JAKARTA. Seratusan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan aksi damai di Kementerian Pertanian (Kementan), di Jakarta Selatan, pagi ini (31/10). Angga Hermanda, Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI menyampaikan, aksi ini masih merupakan rangkaian peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang setiap tahunnya diperingati pada 16 Oktober.
“Tahun ini, peringatan HPS dibayang-bayangi oleh ancaman krisis pangan. Kekhawatiran krisis pangan bersumber dari catatan badan pangan dunia (FAO) terkait kenaikan harga pangan global. Pada Maret 2022 lalu, indeks pangan FAO (FFPI) mencatat kenaikan tertinggi sepanjang sejarah yakni di angka 159,7. Meskipun situasi berangsur-angsur menurun hingga bulan September. Namun secara umum indeks harga pangan Januari – Oktober tersebut, lebih tinggi dari indeks harga dua tahun sebelumnya (2020 dan 2021),” kata Angga di Jakarta pagi ini.
Ia melanjutkan, krisis pangan ini juga sejalan dengan laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) Tahun 2022 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang di tahun 2021.
“Angka tersebut meningkat 46 juta orang dibandingkan tahun 2020 (782 juta orang) dan meningkat 150 juta orang jika dibandingkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger“, katanya.
Angga menegaskan, dalam konteks Indonesia, ancaman krisis pangan ini semestinya bisa dilalui karena Indonesia salah satu negara agraris yang kuat.
“Namun faktanya hari ini Indonesia masih sangat ketergantungan pemenuhan pangan dari luar negeri (impor pangan) seperti komoditas beras, daging, biji gandung dan meslin, serealia maupun gula. Upaya pemerintah menjawab ancaman krisis pangan bisa diatasi apabila dilakukan dengan kebijakan yang tepat,” tegasnya.
Angga mengingatkan, poin penting yang harus dilakukan pemerintah adalah mempercepat pelaksanaan reforma agraria sebagai jawaban guremisasi petani atau peningkatan jumlah petani yang memiliki, menguasai dan dapat mengakses tanah pertanian dengan luasan di bawah 0,5 hektar.
“Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS 2018) menyebutkan terjadi peningkatan jumlah petani gurem di Indonesia dari 14 juta (2013) menjadi 15,8 juta (2018). Sementara, alih fungsi lahan pangan di daerah Jawa maupul luar Jawa meningkat menjadi 150 rb hektar pada tahun 2019 yang sebagian besar perumahan dan perkebunan, dan diperkirakan pada tahun 2045 lahan sawah kita tinggal sekitar 5,1 juta hektar, dari perkiraan lahan baku sawah saat ini sekitar 7,46 juta ha (Badan Litbang Kementerian Pertanian),” kata Angga dalam orasinya.
Angga menambahkan, perlu diketahui upaya pemerintah mendorong kebijakan food estate sebagai solusi krisis pangan bukan jalan keluar yang tepat.
“Food estate hanya akan menempatkan produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia, serta menjadikan petani menjadi buruh di negeri sendiri,” tambahnya.
Qomarun Najmi selaku Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI, menegaskan organisasi Pangan Dunia (FAO) telah menyatakan, petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian.
“Kesalahan yang sama ini juga akan terulang apabila pemerintah mendorong kembali mengembangkan dan menggunakan benih-benih rekayasa genetik atau genetic modified organism (GMO) di Indonesia. Dimana pengalaman para petani kecil, benih-benih GMO membuat ketergantungan bagi petani, merusak lingkungan, tidak sehat, serta mengancam keanekaragaman benih lokal yang ada di Indonesia” tegas Qomar yang juga turut hadir dalam aksi ini.
Ia memaparkan, berdasarkan pengalaman praktek di lapangan, pengalaman krisis pangan tahun 2008 dan cita-cita di masa depan, ancaman krisis pangan di dunia dan khususnya di Indonesia hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan kedaulatan pangan.
‘Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran di bidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional (UU Pangan 18/2012),” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Sukandar petani SPI asal Banten dalam orasinya menyampaikan beberapa tuntutan massa aksi kepada Kementan.
“Kami mendesak pemerintaha Indonesia melalui Kementan harus meninggalkan pendekatan ketahanan pangan dan menggunakan pendekatan kedaulatan pangan dalam mengurus pangan di Indonesia,” katanya.
“Kementan harus mendorong Presiden dan kementerian terkait untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria sebagai solusi krisis lahan pertanian atau guremisasi petani,” sambungnya.
“Kami juga meminta agar pemerintahan Indonesia melalui Kementan tidak lagi mempromosikan sistem pertanian konvensional dengan penggunaan benih-benih GMO, pupuk kimia, dan pestisida kimia dalam praktek pertanian, dan menggantikannya dengan sistem pertanian agroekologi karena mampu memperbaiki kerusakan alam, mensejahterakan petani, serta produksi pertanian lebih maksimal dan sehat,” sambungnya lagi.
“Pemerintah Indonesia melalui Kementan tidak lagi menggunakan dan mempromosikan food estate dalam mengatasi krisis pangan karena hanya membuat ketersediaan pangan tergantung kepada korporasi dan menempatkan petani kecil sebagai buruh. Kementerian pertanian harus mengganti food estate dengan Kawasan Daulat Pangan (KDP) sebagaimana selama ini dipraktekan oleh petani-petani SPI,” katanya.
“Tuntutan terakhir adalah kami mendesak Kementan segera merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani pada tanggal 20 Desember 2016, yang hanya mengakui Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja. Sedangkan organisasi petani yang berbentuk seperti serikat, paguyuban, aliansi, kesatuan, himpunan dan yang lainnya termasuk juga ke dalam kelembagaan petani dan memiliki hak yang sama. Peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tentang kebebasan berorganisasi (28E ayat 3), serta putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014 tentang revisi Permentan 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Poktan dan Gapoktan salah satunya memperbaiki pasal 70 ayat (1) tentang kelembagaan petani dengan menambahkan frasa “serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani,” tutup Sukandar yang juga Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Banten.
Sementara itu, aksi ini juga dihadiri oleh koalisi yang tergabung dalam Komite Rakyat Untuk Transformasi Pangan.
Se7, lanjutkan semangat