Forum Ekonomi Konstitusi menggelar diskusi publik bertajuk “Perang Tarif; Proteksionisme Trump VS Ekonomi Konstitusi” pada Kamis, 8 Mei 2025. Diskusi ini menghadirkan ekonom, aktivis, dan pakar kebijakan publik untuk membahas arah kebijakan global yang semakin proteksionis serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting dan siaran langsung YouTube.
Diskusi publik ini dimoderatori oleh Gede Sandra dari Sarjana untuk Indonesia, dan menghadirkan Henry Saragih – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Dipo Satria Ramli – Practical Econominst, Nailul Huda – Direktur Ekonomi CELIOS, dan Anthony Budiawan – Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Henry Saragih membuka diskusi dengan menyoroti bagaimana kebijakan tarif yang diambil pemerintahan Trump ini bertolak belakang dengan semangat neoliberalisme yang sebelumnya dikampanyekan Amerika Serikat. Ketua Umum SPI tersebut mengaitkan kebijakan itu dengan dampaknya terhadap Indonesia, mulai dari meningkatnya ketergantungan pangan hingga tergerusnya kedaulatan petani.
Menurut Henry, Indonesia justru mengadopsi kebijakan yang sebaliknya, dengan membuka keran impor pangan secara lebar lewat Undang-Undang Cipta Kerja, padahal Indonesia sudah punya regulasi yang mendukung proteksi terhadap petani seperti UU Pangan dan UU Perlindungan Pemberdayaan Petani yang sesuai dengan konstitusi Indonesia.
Dipo Satria Ramli melanjutkan dengan analisis bahwa tarif yang diberlakukan AS hanyalah alat negosiasi untuk menekan negara-negara mitra dagang. Menurutnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam radar negosiasi dagang AS bersama Vietnam dan India.
“Kalau kita bisa menawarkan diri sebagai alternatif produksi regional, ini bisa membuka banyak lapangan kerja. Tapi tentu syaratnya adalah kepastian hukum dan delegasi negosiasi yang profesional,” tambah Dipo.
Sementara itu, Nailul Huda dari CELIOS menekankan bahwa dampak perang tarif ini nyata dan serius terhadap ekonomi nasional. Ia mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tren perlambatan, dengan ancaman penurunan ekspor, lonjakan pengangguran, hingga meningkatnya angka kemiskinan.
Menurut Nailul Huda, solusi yang mungkin bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan daya beli masyarakat. “Dengan memberikan bansos atau harga yang layak bagi petani dan juga harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat untuk bahan bahan pokok, yang kita harapkan bisa menjaga daya. Yang kedua adalah menarik investasi dari luar negeri untuk masuk ke dalam negeri,” ujarnya.
Anthony Budiawan dari PEPS mengungkapkan bahwa proteksionisme dalam sejarah Amerika sebenarnya bukan hal baru, melainkan bagian daei siklus panjang politik dagang. “Perkembangan tarif di Amerika itu sudah berkembang dari tahun 1700 – 1800an, dia memproteksi industri dalam negerinya,” katanya.
Anthony menyebutkan bahwa sistem perdagangan bebas internasional sering kali merugikan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ia juga membandingkan kondisi Indonesia dan Vietnam dalam menyikapi tekanan ekonomi global. Dalam pandangannya, Vietnam mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan.
Lebih lanjut, Henry Saragih menegaskan bahwa ekonomi Indonesia tidak boleh dibangun dengan bergantung pada kebijakan global yang kapitalis neoliberal yang telah membuat Indonesia semakin bergantung pada pasar global dalam kebutuhan-kebutuhan domestiknya, apalagi dibidang pangan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ia mencontohkan bahwa bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara di Afrika mengalami ketergantungan yang menghambat kedaulatan pangan mereka. Padahal secara kapasitas, negara-negara tersebut mampu membangun kedaulatan pangan nya.