Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui lima badan dan organisasi terkait – Food and Agriculture Organization (FAO), Internasional Fund for Agricultural Development (IFAD); United Nations Childrens’s Fund (UNICEF); World Food Programme (WFP); dan World Heatlh Organization (WHO) – kembali merilis laporan tahunan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) 2025. Laporan ini mencatat bahwa angka kelaparan global setara 673 juta jiwa.
Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai organisasi massa perjuangan petani memandang penting untuk menyoroti laporan SOFI 2025 ini. Capaian angka kelaparan dunia sebesar 673 juta jiwa ini belum mencerminkan keberhasilan yang berarti. Ketua Umum SPI – Henry Saragih menyatakan bahwa “sebenarnya target dari penurunan kelaparan tersebut jauh lebih besar dari dari yang sudah dicanangkan di tahun 1996, yakni 500 juta jiwa.”
Terdapat beberapa poin yang patut disoroti dalam laporan ini, seperti angka kelaparan dunia yang masih tinggi, akses pangan yang masih tidak merata, hingga inflasi harga pangan yang masih menjadi ancaman nyata. Karena itu tema besar laporan ini adalah Inflasi pangan yang tinggi terhadap ketahanan pangan dan gizi. Laporan ini mencatat bahwa inflasi harga pangan global mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2020 angka inflasinya adalah 2,3% kemudian angka ini naik menjadi 13,6% di tahun 2023.
Kenaikan inflasi di atas berdampak langsung pada meningkatnya jumlah orang yang mengalami ketidakamanan pangan. Terlebih Index Pangan global FAO terbaru yang diumumkan pada tanggal 8 Agustus 2025 juga menunjukkan bagaimana trend harga pangan meningkat sejak Juli 2024 hingga July 2025. Kenaikan tersebut disebabakan oleh naiknya indek pangan untuk minyak nabati, susu dan daging pada bulan Juni 2025.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum SPI Henry Saragih menilai bahwa krisis ini terjadi karena pangan telah diposisikan sebagai barang dagangan di pasar internasional. Akibatnya, harga pangan sangat mudah berfluktuasi, menciptakan ketimpangan ekonomi yang makin dalam, dan membuat semakin banyak orang kehilangan akses terhadap pangan yang layak. Sementara perwakilan UNICEF dalam acara peluncuran tersebut menyatakan bahwa krisis pangan tersebut karena kegagalan sistem pangan SOFI juga mencatat hampir 2,3 miliar orang di dunia tidak memiliki akses rutin terhadap pangan yang memadai pada tahun 2024. Angka tersebut yang sangat rentan terhadap kelaparan.
Disamping itu, tingginya inflasi itu juga dan diikuti oleh meningkatnya angka kelaparan dunia disebabkan oleh konflik sosial dan perang, seperti perang antara Ukraina dan Rusia, serta blokade bantuan pangan dan obat-obatan oleh Israel terhadap rakyat Gaza juga.
Bisa dibayangkan misalnya di Indonesia sudah bergantung pada makanan yang berasal dari terigu. Walaupun terigu banyak di pasar internasional dan diimpor ke Indonesia, tapi tidak semua orang bisa membeli makanan dari terigu. Bahkan yang lebih parah lagi adalah produk yang dimiliki Indonesia sendiri, yaitu minyak goreng kelapa sawit. “Jadi rakyat Indonesia sendiri tidak sanggup membeli minyak goreng, karena minyak goreng ini sudah mengikuti harga pasar internasional tapi pendapatan rakyat tidak mengikuti pertumbuhan ekonomi internasional,” papar Henry.
“Itulah yang terjadi, jadi bukan pangan yang tidak cukup. Jumlah pangan kita cukup, tapi masyarakat tidak memiliki akses dan kesempatan untuk mengambil makanan itu,” tambahnya.
Ketimpangan akses pangan masih menjadi persoalan serius. Meskipun secara umum terdapat penurunan angka kelaparan global, namun ketidakamanan pangan justru lebih parah dirasakan oleh kalangan perempuan dan masyarakat desa. Perempuan, khususnya di lingkungan pedesaan, sering kali berada dalam posisi paling rentan karena terbatasnya akses terhadap sumber agraria, teknologi pertanian, dan pendidikan. Mereka juga menanggung beban ganda sebagai penghasil pangan sekaligus penanggung jawab utama atas konsumsi rumah tangga. Dalam kondisi ini SOFI juga mencatat bahwa area dan perempuan perdesaan yang menderita kelaparan,
“Oleh karena itu SPI terus mendorong agar reforma agraria itu bisa dilaksanakan dan memastikan bahwasanya perempuan petani punya hak atas tanah tersebut, baik itu atas nama keluarga maupun atas nama pribadinya sebagai petani,” tegas Henry atas isu ini.
Tingginya angka kelaparan di dunia bukan disebabkan oleh kurangnya produksi pangan, melainkan karena ketimpangan dalam penguasaan sumber agraria dan akses terhadap pangan itu sendiri. Pangan semakin diperdagangkan sebagai komoditas di pasar global, sementara jutaan orang tidak memiliki kemampuan ekonomi maupun alat produksi untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Dalam kondisi ini, SPI menegaskan bahwa solusi mendasar dari krisis pangan global adalah pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan.
Henry menyampaikan bahwa SPI terus bekerja di tingkat nasional dan internasional, baik dengan cara advokasi maupun kampanye agar reforma agraria ini dilaksanakan. Contohnya pada tingkat internasional, SPI berhasil mendorong terselenggaranya ICARRD, sebuah konfrensi internasional tentang reforma agraria dan pembangunan pedesaan pada tahun 2006 silam. Namun masalahnya adalah hasil keputusan dari tahun 2006 itu belum dilaksanakan walaupun sejumlah negara termasuk Indonesia sudah berkomitmen untuk melakukan reforma agraria.
“Oleh karena itu kita berhadap ICARRD yang akan diselenggarakan pada tahun 2026 di Kolombia nanti benar-benar menjadi komitmen dari para pemimpin negara untuk melaksanakan reforma agraria, sehingga orang-orang yang tidak memiliki akses rutin terhadap pangan yang memadai ini bisa memiliki alat produksi berupa tanah, untuk memproduksi pangannya sendiri,” pungkas Henry.