Hari Pangan Sedunia 16 Oktober: Saatnya Kedaulatan Pangan, Bukan Ketahanan Pangan

JAKARTA. Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia setiap tahunnya. Ini sebagai penanda pentingnya pangan untuk selalu tersedia, cukup, terjangkau, aman dan bergizi sepanjang waktu bagi seluruh umat manusia. Pada 1974, Food and Agriculture Organization (FAO), Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mempromosikan konsep ketahanan pangan (food security). Setiap tahunnya FAO bersama badan PBB lainnya melaporkan kondisi ketahanan pangan dan gizi di seluruh dunia (State of Food Security and Nutrition in The World – SOFI). Isinya mengenai perkembangan tingkat capaian ketahanan pangan yang secara umum diukur dari angka kelaparan dan kekurangan gizi penduduk dunia.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan, laporan SOFI 2021 menunjukkan, pada tahun 2020 terdapat 811 juta orang di dunia menghadapi kelaparan atau 161 juta lebih banyak orang menghadapi kelaparan dibandingkan tahun 2019. Kondisi ini juga tidak terlepas dari pandemi Covid-19 di seluruh dunia sejak akhir 2019. Direktur FAO juga menyebutkan, 97 juta orang lebih pindah ke kemiskinan ekstrim pada tahun 2020. Sementara di Indonesia terdapat 16,8 juta orang yang kelaparan pada 2018 – 2020.

“Situasi pangan yang buruk ini sebetulnya menunjukkan konsep ketahanan angan adalah salah dan tidak berhasil dalam penerapannya. Ini juga menunjukkan kegagalan sistem pangan global saat ini,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara siang ini (15/10).

Henry menjelaskan, La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) – dimana SPI sebagai anggotanya – sudah menyatakan kegagalan ketahanan pangan tersebut dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia FAO di Roma pada tahun 1996. Menurut La Via Campesina, gagasan sempit tentang “ketahanan pangan” mendominasi lingkaran pemerintahan dan pembuat kebijakan.

“Mulia dalam niatnya, ketahanan pangan memperlakukan mereka yang terkena dampak kelaparan sebagai objek belas kasih, berisiko mengurangi mereka menjadi konsumen pasif dari makanan yang diproduksi di tempat lain. Meskipun mengakui pangan sebagai hak asasi manusia yang fundamental,” katanya.

“Konsep ketahanan pangan tidak mempertahankan kondisi objektif untuk memproduksi pangan. Siapa yang memproduksi? Untuk siapa? Bagaimana? Di mana? Dan mengapa? Semua pertanyaan ini tidak ada, dan fokusnya jelas hanya pada “memberi makan orang”. Penekanan terbuka pada ketahanan pangan rakyat mengabaikan konsekuensi berbahaya dari produksi pangan industri dan pertanian pabrik, yang dibangun di atas keringat dan tenaga kerja pekerja migran,” lanjutnya.

Henry menerangkan, sebagai solusi dari kegagalan Ketahanan Pangan, La Via Campesina dalam KTT Pangan Dunia 1996 mengajukan konsep kedaulatan pangan. Ini untuk menekankan sentralitas produsen pangan skala kecil, akumulasi kearifan dari generasi ke generasi, otonomi dan keragaman masyarakat pedesaan dan perkotaan dan solidaritas antar masyarakat, sebagai komponen penting untuk menyusun kebijakan seputar pangan dan pertanian.

“Dalam dekade berikutnya, gerakan sosial dan aktor masyarakat sipil bekerja sama untuk mendefinisikan kedaulatan pangan lebih lanjut“sebagai hak masyarakat atas pangan yang sehat dan sesuai secara budaya yang diproduksi melalui metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri,” terangnya.

Henry menekankan, kedaulatan pangan menempatkan aspirasi dan kebutuhan dari mereka yang memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi makanan di jantung sistem dan kebijakan pangan di atas tuntutan pasar dan perusahaan.

