mengakibatkan krisis biodiversitas,” ujarnya. Zainal juga menegaskan bahwa di saat yang sama negara-negara industri tampak semakin enggan menurunkan emisinya demi mempertahankan profit.

“Khusus untuk La Via Campesina, kita membawa isu agroekologi dan kedaulatan pangan, serta bagaimana agroekologi menjadi solusi nyata atas krisis iklim dan krisis biodiversitas yang kita hadapi hingga sekarang ini,” tambahnya.

Paiton Soisod dari Assembly of the Poor Thailand

Pada kesempatan ini, Paiton Soisod mengemukakan tentang bercana alam yang melanda negaranya, seperti gempa bumi, badai, hingga banjir bandang yang terjadi pada musim kemarau. Hal ini berdampak pada sektor pertanian. “Banyak sekali hama yang muncul dan ini lebih buruk dari tahun sebelumnya. Karena adanya perubahan iklim yang buruk ini, pertanian sangat terdampak, bahkan sekarang ini tidak ada bunga yang muncul dari tanaman kami,” ujarnya.

Elvira Baladad dari Paragos Filipina

Bencana alam juga turut dirasakan di Filipina. Elvira memaparkan selain topan yang terjadi, banjir dan longsor juga melanda negaranya yang menyebabkan petani kian menderita. Pasalnya, irigasi menjadi rusak karena bencana yang terjadi ini. “Sistem irigasi kami hancur, bulan oktober – November yang seharusnya jadi masa panen, malah tidak bisa panen. Perumahan masyarakat juga terkena banjir. Banjir ada dimana-mana. Ini akibat dari orang-orang yang datang ke gunung dan memotong seluruh pohon dan menjualnya,” tegasn Elvira.

Constance Adziambei Marubini dari Landless People’s Movements South Africa, LVC SEAF

Dari tanah Afrika, Constance berbagi pengalamannya tentang perjuangan keadilan iklim dan kedaulatan pangan. “Kita sudah mengalami realitas yang keras akibat pemanasan global. Terdapat banjir dan ancaman pada pangan. Perubahan iklim bukanlah ancaman yang jauh, bagi kami inilah realitas kehidupan yang harus dihadapi oleh jutaan orang Afrika. Kita harus melawan krisis iklim dan meningkatkan kualitas hidup kita,” tegasnya.

Torkia Chaibi dari Million Rural Women and the Landless Tunisia

Pengalaman pahit turut dibagikan oleh Torkia Chaibi. Salah satu kota di negaranya, Kota Gabas, tengah mengalami situasi yang buruk akibat Perusahaan kimia asal Eropa yang beroperasi di sana. “Perusahaan ini menghasilkan polusi berat dan limbah kimia berbahaya. Emisi bercum dari pabrik tersebut telah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, terutama para siswa dan sekolah-sekolah yang berada di sekitar kawasan tersebut. Dampaknya tidak hanya penyakit pernapasan, tetapi juga kanker dan berbagai gangguan kesehatan lainnya,” ujarnya.

Ekstraksi pasir secara besar-besaran telah menghancurkan lahan dan merusak wilayah pesisir Tunisia, membuat para nelayan kehilangan tempat tinggal karena rumah mereka rusak akibat abrasi dan eksploitasi. Tidak sampai di situ, Torkia juga menyampaikan terjadinya kecenderungan penggunaan air laut untuk proyek-proyek pemerintah dan industri besar, yang semakin membebani masyarakat Tunisia. “Situasi berbahaya ini terjadi di seluruh sektor, mulai dari industri, pertanian, bahkan ekosistem pesisir. Ini merupakan bagian dari dominasi kapitalisme dan diperparah oleh berbagai konflik di wilayah sekitar,” pungkasnya.

Abdelraouf Omer Ahmed dari Coalition of Al Jazeera and Al Manaqil Farmers Sudan

Sementara itu, Abdelraouf mengungkapkan bahwa Sudan kini mengalami kemarau panjang akibat menurunnya curah hujan. “Banjir bandang di bagian utara menghancurkan 45 hektare lahan, membunuh jutaan ternak, serta merusak ratusan rumah. Di saat yang sama, perang sipil menargetkan bantuan kemanusiaan dan menewaskan banyak warga. Sebanyak 28 juta orang kini kelaparan, sebagian terpaksa mengungsi ke negara lain. Sektor kesehatan juga memburuk dengan meningkatnya demam berdarah dan malaria. Peperangan ini menjadi contoh bagaimana kapitalisme yang kejam membuat rakyat menderita; para agen kapitalisme berupaya menghilangkan perlawanan rakyat,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa solidaritas global harus dibangun untuk melawan ketidakadilan iklim serta mendorong kedaulatan pangan.

Arif dari Serkat Nelayan Indonesia

Dari sisi nelayan, Arif menegaskan bahwa perubahan iklim dan kebijakan pemerintah di Indonesia telah keliru sehingga memperburuk kondisi nelayan kecil, mulai dari penyempitan ruang tangkap hingga meningatknya biaya operasional dan risiko keselamatan ketika melaut. Proyek-proyek yang digarap di Indonesia juga kerap kali merugikan para nelayan.

“Contohnya baru-baru ini di Jawa Timur, sejumlah nelayan dikriminalisasi karena menolak proyek seismik geothermal, tujuh nelayan ditangkap karena memperjuangkan ruang hidup mereka. Di wilayah pantai utara Jawa, kerusakan ekosistem semakin memperparah kondisi, memaksa nelayan melaut hingga jauh, bahkan sampai ke Pontianak. Namun ketika mereka mencari nafkah di luar wilayah, mereka justru ditangkap petugas karena dianggap tidak berizin,” imbuhnya.

Sarwadi dari Serikat Petani Indonesia.

Sarwadi, mewakili SPI, menjelaskan bahwa perubahan iklim semakin memperburuk kondisi petani akibat musim yang tak lagi teratur serta kerusakan ekosistem yang dipicu oleh deforestasi besar-besaran sejak era Orde Baru. Ia menyoroti ekspansi perkebunan sawit, tambang gas dan batu bara, serta penggunaan input kimia sebagai faktor yang memperparah kerusakan alam, sementara pemerintah justru menawarkan solusi palsu seperti reforestasi yang kembali menguntungkan perusahaan.

“Karenanya, perjuangan SPI, baik di Jambi maupun di daerah lain, adalah memperjuangkan dan menegakkan hak asasi petani. Di COP30 ini banyak hal dibahas di tingkat internasional, dan kami berpesan agar reforma agraria terus disuarakan dan dijalankan demi mewujudkan kedaulatan pangan, sekaligus memastikan terwujudnya keadilan iklim,” pungkasnya.

Menutup webinar, Zainal menyoroti bahwa apa yang dibicarakan di COP dari tahun ke tahun tidak banyak berubah, karena solusi yang ditawarkan cenderung palsu dan justru membuka peluang profit bagi korporasi melalui skema pendanaan iklim. Zainal menegaskan bahwa La Via Campesina mendorong agroekologi sebagai salah satu adaptasi sekaligus dasar untuk memperjuangkan kebijakan publik yang selaras dengan kedaulatan pangan. Dan yang tidak kalah penting, UNDROP (Delarasi PBB untuk Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan) sebagai alat perjuangan rakyat untuk menghadapi krisis iklim.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU