JAKARTA. Pada hari Rabu 18 Desember 2024, Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI) memperingati 6 tahun pengesahan Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Perdesaan atau United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP).
Peringatan digelar di Sekretariat DPP-SPI dalam bentuk Dialog Publik, dengan tema “Relevansi Perubahan Undang-Undang (UU) Pangan dan UU Kehutanan dari Perspektif UNDROP”. Dialog dibuka dengan sambutan dari Ketua Umum DPP-SPI, Henry Saragih.
“UNDROP merupakan instrumen hukum internasional yang berasal dari Indonesia, saat petani, masyarakat desa, pejuang Reforma Agraria, dan berbagai elemen merumuskan dalam Konferensi Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani di Cibubur tahun 2001 silam”, ujar Henry.
Menurut Henry, Selain UUPA 1960, UNDROP harus diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah. Terkhusus setelah UU Cipta Kerja disahkan, yang mengubah batang tubuh berbagai UU yang berpihak kepada petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Karena itu, UU Cipta Kerja semakin menjauh dari Konstitusi Nasional, UUD NRI 1945.
Saat ini DPR RI telah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Di Komisi IV yang jadi fokus yaitu revisi terhadap UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
“Apakah revisi ini bertujuan menguatkan UU Cipta Kerja? atau memperbaikinya dengan memihak petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan?. Karena itu harus kita dorong UNDROP untuk diharmonisasikan”, tegasnya.
Terhadap tema yang diangkat, beberapa pihak terkait terlibat dalam dialog publik. Hadir secara daring, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKB, Daniel Johan. Beliau mengapresiasi SPI dalam memperjuangkan UNDROP
“Revisi UU Pangan dan UU Kehutanan bertujuan untuk meluruskan penyimpangan yang terjadi didalam UU Cipta Kerja. Kami mengajak SPI, teman-teman organisasi dan lembaga terkait lainnya dapat ikut berperan aktif menyusun naskah akademik dan memberi masukan dalam proses perubahan kedua UU ini”, ujarnya.
Angga Hermanda, Departemen Polhukam/Bakti DPP-SPI, menyampaikan bahwa SPI bersama-sama dengan jaringan gerakan rakyat akan memberikan masukan kepada Komisi IV DPR RI terhadap revisi UU Pangan dan UU Kehutanan. Terkhusus memastikan UNDROP secara tekstual dan substantif menjadi dasar perubahan kedua UU.
“Perubahan UU Pangan harus mengembalikan pembatasan impor, yang diperlonggar UU Cipta Kerja. Karena sangat merugikan petani sebagai produsen pangan, seperti mulai dari impor beras, hortikultura, daging sapi, dan yang terakhir susu”, terang Angga.
SPI memandang UU Cipta Kerja yang meliberalisasi pangan dibentuk atas arahan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) dan berbagai perjanjian perdagangan bebas. Terkait Revisi UU Kehutanan, SPI mendesak agar kepastian hak atas tanah disekitar dan didalam kawasan hutan bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang diwakili Uli Arta Siagian, memandang bahwa alasan DPR RI merevisi UU Pangan dan UU Kehutanan untuk memperbaiki dari kekeliruan UU Cipta Kerja dan mandat putusan Mahkamah Konstitusi RI, seolah-olah hal yang tepat.
“Namun jika memang ada yang salah dari UU Cipta Kerja, kenapa UU Pangan dan kehutanan yang direvisi?, Seharusnya UU Cipta Kerja lah yang dihapus”, ujar Uli.
Selain itu, terkait program makan bergizi gratis Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Kehutanan RI kian mengutamakan Food Estate. Kementerian Kehutanan RI membuat kategori Food Estate, untuk yang mini paling luas 10.000 ha, dan food estate medium sampai 100.000 ha.
Menurut Uli, kawasan hutan untuk food estate ini sangat jelas bukan untuk petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan, melainkan berbasis korporasi.
Senada dengan itu, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menerangkan bahwa untuk mengubah isi dari UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan harus dengan perbaikan UU Cipta Kerja itu sendiri. Tidak dengan Revisi UU Pangan dan UU Kehutanan.
“Revisi UU Pangan dan UU Kehutanan harus menghentikan dualisme hukum pertanahan. Jangan terus dibiarkan kawasan hutan sebagai wujud dari Domein Verklaring warisan kolonial”, pungkas Gunawan.
Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri DPP SPI, sekaligus ICC La Via Campesina, memberikan gambaran situasi perjuangan SPI untuk memasukkan nomenklatur UNDROP dalam hukum nasional secara tegas, agar tidak terjadi tafsiran yang menyimpang.
“Ditingkat Internasional juga telah dibentuk Kelompok Kerja UNDROP. Pembentukan prosedur khusus ini mendorong negara-negara dunia untuk mengadopsi UNDROP sebagai regulasi pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan”, tuturnya.
Dialog ditutup Ketua Umum SPI Henry Saragih, dengan latar situasi kondisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang semakin jauh dari UNDROP dan UUD NRI 1945, serta peluang korporasi transnasional dan nasional dalam program makan bergizi gratis, harus menguatkan perjuangan kita semua menggalang persatuan gerakan rakyat dalam mengawal dan memastikan, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang sesuai dengan UNDROP, UUD NRI 1945, dan harapan rakyat banyak.