”Dalam konteks inilah, kebijakan publik dari tingkat nasional hingga internasional sangat diperlukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Oleh karena itu gerakan kedaulatan pangan melakukan kerja-kerja kampanye dan advokasi agar pemerintah menjalankan kedaulatan pangan, termasuk di Indonesia. Inilah yang dilakukan oleh SPI dan organisasi masyarakat sipil lainnya,” paparnya.

Henry menceritakan, dalam konteks kebijakan Internasional, SPI dan La Via Campesina sudah berhasil memperjuangkan hak asasi petani selama 17 tahun dengan diadopsinya Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang berkerja di Perdesaan (UNDROP) oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 17 Desember 2018 yang mendukung kedaulatan pangan.

Kedaulatan Pangan di Indonesia

Henry mengemukakan, di tingkat nasional. untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia memuat frase “kedaulatan pangan” di dalam UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Ini kemudian diikuti di beberapa UU yang lahir berikutnya, di antaranya UU Pangan no.18 tahun 2012.

“Presiden Jokowi pun sudah memasukkan konsep kedaulatan pangan dalam RPJMN 2014-2019 dan 2019-2024,” jelasnya.

Kredit foto: Departemen Komunikasi Nasional DPP SPI

Henry menggarisbawahi, penerapan kedaulatan pangan masih jauh dari harapan. Konsep ketahanan pangan masih menjadi arus utama dalam program pembangunan saat ini. Akibatnya petani dan masyarakat perdesaan masih akrab dengan situasi kelaparan, kemiskinan, hingga konflik agraria.

“Laporan BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jika dibandingkan dengan Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1,12 juta orang atau meningkat 0,36 persen poin. Peningkatan ini dikarenakan adanya pandemi covid-19 sehingga pemerintah memberlakukan pembatasan mobilitas penduduk termasuk pembatasan transportasi hasil-hasil pertanian dan operasional pasar-pasar tradisional,” terangnya.

Henry mengeluhkan, di tengah situasi pandemi covid-19 dan ancaman krisis pangan global, pemerintah Indonesia justru mendorong program food estate sebagai upaya pemenuhan pangan di Indonesia.

“Keterlibatan korporasi yang besar dalam food estate (penguasaan tanah, kontrol benih dan harga panen) justru semakin menyingkirkan petani yang notabene merupakan produsen pangan utama di Indonesia,” tegasnya.

Badan Pangan Nasional

Meski demikian Henry mengapresiasi lahirnya Perpres No.66/2021 tentang pembentukan badan pangan nasional sebagaimana mandat UU Pangan No.18/2012. Perpres 66/2021 mengatur kewenangan badan pangan nasional dalam perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga, dan distribusi pangan, serta perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan. Secara khusus badan pangan nasional akan mengurusi 9 (sembilan) bahan pangan pokok yang dinilai bermasalah: seperti beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas dan cabai.

“Inilah sesungguhnya suatu badan yang kita tunggu untuk mengatasi persoalan pangan, kebijakan pangan di negeri kita ini. Dengan Badan Pangan Nasional ini, kita harap urusan-urusan miskoordinasi misinformasi sampai terjadinya gap antara kementerian dan lembaga dalam urusan pangan bisa teratasi. Kita juga berharap agar badan ini menmbuat sistem pangan nasional yang melindungi petani dari pasar internasional,” harapnya.

Henry menambahkan, dalam rangka peringatan 25 tahun kedaulatan pangan (1996-2021), SPI mendorong pemerintah untuk terus konsisten menjalan eforma agraria – sebagai syarat pertama untuk mencapai kedaulatan pangan dengan mendistribukan lahan kepada petani dan menyelesaikan konflik-konflik agraria sehingga kaum tani merasa aman dan nyaman dalam memproduksi pangan untuk rakyat Indonesia.

“Pemerintah juga harus menjadikan agroekologi sebagai alternatif pertanian konvesional yang merusak lingkungan, kesehatan dan menumbuhkan ketergantungan petani kepada input pertanian,” lanjutnya.

“Kami juga meminta pemerintah untuk melakukan harmonisasi UU dengan mengacu pada UNDROP untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU