JAKARTA. Tepat satu bulan pasca Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor crude palm oil (CPO), harga tandan buah segar (TBS) sawit justru semakin jatuh. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan, di Pasaman Barat, Sumatera Barat, contohnya harga TBS sudah Rp600 per kg.
“Ini sudah sangat luar biasa, sawit yang jadi komoditas ekspor seperti tidak ada harganya sama sekali,” tegasnya dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (23/06).
Henry memaparkan, harga TBS sawit yang diterima para petani SPI di wilayah lain juga kompak mengalami tren penurunan yang signifikan.
“Bahkan di Tanjung Jabung Timur, harga TBS mencapai di bawah Rp500 per kg kalau aksesnya jauh dari jalan. Ini kan sudah kelewatan. Laporan hari ini ada yang sampai Rp300 per kg,” sambungnya.
Menanggapi hal ini, Henry mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan responsif dan solutif.
“Ini sudah darurat. Petani sawit sudah menjerit, sudah pada titik nadir, harga TBS jauh di bawah harga impasnya, ini artinya petani sudah sangat merugi, keterlaluan,” keluhnya.
Henry menjelaskan, terjun bebasnya harga TBS ini karena Indonesia dibawah cengkraman korporasi global sawit.
“Mendesak sudah ini agar kita membangun sistem persawitan di Indonesia yang tidak tergantung dari pasar internasional yang dikuasai oleh korporasi-korporasi global. Hajat hidup petani, orang banyak, dikuasai oleh cukong-cukong transnasional perseorangan yang pemerintah kita pun hampur tidak berdaya melawannya,” paparnya.
Gerak Cepat
Henry menegaskan, SPI meminta pemerintah melalui penegak hukum agar menindak perusahaan sawit yang membeli TBS di bawah harga pemerintah.
“Jadi kalau ada pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli dengan TBS petani dengan harga rendah harus ditindak. Bukan tidak memungkin agar PKS tersebut ditutup, lalu diambil alih oleh pemerintah, ini levelnya udah level krisis. Lebih lanjutnya, izin ekspor perusahaannya dicabut juga. Dana segar yang ada di di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa dialokasikan untuk atasi masa krisis ini, bukan hanya memanjakan korporasi,” paparnya.
“Bangun pabrik-pabrik mini kelapa sawit di tingkat lokal, juga pabrik minyak goreng dan minyak makan merah pengelolaannya berikan kepada petani melalui koperasi, kalau memang serius ini bisa segera dikerjakan pemerintah,” sambungnya.
“Harus ada sesuatu yang luar biasa yang dilakukan pemerintah terutama dalam perizinan dan regulasi untuk mempermudah koperasi-koperasi petani yang nantinya diproyeksikan mengelola persawitan nasional,” sambungnya lagi.
Henry melanjutkan, di tingkat wilayah Pemda harus membuka posko pengaduan yang menerima laporan petani, ketika TBS mereka dibeli dengan harga yang tidak layak, di bawah harga ketetapan pemerintah.
“Henry kembali mengingatkan, ini adalah momen yang sangat pas untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.
“Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi,” tegasnya.
“Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” paparnya.
Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.
“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA),” tegasnya.
Henry melanjutkan, negara jugalah melalui BUMN yang mengurus turunan strategis produksi sawit. “Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668