JAKARTA. Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan (11/01/2021) menyinggung terkait tidak efektifnya subsidi pupuk terhadap produksi pangan di Indonesia. Ia menilai subsidi pupuk, yang mencapai triliunan rupiah dalam APBN, tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan subsidi yang dialokasikan.
Kementerian Pertanian sendiri untuk tahun 2021 telah menyebutkan kebutuhan pupuk bersubsidi (Urea, SP-36, ZA, NPK, dan organik) diperkirakan sebanyak 23,2 juta ton atau senilai Rp. 67,18 Triliun untuk 16,6 juta petani. Sementara itu, pagu indikatif subsidi pupuk tahun 2021 sebesar Rp. 25,26 Triliun untuk volume pupuk sebanyak 7,2 juta ton.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyebutkan permasalahan terkait pupuk bersubsidi di Indonesia merupakan masalah yang kompleks.
“Permasalahan ini muncul akibat banyaknya praktik penyimpangan yang terjadi di lapangan. Misalnya: mark up data Rencana Defenitif Kelompok/Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDK/RDKK), ketidaktepatan data ini juga pernah diakui Menteri Pertanian sebelumnya; Tidak tepat sasarannya alokasi pupuk bersubsidi, dari hasil temuan anggota kami di wilayah bahkan terdapat penyelewengan pupuk subsidi masuk ke tanaman perkebunan bukan tanaman pangan; kualitas pupuk subsidi yang tidak sesuai spesifikasi yang dituliskan; dan permasalahan data kartu tani yang tidak valid masih ada. Bahkan sampai saat ini masih banyak petani yang belum mendapatkan kartu tani sehingga tidak bisa mengakses pupuk,” papar Henry dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (21/01).
Di samping penyelewengan-penyelewengan tersebut, Henry juga menyoroti bagaimana praktik penyaluran pupuk bersubsidi juga bermasalah.
“Pupuk subsidi juga kerap terlambat bahkan sering kali tak sampai ke petani. Hal ini disebabkan karena birokrasi terlalu berlapis. Misalnya penyaluran diserahkan ke perusahaan dan kios penjual pupuk dan petani yang harus terdaftar di kelompok tani agar namanya tercantum dalam sistem Elektronik RDKK,” katanya.
Ia juga menyebutkan banyak ditemukan penyelewengan terjadi di pedagang pupuk dan maladministrasi di kelompok tani.
“Semestinya penerima subsidi bukan kelompok tani atau gabungan kelompok petani, tapi kelembagaan petani berupa koperasi. Hal ini karena koperasi akan menjamin keberlanjutan usaha pupuk dikalangan petani, bukan proyek subsidi tahunan seperti yang terjadi sekarang ini” tambahnya.
“Kita juga bisa menyoroti keberadaan dari Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida. Pengawasan yang dilakukan menjadi tidak efektif karena dilakukan oleh birokrasi penyelewengan kerap terjadi di lapangan.”
Solusi Permasalahan Pupuk Bersubsidi di Indonesia
Henry menilai kompleksnya persoalan pupuk bersubsidi di Indonesia tidak terlepas dari warisan sistem revolusi hijau dalam pertanian di Indonesia.
“Setengah abad revolusi hijau diimplementasikan, sekarang kita tengah merasakan dampak pengunaan pupuk kimia yang berlebihan dari tahun-tahun yang lalu. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan selama puluhan tahun mengakibatkan unsur hara di dalam tanah terus menurun. Hanya yang menjadi pangkal persoalan, jika memang ini (pupuk kima bersubsidi) tidak baik bagi tanah, mengapa ini yang terus-terusan disubsidi,” lanjutnya.
Untuk mengatasi kompleksnya permasalahan pupuk bersubsidi di Indonesia, Henry berpandangan pemerintah seharusnya menjajaki berbagai opsi perbaikan ke depannya. Di antaranya adalah pengalihan alokasi anggaran subsidi pupuk menjadi subsidi harga, dan juga mendorong perubahan cara pertanian ke bentuk yang lebih ramah terhadap alam, termasuk dalam hal penggunaan pupuk sebagai input pertanian.
“Subsidi sendiri merupakan bentuk intervensi negara terhadap berbagai kelompok yang dikategorikan rentan. Idealnya subsidi harus dipertahankan, walaupun harus ada improvisasi bentuk dan metodologi subsidi pupuk. Pemerintah harus menjajaki bentuk-bentuk subsidi lainnya, seperti beralih ke subsidi langsung hasil panen petani.”
“Terkait subsidi pupuk idealnya pupuk organik mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan kategori lainnya. SPI berpandangan petani sebenarnya lebih membutuhkan pupuk organik yang dapat mengembalikan kesuburan tanah. Pupuk ini sebenarnya sudah masuk dalam skema subsidi, tetapi pengadaannya diserahkan ke perusahaan yang ditunjuk pemerintah sehingga hasilnya buruk” tambahnya.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI M. Qomarun Najmi. Ia berharap penggunan pupuk organik semakin masif karena memiliki banyak keuntungan.
“Salah satunya adalah memperbaiki kondisi tanah. Penggunaan pupuk kimia selama puluhan tahun terakhir menghasilkan lahan yang kurang subur, sehingga mempengaruhi produktivitas. Setelah lahan kembali subur karena penggunaan pupuk organik, petani tak perlu mengeluarkan ongkos yang terlalu besar untuk pupuk,” papar Qomar dari Yogyakarta.
Qomar menekankan, biaya produksi bisa dihemat sampai Rp. 2 juta per hektare jika menggunakan pupuk organik, bukan pupuk kimia.
“Jadi kesemrawutan pupuk kimia ini merupakan momentum mengakhiri ke tergantungan petani pada pupuk kimia ke pupuk organik, dari pertanian yang tergantung pada input kimia ke pertanian agroekologi yang ramah alam dan membuat petani berdaulat,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
M. Qomarun Najmi – Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI – 0899 5160 878