JAKARTA. Disahkannya Badan Pangan Nasional (BAPAN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 idealnya bisa mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Hal ini menjadi kesimpulan dalam webinar menyambut Hari Pangan Sedunia 2021 yang diselenggarakan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) secara daring, siang ini (30/10).
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, dengan adanya BAPAN ini, regulasi, kebijakan-kebijakan pangan ini bisa diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
“SPI mendukung ini, karena akan semakin memperjelas bagaimana mengatasi masalah pangan dan pertanian di negeri ini,” katanya.
Henry mengemukakan, sejak tahun 2000, SPI sudah berjuang agar kedaulatan pangan terwujud di Indonesia. Salah satu usulan SPI bersama ormas dan gerakan sosial lainnya adalah mengusulkan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Pangan No.7 tahun 1996.
“Akhirnya lahirlah UU Pangan No.18 Tahun 2012 yang salah satu isinya adalah memandatkan terbentuknya sebuah Badan Pangan Nasional, yang akhirnya disahkan Presiden Jokowi.” lanjutnya.
Dalam webinar yang sama, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc menyampaikan, BAPAN adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.
“Lahirnya BAPAN mendelegasikan beberapa kewenangan di beberapa kementerian ke badan tersebut. Kementerian-Kementerian tersebut seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, sampai Kementerian BUMN. BAPAN juga otomatis menjadi satu-satunya “bapaknya” BULOG, soalnya selama ini kan bapaknya BULOG itu banyak,” kata Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung ini.
Bustanul melanjutkan, BAPAN diharapkan mampu melakukan penguatan ekosistem pertanian-pangan dari hulu, tengah ke hilir, juga menghubungkan petani dengan pasar.
“BAPAN juga diharapkan mampu mereformasi sistem input pertanian, subsidi benih-pupuk, sarana-prasarana, pertanian presisi on-farm dan penanganan panen-pascapanen off-farm dan akses pangan. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan saya pikir bertahap ya, karena masa transisi badan ini saja kurang lebih setahun,” paparnya.
Sementara itu, Luluk Nur Hamidah, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang turut menjadi narasumber dalam acara ini menegaskan, jangan sampai hadirnya BAPAN ini satu nafas dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
“UU Pangan mengamanahkan agar tidak ada liberalisasi sektor hilir, agar tidak ada spekulasi pangan, melindungi petani dan nelayan kecil. Jangan sampai BAPAN mengakomodir praktek-praktek politik pangan yang tidak sehat seperti UU Cipta Kerja yang banyak mengubah undang-undang yang justru merugikan petani, nelayan,” paparnya.
“Oleh karena BAPAN ini harus dipimpin oleh orang yang berorientasi kedaulatan pangan, bukan beorientasi impor pangan,” lanjutnya.
Sudaryatmo, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan, perlu ada penegasan dalam produk perundangan yang menyatakan pangan sebagai “essential commodity” atau komoditas dasar yang membutuhkan intervensi negara.
“Sebagai essential commodity dibutuhkan intervensi negara pada tahap produksi, distribusi, pricing policy, sampai konsumsi,” katanya
“Artinya konsumen mengetahui ketika mereka membeli produk pertanian, harga yang mereka bayar didsitribusikan secara fair kepada petani, jangan harga mahal tapi yang menikmati yang menguasai mata rantai. Konsumen sekarang sudah lebih peduli tentang produk yang mereka konsumsi, dari daerah mana, petani mana, ini jadi preferensi mereka,” tegasnya.
Ia menggarisbawahi, konsumen sebenarnya tidak cenderung mengkonsumsi produk yang murah, melainkan produk yang memiliki “equal portion”,
Zainal Arifin Fuad, Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menambahkan, BAPAN jangan sampai diintervensi oleh korporasi-korporasi yang mendapat mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasca terselenggaranya KTT Pangan Global PBB di New York, Amerikat Serikat, September ini.
“Gerakan petani sedunia menolak KTT Pangan Global PBB yang mempromosikan korporasi-korporasi besar sebagai aktor utama produsen pangan. Seharusnya petani kecillah yang menjadi aktor utamanya. Terjadinya krisis pangan sudah jadi bukti gagalnya sistem pertanian berbasiskan korporasi. FAO atau Badan Pangan Dunia sendiri sudah mengakui peranan pertanian berbasiskan keluarga kecil yang mampu memberi makan dunia, bukan korporasi yang mencari rente dan berasaskan keuntungan,” tutup Ketua Departemen Luar Negeri, Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI di webinar ini.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zainal Arifin Fuad – Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) – 0812-8932-1398