
Memperingati tujuh tahun pengesahan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP), Serikat Petani Indonesia (SPI) Indramayu bersama Pemuda Peduli Lingkungan Eretan Wetan dan Serikat Nelayan Indonesia menggelar aksi refleksi pada Selasa, 23 Desember 2025. Aksi ini berlangsung di dua lokasi, yakni Kantor Bupati Indramayu dan Kantor DPRD Indramayu.
Aksi refleksi tersebut menjadi bentuk protes atas belum terwujudnya keadilan agraria di Indramayu. Di tengah statusnya sebagai lumbung pangan dan sentra perikanan Jawa Barat, petani dan nelayan justru masih menghadapi kemiskinan, konflik lahan, serta kerentanan lingkungan yang terus berulang.

UNDROP tidak berhenti pada peringatan seremonial kelahirannya semata, deklarasi ini menjadi rujukan penting yang menegaskan hak-hak dasar petani dan masyarakat pedesaan, sekaligus menuntut penerapan nyata dalam kebijakan dan praktik di lapangan. Dalam konteks Indramayu, Pasal 17 UNDROP menegaskan hak petani atas tanah, baik secara individu maupun kolektif. Prinsip ini sejalan dengan semangat Reforma Agraria untuk menghadirkan keadilan bagi petani penggarap SPI yang sudah ada, yang selama ini tersingkir oleh penguasaan lahan skala besar.
Urgensi keadilan agraria di Indramayu tercermin dari data Sensus Pertanian 2023. Jumlah petani gurem—petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar—mencapai 113.061 orang. Kondisi ini merupakan bagian dari ketimpangan agraria nasional, di mana sekitar 68 persen tanah dikuasai oleh 1 persen korporasi besar, sementara mayoritas rakyat harus bertahan dengan sisa lahan yang sangat terbatas. Dalam situasi ini, UNDROP menjadi alat penting bagi petani untuk memahami dan memperjuangkan haknya, terutama ketika konflik agraria kerap berujung pada kriminalisasi dan intimidasi.
UNDROP juga meletakkan dasar bagi kedaulatan pangan dengan menegaskan siapa itu petani. Pasal 1 UNDROP menyebut petani sebagai orang yang bekerja langsung dan memiliki keterikatan dengan tanahnya, tidak semata untuk keuntungan ekonomi, tetapi juga demi kelangsungan hidup dan budaya. Tanpa kepastian hak atas tanah bagi petani, kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon tanpa makna.
Indramayu menyajikan paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, Indramayu dikenal sebagai lumbung padi nasional, dengan produksi beras mencapai 808.100,81 ton atau menyumbang 16,22 persen produksi Jawa Barat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Tahun 2024. Indramayu juga menjadi sentra perikanan, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Barat, Indramayu berkontribusi 32,70 persen produksi perikanan Jawa Barat atau sekitar 523.265,16 ton. Namun di sisi lain, berdasarkan data BPS tahun 2025 tercatat lebih dari 196 ribu jiwa penduduk Indramayu justru masih hidup dalam kemiskinan.
Data tersebut menunjukkan bahwa kekayaan alam Indramayu tidak serta-merta menghadirkan kesejahteraan bagi petani dan nelayan. Produksi pangan terus meningkat, tetapi produsen pangan justru tertinggal dan terpinggirkan. Indramayu tampak berlimpah dalam statistik, namun petani dan nelayannya masih berjuang untuk hidup layak di sawah dan lautnya sendiri.
Ketua DPC SPI Indramayu, Toyyib, menyampaikan bahwa hingga beberapa hari pasca-aksi refleksi, belum ada respons resmi dari pemerintah daerah. Namun, ia menyebut terdapat sinyal awal dari DPRD dan pemerintah daerah terkait agenda reforma agraria.
“Sampai hari ini memang belum ada respons resmi pasca-aksi. Tapi DPRD Indramayu menyampaikan akan mengundang rapat dengar pendapat untuk membahas Perda Reforma Agraria. Dari pihak pemerintah daerah juga ada rencana mengundang SPI Indramayu untuk ikut rapat reforma agraria bersama Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DISKIMRUM),” ujar Toyyib.
Menurutnya, SPI Indramayu tidak merencanakan aksi lanjutan dalam waktu dekat, namun akan terus mendorong pemerintah daerah untuk membuka ruang dialog dan kerja bersama secara nyata. “Kami tidak merencanakan aksi lanjutan. Yang kami dorong sekarang adalah bagaimana pemerintah daerah benar-benar bersinergi dengan organisasi petani, khususnya melalui DISKIMRUM, agar reforma agraria tidak hanya berhenti di atas kertas,” tegasnya.
Toyyib juga menekankan pentingnya pelibatan organisasi petani dalam proses pengambilan kebijakan reforma agraria di Indramayu. Ia berharap SPI Indramayu tidak hanya diundang secara simbolis, tetapi dilibatkan secara struktural. Hal ini sejalan dengan Pasal 10 UNDROP yang menjamin hak petani untuk berpartisipasi dalam perumusan serta pelaksanaan kebijakan yang berdampak pada kehidupan petani.
“Harapan kami, SPI Indramayu dilibatkan dalam rapat-rapat reforma agraria dan dimasukkan secara resmi dalam Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Indramayu. Tanpa keterlibatan petani, reforma agraria tidak akan menyentuh persoalan di lapangan,” katanya.
Di sisi lain, SPI mengecam keras praktik adu domba horizontal yang melibatkan aktor-aktor lokal dengan dalih “pribumi desa” untuk merebut lahan petani penggarap SPI yang sudah ada. Praktik ini kerap terjadi dalam konflik berkepanjangan dengan korporasi, termasuk konflik dengan PG Rajawali II, yang pada masa lalu menimbulkan suasana mencekam dan korban jiwa. Hingga kini, penyelesaian konflik di lokasi prioritas reforma agraria masih berjalan lambat akibat hambatan administrasi dan birokrasi, termasuk belum optimalnya peran GTRA Indramayu.
Di wilayah pesisir, warga Eretan Kulon, Eretan Wetan, Kertawinangun, dan Ilir terus menghadapi banjir rob dengan ketinggian hingga satu meter. Kondisi ini menunjukkan lemahnya perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UNDROP, serta minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik yang menyangkut ruang hidup mereka.
Adapun tuntutan dari refleksi ini adalah sebagai berikut:
Kedaulatan pangan tidak akan pernah terwujud tanpa keadilan agraria. Selama petani dan nelayan masih tersingkir dari tanah, laut, dan sumber penghidupannya sendiri, maka perjuangan menegakkan UNDROP di Indramayu akan terus berlanjut.
Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
+62 899-3899-740 – Toyyib, Ketua DPC SPI Indramayu