JAKARTA. Harga kedelai kembali meroket. Harga kedelai impor di Indonesia pada pekan pertama Februari 2022 tembus Rp 11.240 per kilogram. Di Pulau Jawa, harga rata-rata kedelai impor sepanjang Februari adalah Rp 12.300 per kilogram. Harga termurah adalah di Jawa Tengah, yakni Rp 11.200 per kilogram. Sedangkan harga termahal didapat di DKI Jakarta, sebesar Rp 13.900 per kilogram. Bahkan banyak pihak yang memprediksi harganya akan menyentuh angka Rp15.000 per kilogram di tingkat pengrajin.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menerangkan, kenaikan ini disebabkan terjadinya kenaikan harga komoditas di tingkat global, termasuk harga kedelai.
“DI Indonesia kita ketahui bergantung pada pasokan kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Jadi kisruh harga ini merupakan dampak dari kenaikan harga pangan di tingkat global,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (03/03).
Henry memaparkan, saat ini kedelai menjadi komoditas yang tidak menarik bagi petani. Padahal, SPI menilai potensi kedelai varietas lokal Indonesia cukup baik, walau memang produktivitasnya tidak seperti di wilayah sub-tropis liannya.
“Produktivitasnya masih di bawah rata-rata, harga juga fluktuatif dan cenderung rendah dibandingkan tanaman-tanaman lainnya seperti padi,” katanya.
“Berkaca ke beberapa dasawarsa yang lalu, produksi petani kedelai di tingkat lokal sanggup memenuhi 70%-75% kebutuhan kedelai nasional. Namun dari catatan kami pasca keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di tahun 1995 dan letter of intent (LoI) IMF di tahun 1998, kedelai impor menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan nasional. Hal ini terus bertahan sampai saat ini, dimana pada akhirnya kita menjadi importir dan ketergantungan,” keluhnya.
Henry menjelaskan, bagi petani kedelai lokal, pada dasarnya harga kedelai yang ada di kisaran Rp10.500 (sebelum lonjakan harga di awal tahun ini) masih jauh dari ideal. Hal ini mengingat biaya untuk pengolahan lahan untuk kedelai cukup tinggi, seperti untuk pupuk, dan sebaginya.
“Oleh karenanya, penting untuk mengatasi kendala-kendala produksi yang ada saat ini (pupuk, sewa tanah, dan lainnya) sehingga produktivitas naik,” katanya.
Henry melanjutkan, tindakan pemerintah untuk menggenjot produktivitas melalui program pajale juga tidak bisa maksimal, mengingat program pajale menanam di tanah yang sama.
“Petani cenderung memilih menanam padi bersama jagung saja, dibandingkan kedelai. Hal ini karena lebih mudah tanam padi diselingi dengan jagung, daripada padi dengan kedelai, walau tanah lebih subur. Sementara dari segi harga, kedelai cenderung lebih rendah sehingga dirasa kurang menguntungkan dibandingkan dengan tanaman hortikultura lainnya,” paparnya.
“Belum lagi ancaman konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang cukup tinggi, sehingga ketersediaan tanah untuk bertani sebagai faktor produksi utama juga semakin berkurang,” sambungnya.
Henry menggarisbawahi, kedua Menteri Pertanian Presiden Jokowi, Amran Sulaiman dan Syahrul Yasin Limpo sama-sama tidak berhasil memenuhi target produksi kedelai yang direncanakan.
“Di Zaman Amran Sulaiman, Kementerian Pertanian sempat menargetkan produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480 ribu ton atau 16,4 persen dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton,” paparnya.
Sementara Menteri Syahrul Yasin Limpo bilang kementeriannya menargetkan produksi 400 ribu ton kedelai hingga akhir 2021. Namun realisasi produksi kedelai tahun lalu melenceng dari target. Hanya menyentuh 211 ribu ton. Malah turun dibandingkan produksi 2020, yang sempat mencapai 296 ribu ton,” keluhnya.
Henry menerangkan, hingga detik ini bea masuk kedelai impor 0% yang berlaku sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tahun 2013.
“Bea masuk 0% akan menggoda siapa pun untuk mengimpor kedelai daripada memproduksi kedelai dalam negeri. Sementara ada tantangan untuk menyediakan kedelai dalam negeri baik dari sisi kuantitas, kualitas maupun kekontinuitasnya. Ini juga salah satu alasan mengapa swasembada kedelai melalui program pajale kurang berhasil hingga sekarang,” tegasnya.
Kedaulatan Pangan
Henry mengingatkan, dari data yang ada saat ini, ketergantungan terhadap kedelai sudah mengkhawatirkan sehingga gejolak di tingkat global akan sangat berpengaruh ke dalam negeri (sama seperti kasus minyak goreng).
“Oleh karenanya, pemerintah harus mengambil kebijakan yang berdasar pada kedaulatan pangan, yakni mendorong produksi dalam negeri untuk memutus ketergantungan impor. Hal ini bisa dimulai dengan berkomitmen pada reforma agraria, meredistribusi tanah bagi petani tak bertanah dan gurem, sehingga kebutuhan akan tanah sebagai faktor produksi teratasi,” paparnya.
Henry menekankan, pemerintah juga harus memiliki peta jalan kebijakan pangan yang tepat.
“Misalnya untuk benih (varietas lokal) masih belum ada identifikasi varietas mana yang unggul dan cocok dengan iklim tropis Indonesia. SOP budidayanya seperti apa, daerah-daerah mana yang berpotensi juga belum terpetakan secara maksimal. Termasuk juga mengenai harga, perlu diatur bagaimana skema agar ada subsidi ataupun jaminan harga yang layak bagi petani,” tambahnya.
Henry mengingatkan, momentum untuk mendorong dan mengutamakan pangan lokal, produksi dalam negeri ini selaras dengan putusan MK yang menyebutkan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat.
“Karena jika mengacu pada UU Cipta Kerja (yang merevisi UU Pangan), impor pangan diakui sebagai sumber pangan setara dengan produksi dalam negeri. Akibatnya kebijakan yang diambil cenderung mendorong impor pangan saja, tanpa mendorong produksi dan kemampuan budidaya petani di dalam negeri,” tambahnya.
Henry menambahkan, Presiden Jokowi juga harus segera mengubah Perpres Badan Pangan Nasional. Hal ini dibutuhkan supaya kewenangan badan pangan tak cuma mengurusi sembilan jenis pangan saja, melainkan sebagai pemutus ketergantungan pangan. Mulai dari perencanaan kebutuhan pangan nasional, produksi dan distribusi, hingga koordinator antar-kementerian dan lembaga.
“Pengubahan ini diperlukan supaya jalan keluar dari setiap persoalan pangan tak berujung pada impor. Di sisi lain, penguatan peran petani juga mesti menjadi hal yang dikerjakan pertama. Sebagai langkah mencapai kedaulatan pangan, peran keluarga petani mesti diutamakan ketimbang korporasi maupun food estate,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668